RUU TPKS Mendesak Disahkan, Solusikah Bagi Kejahatan Seksual?
Oleh: Ummu Raihan (Relawan Media)
Berita
tentang pelecehan seksual atau kejahatan seksual selalu saja menghiasi
televisi, juga media cetak dan media online. Pelecehan seksual terjadi dibanyak
tempat, diantaranya dikampus, disekolah, dilingkungan tempat tinggal bahkan di
asrama pun ada. Ya, belum lama ini publik dikagetkan dengan adanya pencabulan
seorang guru ngaji terhadap belasan santriwatinya. Peristiwa tersebut terjadi
di sebuah pesantren Bandung. Akan tetapi setelah ditelusuri, ternyata pesantren
tersebut tidak mendapat izin dari Kemenag, dan hanya berupa boarding school.
Aksi
seorang guru ngaji, Herry Wirawan tersebut sudah berjalan dari tahun 2016,
sembilan diantaranya sudah pernah melahirkan. Dua santriwanti sedang hamil,
bahkan ada yang sudah dua kali melahirkan. Perbuatan Herry Wirawan terungkap
setelah lima tahun, karena ada salah seorang siswinya yang buka suara. Maka
dari kasus ini, membuat Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni geram.
Beliau
mendesak agar pelaku diberikan hukuman, sedangkan korban diberikan konseling.
Pihak keamanan harus berkerjasama dengan institusi yang memberikan konseling,
karena para korban masih dibawah umur. Beliau juga menyambut baik adanya RUU
Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), dan beliau menyampaikan agar RUU
tersebut jangan sekedar disahkan. Setelah disahkan, institusi penegak hukum
segera disosialisasikan kemasyarakat dan membuat aturan turunan yang
disesuaikan dengan lembaganya masing-masing. (sindonews, 10/12/2021).
Dari
kasus pencabulan di Bandung tersebut semakin menambah alasan agar RUU TPKS
segera disahkan. Akan tetapi pengesahan RUU tersebut berlangsung alot, sebab
publik mempertanyakan tentang definisi kekerasan seksual yang masih bias.
Dalam
RUU tersebut yang dibahas hanya pelaku kejahatan atau pelecehan seksual,
sedangkan jika dilakukan atas dasar suka sama suka tidak dianggap sebagai
kejahatan seksual. Begitu pula pelaku kelainan seksual seperti LGBT tidak
dibahas dalam RUU, sehingga pelaku kelainan seksual semakin meningkat.
Atas
dasar itu, sehingga beberapa ormas Islam
menyampaikan ke DPR agar tidak terburu-buru mengesahkannya. Ormas Islam yang tergabung dalam Majelis
Ormas Islam ( MOI) menyatakan sikap tidak kesetujuannya. Pernyataan sikap tidak
setuju tersebut mencakup delapan poin. Diantaranya MOI mengingatkan kepada DPR
agar menghilangkan seluruh paradigma sexual consent dalam draft RUU TPKS dan
kerangka berpikir feminist legal theory karena tidak sejalan dengan Pancasila,
Agama, dan Budaya di Indonesia dan telah ditolak oleh banyak akademisi, juga
elemen masyarakat.
Selain
itu, Majelis Ormas Islam juga mengingatkan DPR bahwa RUU TP-KS ini berpotensi
menjadi landasan hukum bagi kaum feminis radikal dalam mengembangkan
‘pendidikan seks yang aman’ menggunakan kondom dan sejenisnya kepada murid
sejak usia dasar atau sering disebut sebagai Comprehensive Sexual Education
(CSE).(hidayatullah.com, 12/10/2021).
Kita
menyadari bahwa RUU PKS ini dibuat sebagai bentuk kepedulian penguasa terhadap
rakyatnya, terutama para korban pelecehan atau kejahatan seksual. Akan tetapi RUU
tersebut dirancang dengan paradigma barat, sebab yang dibahas dalam RUU hanya
kejahatan seksual, sedangkan jika seks tersebut dilakukan atas dasar suka sama
suka bersama pasangan tidak halalnya maka tidak termasuk dalam kejahatan
seksual. Begitu pula dengan pelaku kelainan seksual, seperti LGBT tidak masuk
dalam pembahasan. Alih-alih ingin menghilangkan pelaku kejahatan seksual, malah
memberikan lampu hijau untuk melegalkan sex bebas, juga kelainan seksual (
LGBT). Hal ini terlihat dengan tetap
dipertahankannya diksi ‘kekerasan seksual’, ‘secara paksa’, ‘keinginan
seksual’, ‘pemaksaan hubungan seksual’, dan ‘pemaksaan menggunakan alat
kontrasepsi’.
Selain
itu, RUU TPKS ini jika disahkan akan menjadi pijakan bagi kaum feminis untuk
melegalkan seks aman. Mereka akan memberikan pendidikan seks agar aman,
misalnya menggunakan kondom. Bisa saja pendidikan tersebut akan diajarkan dari
tingkat SD, sehingga dari usia anak-anak sudah memiliki keinginan yang
bertentangan dengan ajaran Islam. ditambah lagi generasi muda sudah memahami
bahwa dengan memakai alat akan aman.
