MENYOAL KETAHANAN PANGAN DITENGAH PANDEMI
Oleh: Hasriati, S.Pi (Statistisi Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe)
“Soal Pangan adalah Soal Hidup Matinya Bangsa” (Ir Soekarno).
Demikianlah pandangan presiden pertama Indonesia tentang pangan, yang diungkapkan pada saat pidato peletakan batu Fakultas Pertanian Universitas Indonesia tahun 1952.
Pangan memang kebutuhan pokok masyarakat yang harus dipenuhi setiap hari. Bila tidak, akan terjadi krisis kehidupan. Sederhananya, bila manusia tidak mengkomsumsi makanan akan terjadi kelaparan dimana-mana. Bila tidak terpenuhi komsumsi makanan yang bergizi, secara fisik dan mental masyarakat menjadi kurang sehat.
Krisis pangan pun akan mengganggu kestabilan sektor lainnya, baik ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat terjadi jika ketahanan pangan terganggu.
Demi mengatasi krisis multi dimensi karena krisis pangan, maka ketahanan pangan di suatu wilayah mesti terwujud. Ketahanan pangan yang dimaknai sebagaimana UU NO. 18/2012 tentang pangan. Disebutkan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Dengan demikian perkara ketersediaan pangan dan kemampuan setiap orang mengaksesnya sangatlah penting dan sangat rentan terjadi pada situasi bencana. Karenanya para pakar memberi perhatian serius terhadap persoalan pangan sepanjang era, terlebih pada masa pandemi Covid-19 yang melanda dunia tak terkecuali Indonesia.
Badan Pangan Dunia (FAO) pun telah mengingatkan diawal wabah Covid-19, bahwa pandemi corona berpotensi memunculkan krisis pangan di berbagai negara. Dari peringatan tersebut, beberapa negara telah mengeluarkan larangan ekspor pangan demi mengutamakan pasokan di dalam negeri. Seperti pada akhir Maret Vietnam selaku eksportir beras terbesar ketiga dunia sempat menghentikan kontrak ekspor beras.
Setelah itu, ada pelonggaran kuota ekspor beras di bulan April lalu. Myanmar juga melakukan larangan ekspor beras sejak April dan memberlakukan kuota ekspor sampai Oktober 2020. Meskipun dalam catatan FAO, negara-negara penghasil beras lainnya seperti India, Thailand dan Pakistan belum melarang ekspor beras.
BPS pun menyebutkan, impor beras mencapai 2,25 juta ton pada 2018. Jumlah ini meningkat pesat dari 305,27 ribu pada 2017. Sementara impor beras pada 2019 sebanyak 444,5 ribu ton. Menurut Direktur Utama Perum Bulog sampai Juni 2020 Cadangan beras Pemerintah (CBP) sekitar 1,4 juta ton , sehingga Bulog mengklaim beras cukup untuk kegiatan Desember 2020 (CNN,26/06/2020).
Kementerian Pertanian (Kementan) mengakui dari stok 11 kebutuhan pangan pokok nasional yang diawasi ketat (beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, daging kerbau/sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, gula pasir, serta minyak goreng) terdapat tiga komuditi stoknya masih mengandalkan impor yaitu gula, bawang putih, dan daging sapi/kerbau (CNBC Indonesia, 16 April 2020).
Efek dari ketergantungan impor, harga gula sempat terasa pahit diawal 2020, Pemerintah tak mampu mengendalikan harga gula yang melonjak liar. Sampai saat ini pun harga gula di pasar tradisional tak bisa kembali pada harga semula.
Komuditas bawang putih sempat menjadi isu yang disorot oleh banyak pihak. Produksi bawang putih Indonesia yang amat jauh dari kebutuhan masyarakat dan industri makanan. Maka persediaan bawang putih sangat tergantung dari impor. Impor bawang putih Cina merupakan andalan pemerintah, bahkan proporsi bawang putih China di tahun 2019 nyaris 100 persen. Pada saat wabah merebak di Negeri Tirai Bambu, lockdown diterapkan dan membuat rantai pasok mengalami gangguan. Dampaknya pun terasa di Nusantara.
Akibat gangguan pasokan bawang putih, stok bawang putih di pasaran menipis dan harga bawang putih melejit pada bulan Desember dan April lalu. Badan Pusat Statistik mencatat impor bawang putih Januari 2020 mengalami penurunan sebesar 98 persen. Kenaikan harga bawang putih ini berkontribusi besar terhadap inflasi beberapa bulan lalu.
Peristiwa fluktuasi harga pangan karena rendahnya produksi pangan dalam menyediakan kebutuhan masyarakat dan ketergantungan impor harus diwaspadai. Karena ketika pasokan terancam menipis, harganya melonjak. Padahal di tengah badai pandemi pendapatan masyarakat cenderung tergerus. Jika krisis pangan terjadi rakyat akan semakin tercekik.
Penurunan pendapatan masyarakat secara nasional tercermin dari Survey Sosial Demografi Dampak Covid-19 oleh Badan Pusat Statistik bulan April 2020, bahwa penurunan pendapatan sebesar 70,53 persen berpendapatan rendah (di bawah Rp 1,8 juta per bulan) dan 30,34 persen berpendapatan tinggi (di atas Rp 7,2 juta per bulan). Bahkan 2,52 persen responden baru saja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat perusahaan/tempat usaha dimana ia bekerja tutup.
Mencermati kondisi kebijakan tersebut, sejatinya bertumpu impor bahan pangan sangat mengkhawatirkan. Dengan kebijakan yang menggantungkan diri pada impor, ketahanan pangan nasional akan terancam. Sangat menyedihkan, Negeri yang kaya raya dengan kesuburan tanahnya malah mengimpor produk pangan dari negara lain.
Visi mewujudkan kemandirian pangan dan jaminan pasokan pangan, selayaknya senantiasa digenggam penentu kebijakan. Ketahanan pangan nasional harus menjadi prioritas pemerintah. Hal ini demi mewujudkan pemenuhan salah satu kebutuhan dasar rakyat berupa pangan, bukan sekedar meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian negara akan melakukan beragam upaya untuk merealisasikannya. Seperti peningkatan produktivitas lahan dan produksi pertanian. Yaitu melalui ekstensifikasi pertanian. Hal ini bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah-tanah mati.
Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu.
Rasul bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud). Bila terdapat tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun, maka hak kepemilikan atas tanah itu akan hilang. Negara mengambil alih lalu mendistribusikannya kepada individu rakyat yang mampu mengelolanya. Dengan begitu, tak ada istilah lahan kosong yang dibiarkan tanpa ada pemanfaatannya untuk kemaslahatan rakyat.
Dalam hal kebijakan intensifikasi pertanian, optimalisasi lahan pertanian dengan meningkatkan hasil pertanian harus terus dilakukan. Baik peningkatan kualitas benih, pemanfaatan teknologi, hingga membekali para petani dengan ilmu yang mumpuni. Semua aspek ini harus mendapat dukungan dan fasilitas dari negara.
Dalam hal menjamin pasokan pangan, Islam menetapkan mekanisme pasar yang sehat. Islam melarang penimbunan, penipuan, praktik ribawi, dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.
Wallahualam.(*)
Post a Comment