Mafia Minyak Goreng, Benarkah Problem Utama ?
Oleh : Herliana Laipi (Pegiat Opini Muslimah)
Dilansir dari Bisnis. Com, Jakarta‐ Kelangkaan bahan pokok minyak
goreng dalam beberapa waktu belakangan ini, di tengarai akibat ulah para
spekulan dan mafia.
Hal itu di ungkapkan Menteri perdagangan M.
Lutfi saat rapat dengar pendapat ( RDP) bersama komisi VI DPR RI, pada kamis (
17/3/2022). Menurutnya, seharusnya indonesia yang merupakan produsen minyak
sawit terbesar di dunia, tidak mengalami
bencana kelangkaan minyak goreng.
Teorinya, kata Lutfi pasokan minyak goreng
lebih dari cukup untuk mengunmankan kebutuhan masyarakat. Terlebih lagi,
pemerintah telah menjalankan kebijakan DMO dan DPO, membuat Kemendag sukses
mengepul sekitar 720.612 ton minyak sawit.
Persoalannya, lanjut Lutfi, dilapangan seolah
minyak goreng tersebut hilang.Dari beberapa kali pemeriksaan langsung ke
lapangan, banyak pasar dan pusat belanja malah tak memiliki minyak goreng.Jadi,
mereka berpendapat ada pihak yang mengambil kesempatan dalam kesempatan
ini.Dari tiga kota ini satu industri ada di sana, kedua ada pelabuhan, ujar
Lutfi dalam siaran RDP Virtual.
Disisi lain, dari stok yang dimiliki Kemendag
telah didistribusikan 551.069 ton atau setara 570 juta liter dalam rentang
sebulan terakhir. Anehnya, fakta di lapangan tidak seturut dengan aksi
tersebut, kelangkaan masih terjadi di mana-mana.
Kapitalisme, Suburkan Mafia Minyak Goreng
Jika ditelaah lebih dalam, memang kehadiran para mafia itu sepaket dengan implementasi dari sistem yang tumbuh dari sistem kehidupan berkarakter sekuler kapitalistik. Karenanya, pemberantasan mafia pangan tidak akan mungkin terealisasi apabila konsep pengaturan dan sistem kehidupan kita masih menggunakan sekuler kapitalistik yang justru makin menumbuhsuburkan para mafia.
Hal ini dikemukakannya menanggapi pernyataan
Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, yang mengancam untuk menangkap para mafia
minyak goreng, yaitu pihak-pihak yang melakukan ekspor dengan cara-cara melawan
hukum, yang melakukan pengemasan ulang atau repack minyak goreng curah untuk
dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi, baik itu yang mengalihkan minyak
subsidi ke minyak industri ataupun juga yang mengekspor ke luar negeri serta
menjual dengan harga yang tidak sesuai dengan HET.
Kebijakan penetapan harga eceran tertinggi
(HET) minyak goreng faktanya malah menimbulkan masalah. Pasalnya hal itu
menjadi peluang para pengusaha memasok stok minyak goreng ke sektor yang
dinilai paling menguntungkan misalnya ke anak perusahaan, ke pasar tradisional
atau ke swalayan. Sehingga wajar terjadi lonjakan harga minyak di pasaran.
Ketidakberesan tata kelola minyak goreng
sebenarnya diakibatkan oleh penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang dianut
negeri ini. Sistem kapitalisme memberi peluang para pengusaha atau kapitalis
dalam menentukan kebijakan yang mana kebijakan tersebut disesuaikan dengan kepentingan
kapitalis. Adapun para penguasa faktanya telah terbeli oleh para kapital demi
mempertahankan kekuasaan mereka. Walhasil, kolaborasi penguasa dan pengusaha
tumbuh subur di alam kapitalisme.
Sistem saat ini memang mengagungkan kebebasan
individu, termasuk kebebasan untuk memiliki dan berusaha, serta sangat
mengakomodir sifat rakusnya manusia. “Sementara, sistem pengelolaan kehidupan
dari konsep neoliberalisme telah meminggirkan peran negara, tetapi di pihak
lain memperbesar peran swasta. Dengan demikian, lepasnya pengelolaan pangan
dari tangan negara menjadikan kelompok-kelompok swasta dan korporasi saling
bersaing mengambil keuntungan dari pemenuhan hak-hak mendasar masyarakat.
Praktik mafia pangan seperti ini memang sangat
lumrah terjadi. “Bahkan, bukan hanya di sektor pangan, tetapi di berbagai
sektor sektor lainnya. Suatu hasil penelitian mengungkapkan praktik mafia
pangan ini dimulai dengan pemalsuan data kebutuhan pangan, pemalsuan dokumen
impor atau ekspor penghindaran pajak, pelanggaran terhadap kuota, dan
sebagainya.
