Header Ads


Ketahanan Keluarga di Tengah Wabah (Refleksi Hari Keluarga Nasional)

Oleh: Hasni Tagili
(Aktivis Perempuan Konawe, Sulawesi Tenggara)

Hari Keluarga Nasional (Harganas) diperingati setiap tahunnya pada tanggal 29 Juni. Tahun ini, Harganas diperingati dalam suasana berbeda. Ya, pandemi Covid-19 selama tiga bulan terakhir telah mengubah cara hidup dan cara kerja sebagian besar keluarga Indonesia.

Perubahan tersebut harus dialami sekitar 270 juta penduduk dan 80.844.126 keluarga Indonesia (estimasi BPS 2020). Memang, belum ada kepastian kapan berakhir. Kita pun sedang dalam transisi dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ke kehidupan new normal dan berharap segera masuk ke kehidupan normal kembali.

Dimensi Ketahanan Keluarga

Menakar ketahanan keluarga Indonesia di tengah merebaknya virus corona, ada tiga dimensi yang dapat didalami. Pertama, dimensi landasan legalitas dan keutuhan keluarga. Data kepemilikan akta kelahiran menunjukkan secara nasional, terjadi kenaikan persentase rumah tangga, yakni seluruh anaknya memiliki akta kelahiran, dari 78,03% (2015) menjadi 83,12%(2019).

Hal ini mengindikasikan membaiknya kesadaran rumah tangga terhadap administrasi kependudukan. Sehingga, mempermudah pemerintah mendata keluarga penerima bantuan sosial terdampak pandemi Covid-19.

Selain itu, kebersamaan keluarga di tengah wabah cenderung meningkat. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2019 mencatat 96,32% kepala rumah tangga tinggal bersama keluarganya di satu rumah, naik jika dibandingkan dengan 2015 (95,28%). Selama pandemi terjadi migrasi balik (return migration) baik pekerja migran yang kembali dari luar negeri maupun daerah lain sehingga persentase rumah tangga yang tinggal secara utuh naik, meningkatkan ketahanan keluarga.

Kedua, dimensi ketahanan fisik keluarga. Data Susenas BPS 2018 menunjukkan kurang dari 37% rumah tangga yang minimal 14 kali dalam seminggu dapat makan lengkap, makanan pokok dengan lauk-pauk nabati/hewani. Lebih baik jika dibandingkan dengan 2015, dengan angka 28,9%.

Namun, selama pandemi, banyak rumah tangga kehilangan pendapatan. Jika tanpa bantuan pemerintah, ketahanan keluarga dimensi ketahanan fisik akan turun signifikan. Kehilangan pendapatan, bagi banyak rumah tangga di Indonesia berdampak besar terhadap kemampuan memenuhi pangan keluarga.

Keputusan pemerintah untuk memberikan bantuan sosial (Bansos) sudah tepat, mencegah penurunan ketahanan keluarga. Hanya saja, masih perlu tata kelola yang lebih baik dari negara. Mengingat, sudah banyak dana bansos yang berkasus. Ya, lagi-lagi jadi lahan basah untuk dikorupsi.

Pun, kinerja pemerintah dibidang kesehatan terancam dimasa pandemi Covid-19 karena angka morbiditas berisiko naik. Sumber daya kesehatan terkonsentrasi untuk penanganan pandemi menyebabkan layanan kesehatan reguler tidak optimal. Masyarakat juga cenderung menghindari pergi ke fasilitas kesehatan. Dampaknya, ketahanan keluarga diukur dari aspek kesehatan berisiko turun.

Ketiga, dimensi ketahanan ekonomi, yang di masa pandemi juga ditentukan tingkat tabungan keluarga. Program inklusi keuangan nasional berhasil meningkatkan rumah tangga yang memiliki tabungan berupa uang, dari 62,97% (2015) menjadi 64,04% (2018). Masalahnya, jika pandemi berlangsung lama, tabungan akan habis.  

Dalam penanganan Covid-19, pemerintah memang menempatkan kesehatan sebagai prioritas. Namun, pengelolaan ekonomi nasional, tidak bisa diabaikan. Keterbatasan tabungan menyebabkan banyak rumah tangga harus tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Tentu dengan protokol kesehatan yang ketat.  

Namun, perlu diingat, ada sekitar 35% rumah tangga yang tidak memiliki tabungan. Situasi pandemi menempatkan mereka pada ketahanan keluarga yang lemah untuk dimensi ketahanan ekonomi. Pemberian Bansos tunai maupun sembako sangat membantu kelompok rumah tangga ini. 

