Header Ads


Dilema Pasien dan Pelayanan Kesehatan Era Kapitalisme

 

Oleh : Annisa Al Maghfirah

(Relawan Media)

 

Rumah Sakit Murhum diduga telah melanggar amanah undang-undang kesehatan RI Nomor 36 tahun 2009. Setelah pihak RS Murhum menolak memberikan pertolongan darurat kepada korban penikaman yang terjadi di Kota Baubau pada Minggu (12/12/2021) dini hari lalu. Akibatnya, korban penikaman tersebut harus kehilangan nyawa sebelum mendapatkan pertolongan medis.

 

Menanggapi kejadian itu, Wakil Direktur LBH Pospera Kepton, La Ode Samsu Umar SH menilai yang dilakukan pihak RS Murhum harusnya tidak dilakukan. Apalagi, rumah sakit merupakan salah satu institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara paripurna. RS menyuruh korban sebaiknya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Palagimata Kota Baubau tanpa dilakukan tindakan medis darurat. Korban tergeletak menghembuskan nafas terakhir didepan Gedung Skopma Kelurahan Wajo, Kecamatan Murhum.

 

Di lain pihak, Dokter pertama UGD RSU Murhum, Muhamad Radian saat ditemui mengatakan bahwa perawat selalu siap di rumah sakit untuk melakukan tindakan penanganan pertama ketika ada pasien. Terkait somasi yang telah dilayangkan, Kepala Bagian (Kabag) Administrasi RSU Murhum, Yusnawir mengatakan akan tetap memberikan jawaban.Dan menjadi bagian dari kontrol untuk ke arah yang lebih baik dalam memberikan pelayanan kesehatan.

 

April, salah satu perawat di RSU Murhum Baubau menjelaskan pada pukul 1.00 Wita dini hari pasien penikaman datang dengan menggunakan kendaraan roda dua dalam kondisi luka serius (usus keluar dan pendarahan). Perawat mengatakan tidak bisa ditangani di RSU Murhum harus ke RS Palagimata. Korban diarahkan satpam ke UGD namun belum sempat ditulis datanya dan hendak dilakukan penanganan awal, korban sudah pergi. Diduga korban dalam keadaan panik.

 

Perlu ditelusuri mengenai dugaan penolakan pasien dalam keadaan darurat tersebut. Jika ternyata ada pelanggaran dari RS Murhum maka perlu sanksi. Namun, hal yang menjadi poinnya adalah pelayanan kesehatan dalam sistem kapitalisme memang masih banyak yang belum memadai fasilitasnya dan sumber daya manusianya. Maka tak ayal, kejadian pasien panik karena tidak bisa mendapat pelayanan kesehatan bisa terjadi.

 

Belum lagi ruwet dengan perkara administrasinya. Padahal seharusnya semua warga negara berderajat sama dalam hal mendapat pelayanan kesehatan. Sungguh mahal menikmati pelayanan kesehatan dalam sistem kapitalisme bahkan ada ungkapan sindiran 'orang miskin dilarang sakit'.

 

Daerah-daerah di Indonesia memang masih banyak sangat minim fasilitas kesehatan yang memadai, pembangunan daerah yang timpang akibat sistem kapitalis menjadi biang kekacauannya. Sehingga membuat penyediaan fasilitas bangunan, alat kesehatan dan tenaga medis menjadi timpang antara perkotaan dan daerah terpencil. Belum lagi asuransi atau jaminan kesehatan yang diprogramkan rezim malah menimpang tindihkan antar rakyat jelata dan pejabat dalam hal kebutuhan pelayanan kesehatan.

 

Dalam catatan sejarah kejayaan Islam, rumah sakit Islam pertama dibangun sejak abad pertama Hijriah di masa Kekhilafahan Muawiyah. Tepatnya, pada masa kepemimpinan Walid bin Abdul Malik (86-96 H). Lembaga ini menangani pelayanan orang yang sakit kusta. Pada perkembangannya, selain menjadi tempat untuk melayani orang sakit tapi juga menjadi semacam universitas kedokteran dalam istilah sekarang. Dan dilengkapi dengan perpustakaan yang berisi berbagai referensi medis. Kontribusi ini fantastis karena rumah sakit yang pertama kali dibangun di Eropa yang berada di Paris, baru ada sembilan abad kemudian.

 

Pada masa Sultan Mahmud Saljuqi (tahun 511 sampai 525 H), rumah sakit memberikan pelayanan dengan cara berpindah-pindah, fasilitasnya dari mulai dokter, alat kesehatan dan obat-obatan diangkut dengan 40 ekor onta. Hal ini dimaksudkan agar pelayanan kesehatan bisa dirasakan secara merata oleh masyarakat yang jauh dari perkotaan/terpencil.

 

Dalam sistem Islam, berobat tidak dipungut biaya alias gratis dan tidak adanya asuransi kesehatan. Sebab kekayaan SDA diolah negara dan untuk kesejahteraan rakyat dalam hal ini termasuk bidang kesehatan. Lalu, dari mana pemasukan tenaga medis untuk mencukupi kebutuhannya?

 

Negara islamlah yang wajib memberikan gaji bagi para dokter dan penyedia layanan kesehatan. Sebagai contohnya gaji dokter di zaman kejayaan Islam berkisar antara 50-750 US dolar. Bahkan seorang residen yang berjaga di rumah sakit dua hari dan dua malam dalam seminggu memperoleh sekitar 300 dirham per bulan. Angka yang sangat besar pada masa itu, terlebih lagi kebutuhan dasar seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan sudah dijamin oleh negara. Orang yang sakit pun terjamin makan, minum selama dirumah sakit serta pulangpun diberi uang pula untuk kebutuhannya.

 

Sumbangan peradaban Islam pada dunia dalam bidang kesehatan hingga kini masih terakui. Salah satunya dunia mengenal seorang Muslim pertama yang diakui sebagai Bapak Kedokteran Dunia. Tidak lain, dia adalah Ibnu Sina. Nama lengkapnya ialah Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina, (lahir 370 H atau 985 M). Ibnu Sina juga dikenal sebagai seorang filosof, psikolog, pujangga, pendidik dan sarjana Muslim yang hebat. Namun orang barat menyebutnya dengan Aviccena.

 

Wallahu a'lam bishowwab

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.