Spirit Doll, Benarkah Sekedar Tren Kesyirikan Gaya Baru?
drg. Endartini Kusumastuti (Pegiat Literasi Kota Kendari)
Spirit doll atau boneka
arwah menjadi fenomena baru di awal tahun 2022. Boneka arwah ini ramai
diperbincangkan masyarakat Indonesia setelah sebelumnya dipamerkan oleh artis
Ivan Gunawan atau Igun. Spirit doll adalah boneka yang menyerupai bayi
dan diperlakukan layaknya anak dengan diberi makan, berpakaian, dan dirawat
setiap hari. Tak hanya Igun, sejumlah artis lainnya juga diketahui
mengadopsi boneka bayi atau spirit doll. Tren boneka arwah ternyata tidak hanya
muncul saat ini. Sudah sejak bertahun-tahun sebelumnya, boneka arwah ini telah
diadopsi di beberapa Negara.
Banyak pakar psikologi
yang menilai kondisi ini bukan hal baru, dan merambah di berbagai komunitas. Dosen Departemen
Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Retno
Hanggarani Ninin, fenomena adopsi spirit doll bisa dilihat dari sudut pandang
kemampuan psikologis yang dimiliki seseorang berdasarkan proses tumbuh
kembangnya. Ketidakmampuan untuk bertahan tersebut mendorong seseorang memilih
cara-cara tertentu untuk menguatkan. Salah satunya menggunakan alat bantu
seperti spirit doll. (kompas.co.id, 7/01/2022)
Agenda Lainnya di Balik
Tren Spirit Doll, Bukan Sekedar Kesyirikan
Anggota
Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas Psikologi, Radita Pratama Putri
menyampaikan, memiliki boneka arwah tentu dapat mempengaruhi psikologi pada
pemiliki boneka arwah tersebut, yang mana para pemiliki boneka arwah
menjadikannya bagaikan manusia hidup yang dapat makan dan minum. Lebih jauh
lagi, Radita menyampaikan bahwa hal ini juga adanya peran media yang
mempengaruhi rasa individualism masyarakat saat ini, yang diakibatkan oleh
ketergantungan pada media social yang akhirnya memutuskan untuk mengadopsi boneka
arwah tersebut.
Dosen Psikologi Unpad, Retni Hanggarani Ninin juga
mengungkapkan, ketika di usia dewasa seseorang masih memperlakukan boneka
seperti pada usia anak-anak, maka ada sesuatu dari kondisi psikologisnya yang
mencetuskan dia untuk membutuhkan cara tersebut.
Kondisi ini diperparah
dengan kehidupan yang serba kapitalis sekuler, dimana, setiap individunya
dibebaskan untuk mengatur aqidahnya sendiri. Keyakinan terhadap agamanya tidak
diatur oleh Negara sebagai periayah umat. Walhasil, fenomena boneka arwah
inipun tidk disadari sebagai bagian dari kesyirikan yang luar biasa. Karena
jelas, apapun yang bernama ‘arwah’ dan disematkan kepada barang, tentu
bertentangan dengan aqidah yang diemban oleh seorang muslim.
Di sisi lainnya, spirit
doll ini tidak lain adalah bahasa lain seseorang yang menginginkan anak tanpa
perlu merasa repot mengurus anak. Tentunya kita masih teringat dengan ide
sekuler liberalis “freechild” beberapa waktu lalu. Mereka memandang,
kehidupan pernikahan yang menghasilkan keturunan adalah kehidupan yang dapat
mengekang manusia. Karena kehidupan yang serba bebas, tentu akan berkurang
ketika memiliki dan mengurus anak. Kondisi inipun seperti mendapat angin segar,
di tengah-tengah panasnya sengkarut persoalan kehidupan manusia. Ditambah lagi
dengan maraknya gamophiobia, yang menerpa anak-anak muda masa kini, akibat
trendingnya serial di tv digital.
Bukan tanpa sebab,
berbagai fenomena yang muncul belakangan ini, tidak mendapat satu respon pun
dari pemerintah selaku penyelenggara Negara dan pengatur urusan umatnya.
