MERDEKA DARI OLIGARKI BERJUBAH DEMOKRASI
_(Catatan FGD PKAD Jatim #08, 16 Agustus 2020)_
Hari ini, dunia maya dipenuhi ucapan DIRGAHAYU RI. Ya, hari ini negeriku sudah genap berusia 75 tahun merdeka. Untuk ukuran usia manusia, ia sudah tak muda lagi. Sudah waktunya memperbanyak amal sholih dan waktunya taat sepenuhnya kepada Allah sang Pencipta alam semesta.
Bukan sebaliknya semakin urakan dan banyak maksiyat serta berbuat zalim pada umat. Bukan pula waktunya lagi untuk Sombong dan membangkang kepada Aturan-aturan Allah Sang Pencipta semesta alam. Sudah waktunya rendah hati dan merefleksi diri menanti hari yang pasti terjadi sembari mempersiapkan diri menghadapi sidang pengadilan hari akhir dari yang Maha Adil.
Dalam rangka menyambut hari kemerdekaan pula, kemarin (16/08/20) penulis menghadiri sebuah diskusi. Rasanya bahagia sekali bisa hadir dalam diskusi yang digelar oleh Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD). FGD edisi ke-08 ini dilaksanakan secara on line karena masih ditengah wabah Corona. Tema yang dibahas pun terkait dengan Kemerdekaan, “MERDEKA DARI CENGKERAMAN OLIGARKI BERBAJU DEMOKRASI*
Hadir sebagai Pakar dan pemantik diskusi kali ini; *Dr. Ahmad Yani, S.H., M.H.* (Pakar hukum), *Faisal H. Basri, S.E., M.A.* (ekonom/Pendiri INDEF), *Drs. Wahyudi Al Maroky, M.Si* (Direktur Eksekutif Pamong Institute), *Muhammad Hatta, S.E., M.Si* (Peneliti Ekonomi Syariah), *Faridz Wajdi., S.IP* (Pimpinan Media Umat News), Diskusi ILF kali ini di nakhodai oleh Cak Slamet.
Dalam diskusi itu nampak adanya kegelisahan atas nasib negeri ini. Berbagai masalah sedang menimpa dan perlu solusi segera. Adanya wabah corona yang membayakan kita dan belum ada tanda kapan akan berakhir. Diiringi pula dengan krisis ekonomi. Utang negara melonjak, pengangguran meningkat, kemiskinan bertambah, kriminalitas pun meningkat.
Di sisi lain kesenjangan antara kaya dan miskin kian melebar. Tercatat 1% orang kaya menguasai 44,6% kekayaan yang ada. Belum lagi dalam penegakan hukum. Baru saja rakyat dipertontonkan bagaimana Borunan Koruptor Kakap Joko Tjandra justru bukan ditangkap malah mendapatkan pengawalan. Ironisnya, itu justru dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Dari sisi ketatanegaraan, presiden mengeluarkan Perppu 1/2020 yang kemudian disahkan menjadi UU 2/2020. Padahal Perppu itu menuai kontroversi yang menumpuk kekuasaan dan menabrak bahkan mengamputasi berbagai peran dan wewenang lembaga negara lainnya (psl 27). Baik lembaga DPR, BPK dan lembaga kehakiman.
Pada usia 75 tahun inilah, nampaknya kondisi kesehatan negeri ini begitu memprihatinkan. Banyak masalah dan banyak penyakit. Bahkan lebih parah lagi, terindikasi dalam cengkeraman para Oligarki yang sangat Radikal. Mereka menunggangi negara untuk kepentingan politik dan bisnis mereka. Tak peduli negara sedang sakit atau sehat. Siapakah mereka?
Mereka adalah para oligark, Kaum “zalimer” yang memanggunakan sarana negara untuk meraih kepentingannya. Jumlah mereka tak banyak, namun pengaruh mereka ditengah publik sangatlah besar. Inilah yang dikenal dengan istilah oligarkhi. Jumlah mereka sedikit, hanya segelintir orang yang memiliki kekayaan dan kewenangan/Kekuasaan sehingga sangat menentukan kebijakan bagi publik.