Untuk listrik, data Susenas BPS 2019 menunjukkan hampir seluruh rumah tangga (96,73%) menggunakan listrik PLN sebagai sumber penerangan utamanya. Namun, penurunan daya beli selama pandemi menyebabkan banyak rumah tangga tidak mampu membayar listrik.

Oleh karenanya, keputusan pemerintah menggratiskan tarif listrik bagi pelanggan 450 VA dan diskon 50% tarif listrik bagi pelanggan 900 VA sudah tepat, guna menjaga ketahanan ekonomi keluarga. Hanya saja, hal ini menjadi kerugian yang belum ditemukan solusinya. Sebab, pelanggan listrik 900 VA nonsubsidi dan 1300 VA malah terkena imbasnya. Tagihan mereka diberitakan membengkak 2-3 kali lipat. 

Untuk pendidikan, masih ada 11,87% (2019) rumah tangga yang memiliki anak usia sekolah (7-18 tahun) tidak bersekolah. Pandemi ini berpotensi menurunkan kinerja pendidikan nasional. Mereka yang bersekolah tidak dapat sekolah secara normal. Mereka yang tidak bersekolah semakin sulit melanjutkan pendidikan.

Lebih dari 50 juta siswa dan mahasiswa di Indonesia terdampak. Metode pembelajaran tidak sepenuhnya bisa mengandalkan teknologi. Mengingat, tidak semua siswa memiliki komputer dan akses internet. Kehilangan pendapatan keluarga juga akan menurunkan kemampuan membiayai pendidikan.  

Jika pandemi berlangsung lama, hal itu dapat menurunkan motivasi siswa untuk kembali bersekolah. Pandemi ini dapat menurunkan ketahanan keluarga dalam aspek pendidikan. 

Ketahanan Keluarga ala Islam

Pernikahan merupakan ikatan yang sah menurut syariat Islam bagi dua lawan jenis untuk melakukan interaksi khusus (hubungan jenis) dengan aturan yang khusus. Melalui pernikahan, keberlangsungan jenis manusia akan terwujud.

Melalui pernikahan pula akan diperoleh ketenangan dan kedamaian bagi suami-istri. Allah Swt. berfirman yang artinya, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (TQS al-A‘râf : 189)

Keluarga sakinah mawaddah wa rohmah (Samara) tidak akan terwujud bila suami-istri tidak memahami hakikat berkeluarga. Untuk itu, persiapan membentuk keluarga Samara ini mutlak diwujudkan sebelum pasangan memasuki jenjang pernikahan.

Lebih-lebih, menikah bukanlah sekadar pelegalan hubungan seks laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, menikah adalah proses membangun keluarga. Karenanya butuh persiapan yang benar-benar matang, dari segi fisik maupun mental.

Pun, penting melakukan proses edukasi sebelum laki-laki dan perempuan mengarungi bahtera rumah tangga. Edukasi tersebut hendaknya sudah mereka dapatkan sejak dini dalam lingkup keluarga, masyarakat, bahkan negara.

Keluarga, masyarakat, dan negara hendaknya berperan penting dalam membekali ‘ilmu kehidupan’ untuk membangun ketahanan keluarga. Pembekalan tersebut tersirat dalam penguatan akidah, pemahaman konsep dasar pernikahan dalam Islam, penguasaan hukum-hukum Islam seputar pernikahan, membina diri menjadi muslim/muslimah berkepribadian Islam, dan pemahaman yang memadai tentang kesehatan fisik. Segala persiapan yang dituntun oleh syariat Islam tentu akan membangun keluarga yang kokoh dan melahirkan generasi yang berkualitas.

Sistem pemerintahan Islam akan menyelesaikan persoalan kemiskinan. Sistem ini pun akan menjaga agar kewajiban nafkah berjalan sesuai aturan. Tak hanya mewajibkan suami untuk mencari nafkah, bahkan jika tidak ada lagi yang menafkahi perempuan dan anak, maka negara akan menjaminnya dari Baitul Mal. Negara pun menyediakan lapangan kerja yang luas.

Sistem pemerintahan Islam juga akan mengatur perilaku manusia agar tidak mengarah pada kerusakan. Negara akan meminimalisir pergaulan bebas dan perselingkuhan. Hukum-hukum pergaulan laki-laki dan perempuan ditegakkan sesuai syariah.

Di samping itu, media massa juga terjaga dalam menyebarkan berita. Mereka berkewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.

Sehingga, dengan aturan-aturan terstruktur dan terorganisir tadi, masyarakat akan terjaga dalam ketakwaan. Ketahanan keluarga pun mampu dibangun, meski di tengah merebaknya wabah.

 Wallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.