Header Ads


Ancaman Resesi, Akibat Pandemi atau Cacat Kapitalisme?


Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Sosial)

Di tengah hantaman pandemi Covid-19, hantu resesi di Indonesia kian nyata penampakannya setelah perekonomian nasional diprediksi akan mengalami pertumbuhan negatif sangat dalam pada kuartal II bahkan akan berlanjut di kuartal III-2020. Diungkapkan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira dan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah bahwa Indonesia bagaikan ‘telur di ujung tanduk’ untuk masuk ke zona resesi.

Dilansir oleh m.detik.com (18/7/), dalam peluncuran laporan Bank Dunia untuk ekonomi Indonesia edisi Juli 2020, tak ada jaminan untuk terbebas dari resesi. Pasalnya, hal ini bisa terjadi jika infeksi Covid-19 terus bertambah banyak. Presiden Joko Widodo pun telah beberapa kali mengingatkan para menterinya terkait ancaman tersebut.

Resesi sendiri merupakan kondisi ketika Produk Domestik Bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Hal ini juga pernah dijelaskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. “Kan itu definisi resesi memang bahwa pertumbuhan ekonomi dua kurtal berturut-turut negatif. Itu berarti ekonomi memang mengalami resesi,” ujarnya dalam konferensi pers virtual APBN KiTa pada 16 Juni 2020 lalu.

Ekonomi Kapitalisme Meniscayakan Terjadinya Resesi 

Indonesia sudah masuk jurang resesi, jika melihat kondisi perekonomian negara yang sudah menunjukkan pelemahan. Dikutip dari The Balance, terdapat lima indikator ekonomi yang dijadikan acuan negara mengalami resesi, seperti Produk Domestik Bruto (PDB) riil, pendapatan, tingkat pengangguran, manufaktur dan penjualan ritel. Dana moneter Internasional (Intenational Monetary Fund/IMF) dalam rilis terbarunya yang berjudul “A Crisis Like No Other, An Uncertain Rocovery” memprediksi PDB Indonesia akan minus 0,3 persen tahun ini.

Di kuartalI-2020, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 2,97 persen Year on Year (YoY), turun jauh dari kuartal IV-2019 sebesar 4,97%. Di kuartal ini, berekonomian berisiko mengalami kontraksi, pasalnya sebagai akibat penerapan kebijakan PSBB yang mulai berlaku efektif di beberapa daerah. Sementara, pada kuartal I lalu, kebjakan PSBB belum diterapkan. Akibatnya, roda perekonomian di kuartal II mengalami perlambatan signifikan sehingga pertumbuhan ekonomi terancam tersungkur.

Data pengangguran, aktivitas manufaktur serta penjualan ritel Indonesia sudah mengirim sinyal potensi terjadinya resesi. Pandemi Covid-19 membuat PHK terjadi dimana-mana. Per 27 Mei 2020, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat terdapat 3.066.567 pekerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi.

Sektor manufaktur Indonesia semakin merosot. Pada Selasa (9/6), survei IHS market mencatat Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia periode April 2020 anjlok tajam ke level 27,5 lebih rendah dibanding Maret yang berada diposisi 45,3. Tercatat, hal ini sebagai yang terendah sepanjang sejarah (dalam sembilan tahun periode survei).

Sementara itu, penjualan ritel atau eceran juga terjun bebas. Dalam rilis terbaru, Survei Penjualan Eceran (SPE) Bank Indonesia, penjualan ritel bulan April 2020 tercatat minus 16,9% YoY. Ini merupakan kontraksi paling dalam sejak Desember 2008.

Memang, imbas guncangan berskala besar dari pandemi Covid-19 dengan berbagai jurus kebijakan untuk mengatasi dampaknya telah menyebabkan roda perekonomian global nyaris terhenti. Di Indonesia, ancaman resesi pun menjadi tak terelakkan. Menyadari hal itu, pemerintah mengimbau masyarakat agar mulai berhemat dari sekarang untuk menyiapkan dana darurat, mempersiapkan kondisi terburuk untuk mencukupi keuangan selama resesi. 

Agaknya pemerintah beranggapan, terjadinya resesi merupakan dampak dari pandemi Covid-19 dan seolah memberi gambaran bahwa jika pandemi berakhir, maka resesi juga berakhir. Sehingga cara antisipasi sementara yang ditawarkan berupa gaya hidup hemat sebagai jalan pintas mengahadapi krisis yang ada. Namun, perlu diluruskan bahwa resesi yang terjadi di negeri ini bukanlah karena adanya pandemi semata. Sebab, pada faktanya pemerintah sudah memberi alarm terkait hal ini sejak tahun 2019 lalu, sebelum pandemi menghantam dunia. 

Lebih dari itu, sebelumnya Nouriel Roubini (2018), seorang Ekonom yang dengan tepat mempediksi terjadinya krisis keuangan global tahun 2008, juga telah memprediksi bahwa krisis keuangan dan resesi global akan terjadi pada 2020 ini. Memperkuat argumentasi bahwa kondisi keuangan global kembali berada dalam kemungkinan besar untuk jatuh.

Sungguh, kita tidak bisa menutup mata bahwa sistem ekonomi kapitalisme cacatlah penyebab goncangan ini yang diperparah oleh adanya pandemi hingga kondisi perekonomian benar-benar memprihatinkan. Sebagaimana Ekonom Hyman Minsky dalam teorinya ‘ketidakstabilan keuangan’ menyatakan, krisis keuangan adalah ciri yang melekat dan tidak dapat dihindari dalam sistem kapitalis yang sebenarnya terlihat jelas dan dapat diperkirakan. 