Jika
di telisik lagi, meningkatnya kekerasan atau pelecehan juga penyimpangan
seksual ini karena diterapkannya aturan yang tidak baku ditengah-tengah
masyarakat, sehingga aturan yang ada kadang dengan mudah dibongkar, jika yang
bersangkutan mampu membeli. Seandainya aturan yang ada tidak mudah diutak-atik,
tetap tidak mampu memberikan solusi. Sebab sistem yang dipakai saat ini adalah
sistem yang liberal atau bebas, jika dipaksa akan ada pembelaan dari HAM,
dengan dalih bahwa apa yang dilakukan tidak bertentangan dengan aturan yang
berlaku.
Disisi
lain, sistem yang ada juga mampu menggiring generasi muslim untuk menjauh dari
ajaran agamanya. Sehingga umat Islam sebagian besar tidak memiliki pemahaman
tentang Islam. Kita bisa melihat saat ini pelaku kelainan seksual dan pelaku
pelecehan seksual banyak dari umat Islam. Itu terjadi karena Islam cukup dalam
ranah privat saja, sedangkan ditempat umum dibebaskan.
RUU
TPK yang ada justru menimbulkan keresahan, kehancuran keluarga juga generasi.
Sebab para pelaku akan menjadikan RUU tersebut sebagai tameng dalam bertindak.
Hal ini semakin membuktikan bahwa aturan yang dibuat dengan mengikuti paradigma
barat, akan gagal menuntaskan masalah seksual.
Semestinya
penguasa menyadari, bahwa yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah
implementasi Islam yang sempurna untuk mewujudkan individu takwa, lingkungan
penuh respek terhadap perempuan dan menutup semua peluang terjadinya kejahatan
seksual dan penyimpangan seksual.
Kita
bisa flashback kebelakang bagiamana saat itu ketika Islam datang untuk
menyelamatkan peradaban manusia. Islam melindungi hak-hak kemanusiaan baik
laki-laki maupun perempuan. Islamlah yang menyelamatkan perempuan dari
ketertindasan dan eksploitasi.
Islam
hadir dengan segala pencegahan hingga tindakan. Islam mengatur pergaulan antara
laki-laki dan perempuan. Saat seorang perempuan keluar rumah, ia harus menutup
auratnya denga jilbab (gamis) dan kerudung (khimar). Perempuan juga tidak boleh
tabaruj ketika ia keluar untuk menunaikan hajat. Jika ia keluar rumah untuk
suatau urusan, maka ia tidak boleh berikhtilat atau bekhalwat dangan laki-laki
yang bukan mahramnya. Jika bepergian jauh, dimana tempat yang dituju melewati
sehari semalam, ia harus ditemani mahramnya.
Dalam
Islam seorang perempuan dibolehkan berinteraksi dengan laki-laki hanya dalam
urusan muamalah yang dibolehkan syariat Islam. Aturan interaksi ini akan
sejalan dengan pendidikan yang diterapkan oleh rumah, masyarkat dan juga
negara. Orang tua harus memberikan pendidikan Islam sedari kecil misalnya
memakai kerudung ketika keluar rumah, sehingga terbiasa ketika sudah dewasa.
Aturan tersebut tidak dianggap sebagai aturan yang memaksa.
Negara
juga akan manjaga dan mengawasi penerangan dan media. Negara mengawasi pemilik
media, jika menyebarkan konten porno maka pemilki media tersebut akan diberikan
sanksi juga dicabut perizinannya. Media yang dibolehkan beredar hanya
media-media yang mengarahkan ketataan kepada Allah Swt.
Sedangkan
dalam masalah ekonomi, negara akan membuka lapangan pekerjaan, sehingga
laki-laki atau mahram perempuan tersebut bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Sehingga perempuan tidak harus keluar rumah mencari pekerjaan,
apalagi pekerjaan tersebut mengeksploitasi tubuhnya. Mereka tidak pusing untuk
mencari pekerjaan, seperti yang terjadi saat ini. Laki-laki bingung mencari
pekerjaan, sehingga mereka mengambil jalan pintas yaitu mencuri, korupsi dan
lain-lain.
Selain
itu negara akan memberikan sanksi dan hukuman yang berat terhadap pelaku
kemungkaran dan kemaksiatan. Salah satunya pelaku pelecehan atau kejahatan
seksual juga pelaku penyimpangan seksual. Para pelaku akan diberikan sanksi
berupa rajam ( dilempari batu) dan cambuk seratus kali. Rajam sampai mati bagi
yang sudah menikah sedangkan yang belum menikah dicambuk seratus kali dan
diasingkan selama setahun. Sanksi ini dilaksanakan sebagai pencegah (jawazir),
juga sebagai penebus dosa kelak diakhirat (jawabir).
Dengan
diterapkannya sanksi yang berat seperti itu, akan mampu meminimalisir kejahatan
bahkan mampu menghentikan. Dalam daulah tidak hanya sekedar memberikan
konseling kepada korban tetapi diterapkan juga sanksi yang tegas bagi pelaku.
Wallahu'alam
bishowab(*)
Post a Comment