Istilah Oligarki ini dari bahasa Yunani, oligarkhia yang berarti diperintah atau diatur oleh beberapa orang. Dalam bahasa yang lebih sederhana, sekelompok kecil orang yang menggunakan sarana negara untuk kepentingan mereka. Kelompok kecil itu bisa dari kalangan, militer, keluarga atau kaum Berharta.
Pertanyaannya, apakah benar negeri ini sedang dikuasai para oligark? Setidaknya ada tiga ciri sebuah negeri sedang dikuasai para oligark;
PERTAMA; Adanya indikasi kekuasaan dikendalikan oleh kelompok kecil orang yang memanfaatkan untuk kepentingannya. Diantara indikasi kekuasaan sedang dipegang atau dikendalikan oleh kelompok kecil orang yang memanfaatkan untuk kepentingannya nampak dengan disahkannya UU Minerba. Dimana UU tersebut tidak berpihak kepada negara dan rakyat namun justru memberikan karpet merah bagi kepentingan segelintir pebisnis tambang. Juga kebijakan menaikkan iuran BPJS, listrik, dll saat rakyat susah,
KEDUA; Terjadi Kesenjangan antara kaya dan miskin yang cukup ekstrim. Ketidaksetaraan ataupun kesenjangan dari segi material yang cukup ekstrem itu menimbulkan jurang pemisah antara kaya dan miskin makin dalam dan lebar. Hampir semua kekayaan alam di negari ini tidak dikuasai rakyat apalagi digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Yang terjadi Justru sebaliknya. Kekayaan alam negeri ini, baik tambang migas, tambang emas, batubara, hutan, kebun sawit, dll saat ini sedang dikuasai segelintir orang. Bahkan sebagian besar dikuasai orang asing.
Tak heran jika muncul data, ada 1% orang kaya yang menguasai 44,6% kekayaan negeri ini. demikian pula dari sisi penguasaan lahan dan barang tambang lainnya. Juga bisnis strategis lainnya seperti jalan tol, pelabuhan laut, bandara dll.
KETIGA; sulit dipisahkan antara pejabat dan pebisnis. Uang dan kekuasaan merupakan hal yang tidak terpisahkan, kekuasaan dimiliki untuk mempertahankan, mengamankan dan Menambah kekayaan. Sebaliknya Kekayaan dimiliki untuk mempertahankan, mengamankan dan memperbesar kekuasaan.
Berapa banyak penguasa negeri ini yang punya hubungan erat dengan para Pengusaha? Bahkan betapa banyak penguasa negeri ini yang sekaligus merangkap jadi pengusaha. Jadi bisa dimaklumi jika sebuah RUU yang banyak dikritik publik karena merugikan rakyat dan negara malah bisa disahkan oleh mereka.
Dalam sistem demokrasi, perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha melahirkan oligarki yang hebat. Mereka bia membuat undang-undang yang menguntungkan mereka. Tak peduli undang-undang itu merugikan negara dan rakyat. Yang terpenting adalah menguntungkan mereka. Begitulah, betapa berbahayanya oligarki bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Indonesia termasuk yang sudah ditunggangi oleh para oligark. Menurut Profesor Jeffrey A. Winters (Northwestern University), dalam tulisannya, Oligarchy and Democracy in Indonesia, menyebutkan dari semua sumber daya kekuatan politik di Indonesia, kekuatan materil (kekayaan) sejauh ini adalah yang paling terkonsentrasi, serbaguna, tahan lama, dan paling tidak dibatasi.
Para oligark memiliki banyak cara mengekspresikan kekuasaan mereka dalam demokrasi Indonesia, khususnya setelah kejatuhan Soeharto pada 1998. Kala itu Indonesia tidak hanya memasuki babak baru politik demokrasi dengan berlakunya Pemilu langsung, melainkan juga telah memasuki politik berbiaya tinggi.