Spekulasi penuh risiko, ekspansi moneter (kredit), kenaikan harga aset-aset yang banyak diminati, kejatuhan tajam harga aset-aset yang mendadak dan tidak terduga dan penukaran besar-besaran ke dalam bentuk uang dan investasi berkualitas merupakan endemi dalam upaya investor dalam mengejar keuntungan besar.

Benar adanya, krisis (resesi) ekonomi menjadi hal yang wajar dan senantiasa berulang terjadi pada negara penganut sistem ekonomi kapitalis yang berdiri atas sektor non riil dan sistem ribawi, investasi, utang dan penggunaan uang fiat (kertas) yang rawan inflasi. Pertama, ekonomi kapitalisme yang tidak hanya terbatas pada sektor riil, tetapi juga sektor non riil dimana fungsi uang bukan hanya sebagai alat tukar melainkan juga menjadi komoditas yang diperdagangkan. Umumnya, nilai ekonomi non riil melebihi nilai transaksi barang dan jasa yang dikembangkan oleh negara kapitalis untuk melakukan investasi secara tidak langsung dengan keuntungan yang menggiurkan berupa bunga yang cukup besar, misalnya melalui pasar modal dengan jual beli surat berharga seperti saham dan obligasi. Dalam kondisi seperti ini kapitalisme tidak bisa lepas dari sistem riba yang sesungguhnya turut berkontribusi menjadi sumber krisis dan ketimpangan ekonomi.

Kedua, gelembung aset investasi dalam jumlah yang luar biasa bisa berdampak pada hasil ekonomi yang jatuh. Sebab, ketika hal itu diibaratkan ‘meletus,’ maka terjadilah penjualan dadakan secara besar-besaran yang acap kali menjadi biang terjadinya kepanikan finansial, menghancurkan pasar dan menyebabkan resesi.

 Ketiga, ekonomi kapitalis yang berbasis utang yang terus-menerus mengalami peningkatan. Tatkala penarikannya dilakukan secara besar-besaran sebagai stimulus untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi negara, disisi lain dapat memicu ketidakstabilan ekonomi.  Keempat, penggunaan uang fiat yang rawan inflasi. Nilai intrinsik yang tidak sama dengan nilai nominalnya dapat mengakibatkan ketidakstabilan dan rawan terkena inflasi permanen. 

Tidak bisa dipungkiri, jalan antisipasi krisis yang didengungkan tidak akan mampu menyelesaikan masalah, sebab sumber penyakitnya bukan terletak pada krisis keuangan itu. Jauh lebih dalam, lebih fundamental dan jauh lebih struktural terletak pada sistem ekonomi kapitalisme yang keropos dan terbukti rentan krisis. Adapun, persoalan resesi harus diakui sebagai konsekuensi logis akibat penerapannya, senantiasa gagal menyelesaikan beragam persoalan ekonomi yang tiada habisnya, terus berulang dan berulang. Sementara, pandemi Covid-19 hanya dijadikan kambing hitam atas ketidakberdayannya. Menjadi keniscayaan bahwa potensi resesi dan krisis-krisis lainnya akan terulang seribu kali lagi di masa mendatang sejauh manusia masih setia mengemban sistem ekonomi yang memegang teguh prinsip ‘rakus tanpa batas’ ini. Solusi ‘abal-abal’ yang disuguhkan hanya memicu masalah yang lebih kompleks. 

Sistem Islam Anti Resesi Perekonomian Negara

Jika sistem kapitalisme hanya menyeret perekonomian menuju jurang krisis berkepanjangan, namun berbeda halnya ketika sistem ekonomi Islam diterapkan. Ekonomi yang dibangun berdasarkan aturan Sang Pencipta yang benar, terbukti statis dan tindak rentan krisis termasuk resesi ekonomi. 

Sistem keuangannya sangat terikat dengan ekonomi riil, tentu saja bukan pada sektor yang merusak individu maupun masyarakat seperti industri Khamr dan semisalnya. Lebih lanjut, Islam menolak bahkan mengharamkan transaksi ribawi guna menghindarkan negara dari bunga berlipat ganda sekaligus masalah struktural dibaliknya .

Penggunaan mata uang dinar dan dirham yang nilainya selalu adil dan tetap terbukti stabil atas dukungan dari nilai intrinsiknya. Mata uang ini selama 13 abad lamanya berhasil mengambil alih roda perdagangan dalam percaturan perdagangan dunia. Beberapa kelebihan dari sistem uang ini, di antaranya memberikan kebebasan dalam pertukaran emas, impor maupun ekspor. 

Nilai kurs pertukarannya yang tetap akan mampu mendorong perdagangan, baik skala nasional maupun internasional. Dalam sistem mata uang ini pula, bank-bank tidak akan mudah mencetak dan mengedarkan uang kertas. Sebab, jika percetakan uang kertas yang meningkat, maka permintaan akan emas juga meningkat. Tentu saja hal ini akan membuat pemerintah lebih hati-hati dalam mencetak uang kertas (Dalam Kitab Nizham Iqtishod (Sistem Ekonomi Islam). Dengan demikian, kestabilan ekonomi bisa terjamin.

Dari sini, penerapan konsep ekonomi Islam dapat mendirikan kegiatan ekonomi negara yang dapat menata pelaku pasar secara luas, mampu mengatasi krisis ekonomi secara tuntas bahkan secara global serta memberikan jaminan kesejahteraan bagi umat manusia. Sejarah membuktikan penerapan paradigma Islam yang shahih tentang pelaksanaan sistem kehidupan Islam secara total dalam bingkai Khilafah Islamiyyah benar-benar memberikan penghidupan terbaik selama kurang lebih 13 abad bagi setiap umat manusia. Maka, hanya dalam sistem Islam negeri ini bisa terbebas dari keterpurukan yang tak kunjung usai ini. 

Wallahualam bissawab.(***)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.