Header Ads


Efek Domino Pajak Sembako


MENTERI Keuangan Sri Mulyani secara resmi mengajukan  kebijakan pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok alias sembako kepada Komisi XI DPR RI pada Senin (13/9).


Oleh: Abu Syah Jihad*)


RENCANA ini sebenarnya telah bocor publik sejak Juni 2021 lalu. Pemerintah menuliskan dalam dokumen atas revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Saat itu, banyak pihak yang kontra dengan pemerintah. Dari DPR, pedagang pasar, ekonom, ustadz, hingga organisasi keagamaan memberikan kritik pedas atas rencana pemerintah.

Mereka menolak rencana pengenaan PPN untuk barang sembako lantaran khawatir harga bahan pokok menjadi mahal. Situasi ini otomatis akan mengganggu proses pemulihan ekonomi setelah dihantam pandemi covid-19.

Sayang, berbagai kritikan itu tak menyurutkan niat pemerintah untuk mengenakan PPN terhadap barang sembako. Sri Mulyani, dalam pengajuannya ke DPR, mengatakan bahwa tak semua barang sembako akan dipungut pajak dan pemerintah juga berpeluang memberikan kompensasi bagi masyarakat tak mampu.

Pemerintah juga menyatakan bahwa PPN tak akan diberlakukan pada kebutuhan pokok yang dijual di pasar tradisional. PPN hanya akan berlaku pada bahan pokok premium, di mana harga jualnya jauh dari pasar tradisional.

Lantas, apakah pengenaan PPN barang sembako terhadap bahan pokok premium ini tak akan berdampak pada masyarakat kecil?

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan keputusan pemerintah untuk mengenakan PPN untuk sebagian bahan sembako berpotensi mengerek harga pangan di pasar tradisional.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sempat mengatakan perlakuan pajak untuk daging segar di pasar tradisional akan dibedakan dengan daging jenis wagyu yang konsumennya kelas menengah atas.

Dengan kata lain, pemerintah berpotensi mengenakan PPN untuk daging wagyu yang biasa dijual di supermarket. Jika benar-benar terjadi, maka harga daging akan naik.

Meski begitu, Yusuf menilai harga daging segar di pasar juga akan ikut naik. Dampak PPN sembako akan meluas ke pasar tradisional.

"Bisa saja pedagang berpikir, daging wagyu harga naik. Nah tidak apa-apa kalau saya menaikkan harga daging di pasar Rp1.000 atau Rp500. Toh, kenaikan tidak besar. Ada efek-efek seperti ini, efek psikologi pedagang," ungkap Yusuf kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/9).

Jika harga daging segar di pasar tradisional naik, artinya masyarakat kelas menengah ikut terkena dampak dari pengenaan PPN terhadap barang sembako. Itu baru salah satu contoh. Yusuf memprediksi harga bahan pokok lainnya juga akan ikut naik.

"Ini perlu diantisipasi, kan tidak ada jaminan dari pemerintah bahwa kebijakan PPN tidak pengaruhi harga pangan keseluruhan," kata Yusuf.

Bila harga pangan lainnya ikut naik, maka akan terjadi inflasi. Dengan demikian, beban yang dipikul masyarakat kecil untuk memenuhi kebutuhan pokoknya semakin berat.

Masyarakat kecil otomatis akan mengurangi konsumsinya untuk memangkas biaya pengeluaran mereka. Dampaknya, konsumsi rumah tangga berpotensi jeblok.

Konsumsi rumah tangga turun akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Maklum, konsumsi rumah tangga adalah komponen terbesar dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB).

Artinya, kalau konsumsi turun, maka pertumbuhan ekonomi akan ikut melambat atau bahkan kembali minus.

Oleh karena itu, Yusuf mengingatkan pemerintah untuk tak melulu fokus pada penambahan objek pajak baru. Pemerintah seharusnya membenahi struktur ekonomi di Indonesia.

"Perbaiki struktur ekonomi secara keseluruhan, dalam hal ini manufaktur. Ketika kinerja manufaktur naik, maka PPN juga akan ikut naik," terang Yusuf.

Ia mengaku belum menghitung potensi PPN yang akan masuk kantong pemerintah jika sembako benar-benar dikenakan pajak. Namun, Yusuf menilai mudarat dari PPN sembako akan lebih banyak ketimbang manfaat yang didapat pemerintah.

"Mungkin pemerintah bisa menarik pajak dari makanan mahal, tapi ada dampak muncul. Dampak ini bisa lebih besar atau mahal daripada potensi yang didapat pemerintah," ujar Yusuf.

Sementara para ekonom menyebut potensi penerimaan PPN Sembako hanya Rp 4,25 triliun.

Persoalan ini tidak akan muncul kalau negara mengoptimalkan potensi pendapatan dalam negeri. Salah satunya melalui sektor pertambangan. Sayangnya pertambangan kita, banyak yang dikelola asing.

Hal itu tidak akan terjadi bila Islam dijadikan solusi untuk mengelola pertambangan. Pertambangan adalah kepemilikan umum. Karena milik umum, artinya milik seluruh rakyat.

Negara yang mengelolanya. Haram hukumnya bila diserahkan kepada swasta.      

Ironi Ibu Pertiwi. Negara kaya, namun rakyatnya miskin. Banyak pendapatan, namun pajak jadi primadona.

Semua ini tidak akan terjadi bila Islam dijadikan solusi untuk mengatur kehidupan umat secara kaffah.(**)


*)Khadim Majelis Nafsiyah Islamiyah (MNI) Kepulauan Buton (Kepton)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.