Oligarki dapat dibedakan menjadi dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki mempunyai suatu dasar KEKUASAAN dan KEKAYAAN. Sedangkan dimensi kedua menjelaskan bahwa oligarki mempunyai suatu JANGKAUAN KEKUASAAN yang cukup LUAS dan SISTEMIK. Padahal jumlah para oligark itu sangat minoritas. Namun dengan Kewenangan (kekuasaan) yang ditopang dengan Kekayaan (uang), mereka memiliki pengaruh atau jangkauan kekuasaan yang luas dan sistemik.
Oligarki dalam sistem demokrasi merupakan keniscayaan. Siapa pun pejabat publik dalam sistem demokrasi, untuk duduk di kursinya harus mengikuti proses demokrasi yang tak gratis. Bahkan harus mengikuti prosesi pesta demokrasi yang super mahal. Baik sebagai Bupati, walikota, Gubernur, hingga Menteri dan kepala negara sekalipun harus mengikuti proses pesta demokrasi yang sangat mahal.
Dalam sistem demokrasi yang super mahal, nyaris tak ada pejabat publik (rezim) yang terbebas dari Utang. Setidaknya punya tiga utang politik yang harus dilunasi. Utang kepada para investor politik, kepada partai politik pengusung, kepada rakyat pemilih. Minimal ia punya utang janji politik.
Utang kepada para investor Politik (para pengusaha pemilik modal). Akibat Biaya pesta demokrasi itu dibayar dengan memberikan jabatan atau kebijakan yang berpihak pada kepentingan bisnis mereka. Di titik inilah bertemunya dua kepentingan. Kepentingan bisnis para investor politik dan kepentingan politisi. Akibatnya UU dan kebijakan yang lahir didominasi kepentingan Pengusaha dan Penguasa. Di sinilah para oligark menemukan tempat (habitat) bertumbuh dan berkembang.
Demokrasi itu bukan sekedar menjadi habitat para oligark. Bahkan demokrasi pula yang memproduksi para oligark. Karena proses melalui pesta demokrasi yang berulang itu, maka demokrasi tak sekedar memproduksi oligark. Bahkan ia menjadi alat reproduksi oligarki.
Bahaya oligarki ini sudah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak 14 abad silam. Sebagaimana dalam sebuah hadits, “Siapa saja yang mengurusi suatu urusan kaum muslimin, lalu dia mengangkat seseorang berdasarkan pilih kasih (bukan karena kapabilitas), maka laknat Allah atasnya, Allah tidak akan menerima kinerjanya, tidak pula menerima keadilannya hingga Dia memasukkannya ke dalam neraka Jahannam. ” (HR. Ahmad dan al Hakim).
Hadits itu merupakan peringatan yang sangat keras bagi siapa saja yang mengangkat pejabat atau partner bukan karena kemampuan (kapabilitas) tetapi karena keberpihakan personal. Baik karena hubungan kelompok, keluarga, atau kepentingan bisnisnya. Perilaku seperti itu adalah bentuk nepotisme yang menciptakan oligarki dalam kekuasaan. Hal ini melanggar prinsip KEADILAN dan akan mengundang LAKNAT dari Allah SWT.
Praktek Oligarki sangat membahayakan bagi negara dan masyarakatnya. Begitu berbahayanya, maka hadits melarangnya dan mengancam pelakunya dengan tegas untuk tidak mendekatinya apa lagi melakukannya. Bahkan pelakunya tidak diterima segala amal baiknya dan pada akhirnya dimasukkan ke dalam api neraka.
Walhasil, pesta demokrasi yang mahal menuntut adanya sinergi bahkan perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Ini kelak menjadi kelompok oligarki yang membahayakan negara. Oleh karenanya, dimomen kemerdekaan ini kita mendekatkan diri pada Ilahi sembari terus mencari sistem terbaik. Sistem pemerintahan yang bisa membuat kita bisa merdeka dari cengkeraman oligarki yang bertopeng dermawan dan berjubah demokrasi.
Semoga Allah menjaga kita dan negeri ini dari tangan-tangan jahat yang akan menghancurkannya. Aamiin.
Post a Comment