Kefanatikan dalam beragama yang digadang-gadang menimbulkan kerusakan di
masyarakat justru tidak memiliki bukti empiris. Tudingan memegang teguh syariah
dalam kehidupan dengan sebutan radikal dan fundamental, sekedar menjadi isapan
jempol. Sebaliknya, sengkarutnya persoalan yang terjadi saat ini, justru
mengarah kepada kebebasan kehidupan masyarakat yang jauh dari agamanya. Saking
bebasnya, membuat manusia sendiri tidak mampu berpikir untuk mengeluarkan hartanya
yang berlebih kepada hal-hal yang bermanfaat bagi orang lain. Setiap individu
bebas menjalankan apapun selama tidak mengganggu kehidupan orang lain. Itulah
slogan sekulerisme liberal yang menjangkiti umat saat ini.
Kefanatikan beragama,
yakni memegang teguh keyakinan agamanya untuk dijadikan standar kehidupan,
dituding sebagai kekolotan dan kemunduruan peradaban manusia. Maka, inilah
dampak besar dari moderasi beragama yang menjadi program dari penguasa negeri
untuk melanggengkan kehidupan kapitalis sekuler di tengah-tengah kaum muslim.
Butuh
Standar Sistem dan Konsep Kehidupan Yang Benar
Tren mengadopsi spirit
doll ini membuat Majelis Ulama Indonesia turun tangan. Ketua
Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI, KH Muhammad Cholil Nafis menyebutkan bahwa
manusia tidak boleh memelihara makhluk halus. Selain itu, jika boneka tersebut
sampai disembah, maka hukumnya musyrik dan dosanya tidak akan diampuni oleh
Allah SWT. Hal ini tentu saja harus dipahami oleh seluruh umat muslim.
Dipercaya membawa keberuntungan, tren spirit doll ini memang bisa
menjadi awal dari kegiatan yang termasuk musyrik menurut kacamata Islam.
Dalam Islam, hukum boneka ini menjadi ikhtilaf bagi para
ulama, sebagian ulama membolehkan boneka untuk dimiliki hanya untuk anak kecil
dan sebagai media hiburan atau mainan saja. Lain hal dengan orang dewasa, tidak
ada pembenaran dalam ajaran Islam terkecuali sebagai objek edukasi dan hiburan
terhadap anak kecil.
Lebih jauh lagi, kondisi ini bukan sekedar
perusakan aqidah umat, yang jelas hukumnya syirik, yakni termasuk dosa besar.
Perlu dipahami, bagaimana kita melihat lebih dalam bahwa persoalan ini tidak
mendapat respon dari penyelenggara Negara. Menjadi bukti kongkrit bahwa Negara
memang menjalankan sistem Kapitalis dengan ruh nya sekulerisme liberal.
Pemisahan agama dari kehidupan ini tentu berdampak besar bagi masyarakat yang
belum memiliki aqidah yang kokoh. Masyarakat pun menjadi bersikap antipati
terhdap agamanya sendiri, ketika pemerintah menyodorkn program moderasi di berbagai
kalangan. Fanatisme terhadap syariah yang dianggap sebagai symbol kemunduran
peradaban justru berbalik arah untuk melawan arus kemoderatan dalam setiap
hukum-hukum Islam saat ini.
Kondisi seperti saat inilah justru diperlukan
sebuah standard dan konsep yang jelas mengenai kehidupan beragama. Bagaimana
seorang muslim yang memahami makna syahadatnya wajib menjalankan kewajibannya
bersandar kepada syariah. Lebih jauh lagi, kehidupan yang serba bebas ini,
membutuhkan konsep yang benar dan hakiki mengenai keyakinan dalam bertuhan.
Islamlah jawaban paripurna dari persoalan pelik yang mendera batas kewajaran
manusia ini. Seorang individu yang memahami makna penciptaannya di dunia, jelas
tidak akan mengadopsi boneka arwah dan memegang prinsip freechild,
dengan alasan apapun. Karena segala amalan yng dilakukan di dunia, kelak akan
memperberat timbangannya di yaumil hisab. Cukuplah perintah Allah SWT sebagai
pengingat kita. Allah SWT telah mengatur dengan memerintahkan pemelukNya untuk
tat terhadap segala perintahNya.
يٰۤـاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ
وَاَ نْـتُمْ تَسْمَعُوْنَ
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
janganlah kamu berpaling dari-Nya, padahal kamu mendengar
(perintah-perintah-Nya)" (QS Al Anfal 20)
Post a Comment