Header Ads


Muslim Restoration

Oleh: Sunarwan Asuhadi (Pemerhati Lingkungan Hidup)


Setiap tanggal 5 Juni kita memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Demikian juga pada 2021 ini, kembali Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memprakarsai peringatan tersebut untuk membangkitkan kesadaran tentang pentingnya alam dan lingkungan hidup.

Hari Lingkungan Hidup ini ditetapkan oleh Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1972, yang merupakan hari pertama Konferensi Stockholm tentang lingkungan manusia.

Kemudian pada 1974, dirayakan dengan tema 'Hanya Satu Bumi'. Sejak saat itulah, berbagai negara bergantian menjadi tuan rumah untuk merayakannya Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2021 adalah 'Restorasi Ekosistem' dan Pakistan menjadi tuan rumah global untuk hari besar tersebut. Pada momen tersebut dilakukan peluncuran Dekade PBB tentang Restorasi Ekosistem.

Terkait tema Hari Lingkungan Hidup ini, PBB sendiri mengeluarkan fakta bahwa setiap tiga detik dalam hidup kita, dunia kehilangan beberapa titik hutan alaminya. 

Dan keserakahan manusia, membuat kita kehilangan banyak lahan basah yang menjadi penyeimbang ekosistem di bumi. 

Tema HLHS kali ini dibangun guna menyuport usaha PBB dalam mengembalikan lagi hijaunya kawasan hutan dan melindungi kawasan alam yang masih perawan yang harus terus dilestarikan (Kompas, 04/06/2021).

Menurut PBB, momen ini diharapkan memberi orang-orang kesempatan untuk memperluas dasar bagi opini yang tercerahkan dan perilaku yang bertanggung jawab oleh komunitas, perusahaan, dan individu dalam melestarikan lingkungan.

Sementara itu, Pakistan merayakan sejumlah tonggak sejarah, yaitu penyelesaian satu miliar pohon sebagai bagian dari 10 miliar gerakan pohon, mengambil janji sukarela besar di bawah Tantangan Bonn, Kawasan Konservasi Laut baru, dan pengumuman inovatif seputar pembiayaan Alam termasuk flotasi obligasi Hijau pertama negara itu.

Mengamati permasalahan lingkungan kita dari waktu ke waktu, nampak bahwa persoalan utama kita sesungguhnya bukanlah deforestasi, erosi plasma nutfah, illegal logging, illegal fishing, dan seterusnya. 

Apa permasalahan utama kita?

Permasalahan utama kita adalah perilaku manusia. Sehingga basis penyelesaiannya bukan lagi semata-mata pada aksi sesaat, berupa tanam pohon, tanam karang, bersih-bersih sampah, dan lain sebagainya. 

Sekali lagi, bukan lagi sekedar masalah teknis.

Dengan demikian, permasalahan utama kita meningkat pada persoalan sistem bahkan persoalan ideologi.

Memang benar, jika aksi-aksi teknis semacam tanam pohon, bersih-bersih sampah, dlsb sangat kita butuhkan, namun harus dibarengi dengan upaya-upaya perbaikan sistem untuk membuat solusi tuntas dan berorientasi jangka panjang.

Dalam konteks global, nampak bahwa tidak ada kekuatan politik yang bisa diharapkan untuk menghentikan permasalahan lingkungan hidup.

Kekhawatiran tentang masa depan lingkungan hidup saat ini, hanya dominan berasal dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan akademisi.

Sementara itu, pihak-pihak yang memiliki kewenangan seperti negara dan kekuasaannya cenderung bungkam, bahkan nampak anti lingkungan hidup.

Lembaga sekaliber PBB pada akhirnya tak memiliki kuasa yang luas. Dan malah terkesan sebagai pelaksana serimonial lingkungan hidup.

Kenapa demikian?

Karena persoalan lingkungan hidup bukanlah masalah tunggal yang murni hanya masalah lingkungan hidup. Tapi di sana terdapat intrik politik dan ekonomi yang luar biasa.

Lihatlah negara-negara yang memberikan bahaya besar terhadap lingkungan hidup sebagai super donatur emisi karbon adalah negara-negara pemilik hak veto di PBB.

Sebutlah Negeri Tirai Bambu (China) menghasilkan 12.399,6 juta metrik ton karbon dioksida setara 26,1% dari total emisi global.

Lalu Amerika Serikat menyusul dengan menyumbang 6.018,2 MtCO2e (12,7% emisi global). Kemudian, Uni Eropa menyumbang 3.572,6 MtCO2e (7,52% emisi global).

Setelah itu India, Rusia, dan Jepang sebagai peringkat berikutnya untuk penyumpang emisi karbon terbesar di dunia.

Menyikapi kondisi yang demikian, maka topik-topik gerakan global sudah saatnya berubah dari ecosystem restoration (restorasi ekosistem) menjadi human restoration (restorasi manusia).

Human restoration lebih kepada upaya mengembalikan manusia kepada nalar penciptaannya. Nalar penciptaan manusia adalah sebagai Abdullah (hamba Allah) sekaligus sebagai khalifatul fil ardh (pemberi kemakmuran bumi).

Dalam konteks human restoration ini, sesungguhnya bumi telah mengalami kehilangan sumber daya terbesarnya.

Sumber daya terbesar bumi bukanlah tambang uranium atau emasnya. Bukan pula cadangan pohon dan ikannya.

Tetapi sumber daya bumi yang terbesar adalah manusia yang bermental sebagai seorang muslim (penyelamat). Bukan sekedar beragama Islam.

Kenapa demikian?

Manusia yang bermental muslim itu kompatibel dengan pemulihan dan keberlanjutan alam.

Manusia-manusia muslim adalah anti keserakahan terhadap sumberdaya. Mengambil tidak melebihi kapasitas alam. 

Manusia-manusia muslim itu menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dengan kemampuan alam.

Jika demikian, maka kebutuhan bumi kita sekarang ini adalah melakukan Muslim Restoration

Muslim restoration merupakan upaya memulihkan energi muslimin untuk mengelola alam. Bukan sekedar label agama seorang manusia, tetapi merestorasi nalar manusia untuk menata kelola alam ini dengan timbangan Islam.

Yakni menggeser kapitalisme-sekulerisme yang serakah kepada bumi ini menjadi tatanan Islam sebagaimana manhaj kenabian (Muhammad Saw).[]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.