Bukan itu saja, terjadi kelemahan pengawasan
dan penegakan hukum. “Penegakan hukum di negeri ini masih menggunakan konsep
tebang pilih dan sangat lemah di dalam penerapannya sehingga mafia makin sulit
dibasmi.
Inilah realita kehidupan akibat penerapan
sistem kapitalisme. Kapitalisme melihat bahwa negara dianggap sebagai ladang
bisnis berbasis politik. Pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator hajat
hidup rakyat. Sehingga yang terjadi, bentuk tanggung jawab negara dan para politisi
terganti dengan adanya pengaruh para penguasa korporasi.
Para pebisnis yang berada di belakang penguasa
memanfaatkan celah yang dapat dijadikan sebagai instrumen untuk mendapatkan
keuntungan, tanpa peduli hal itu akan menyengsarakan kehidupan rakyat.
Sehingga rakyat Indonesia miskin bukan karena
malas, bodoh dan tidak bekerja. Tapi, mereka di miskinkan karena sistem yang
tidak berpihak kepada mereka.
Beginilah nasib negeri penghasil sawit terbesar
di dunia ini. Rakyat merana demi mendapat minyak goreng, sedangkan kapitalis
terlihat berjaya karena meraup untung sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan
situasi. Mirisnya lagi, negara kalah menghadapi kartel dan kapitalis yang
memainkan harga pasaran minyak goreng. Kok bisa?
Hingga kini, desakan agar pemerintah dan Polri
segera mengusut praktik mafia minyak goreng makin kencang. Publik terus menagih
janji Mendag untuk merilis nama-nama mafia minyak goreng.
Sayangnya, publik ternyata meragukan keberanian
pemerintah mengungkap tuntas polemik minyak goreng. Melihat rekam jejak
pemerintah yang selama ini hanya umbar janji tetapi minim realisasi, tidak
heran keraguan dan pesimistis itu mencuat. Apa iya pemerintah berani melawan
para “mafia” dan kartel minyak goreng demi rakyat?
Mencermati fakta “kekalahan” negara melawan
mafia, penguasa negeri ini harusnya menyadari bahwa penerapan kapitalisme akan
selalu berimbas pada penderitaan rakyat dan kegembiraan bagi konglomerat,
pengusaha, dan korporasi. Sifat bawaan kapitalisme sejak awal memang rakus dan
jahat.
Kerakusan itu berpijak pada prinsip kebebasan
kepemilikan. Dengan prinsip ini, siapa pun bebas memiliki harta, baik milik
individu maupun umum. Walhasil, kebebasan kepemilikan tidak memiliki batas
harta mana yang boleh dan tidak boleh individu miliki. Prinsip ini yang
melahirkan liberalisasi pasar dan menjadi role model ekonomi bagi kapitalisme.
Jadi, jika negara merasa kewalahan dan tidak
kuasa mengontrol sifat rakus manusia, hal itu karena kapitalisme memang
membentuk manusia kapitalistik yang hanya mengejar profit. Sistem ekonomi
kapitalisme jelas menciptakan kejahatan struktural dalam bentuk paket kebijakan
yang serba kapitalistik dan liberal.
Mengapa baru sekarang menyadari bahwa manusia
di bawah kontrol kapitalisme itu rakus dan jahat?
Padahal, keberlangsungan sistem ini sudah
berjalan begitu lama. Rakyat sudah sangat “kenyang” dengan dampaknya. Contoh
sederhananya adalah ketimpangan ekonomi yang sangat nyata, yaitu yang kaya
makin kaya, yang miskin makin sengsara.
Islam,
Solusi Sempurna
Dalam kepemimpinan Islam, kemaslahatan umat menjadi hal yang utama. Sebab Islam berpandangan kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, perumahan,air bersih juga energi serta transportasi adalah aspek dasar masyarakat bukan komoditas.
Sebagaimana sabda Rasulullah “Siapa saja yang
ketika memasuki pagi merasakan aman pada kelompoknya, sehat badannya dan
tersedia bahan makanan pada hari itu, maka seolah-olah dia telah memiliki dunia
semuanya (HR.Bukhari)
Untuk itu, didalam sistem Islam yakni Khilfah
semuanya akan diatur sesuai syari’at Islam dengan asas kesejahteraan bagi
seluruh umat manusia. Maka dengan demikian, tidak akan terjadi persoalan yang
seperti ini, sebab dalam Khilafah kesejahteraan masyarakat adalah prinsip
utamanya.
Maka dari itu,pantaskah masih ada keraguan atas
Khilafah itu sendiri?Padahal sudah jelas,sumber hukum yang dijadikan dalam
peraturan kehidupan Khilafah adalah yang berasal dari Al-Qur’an dan
As-sunah.Bukan buatan tangan manusia, yang di mana mereka yang membuat dan
mereka sendiri lah yang mengingkari. Wallahu A’lam Bisshawab.
Post a Comment