Header Ads


Human Trafficking Merajalela, Bukti Lemahnya Perlindungan Pekerja


Sri Sunarti (Pemerhati Masalah Sosial)

 

 Untung tak dapat diraih, Malang tak dapat ditolak.

Peribahasa di atas,  menggambarkan kondisi WNI yang berniat mencari penghidupan di negeri yang dikenal sebagai Land of the khmer atau tanah kedamaian dan kemakmuran. Bukannya mendapatkan keuntungan, melainkan teraniaya tanpa perlindungan. Mereka diduga sebagai korban penipuan dan perdagangan orang alias human trafficking.

Diketahui sebanyak 60 WNI disekap di Kamboja. Beruntung 55 di antaranya berhasil diselamatkan dari tempat penyekapan oleh tim kepolisian Kamboja. Sementara,  lima WNI lainnya masih dalam proses evakuasi. Menlu RI Retno Marsudi mengatakan, setelah dievakuasi, 55 WNI tersebut akan dimintai keterangan oleh kepolisian sebelum direpatriasi ke Indonesia (detikNews.com 30/7/2022).

Jika dicermati, peristiwa di atas terjadi akibat kurangnya lapangan pekerjaan di dalam negeri. Ditambah lagi, biaya hidup yang semakin tinggi saat ini membuat masyarakat memutar otak, banting tulang dan peras keringat demi memenuhi kebutuhan hidup. Dunia pendidikan yang saat ini bagaikan barang yang sangat sulit dirasakan bagi kalangan menengah ke bawah. Maka, tak heran jika masyarakat negeri ini memilih untuk mencari peruntungan ke luar negeri.

Hal ini menunjukkan kegagalan sistem hari ini dalam mengurusi kepentingan warganya. Kasus penyekapan tersebut mengindikasikan masih sangat besarnya dorongan mencari kerja di luar negeri meski risiko keselamatan dan nyawa mengancam. Padahal, pada tahun 2019-2020 tercatat, TKA yang masuk ke Indonesia sekitar 100.000 jiwa. Pun, tidak sedikit dari mereka berstatus buruh kasar. Ibaratnya,rakyat sendiri diberi jalan tanah yang becek, tetapi TKA diberi karpet merah dengan penyambutan yang gegap gempita atas nama industri strategis. Sungguh miris!

 

 

Seyogianya, pemerintah Indonesia berperan besar dalam hal menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap individu yang menjadi warga negaranya. Sehingga, rakyat tak perlu mencari lapangan kerja hingga ke luar negeri untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Bukankah Allah Swt. telah berfirman, “Barang siapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Ma’idah: 47).

Rasulullah saw. mencontohkan bahwasanya memutuskan dan mengatur urusan umat haruslah sesuai dengan apa yang diturunkan Allah. Begitupun terkait  pengelolaan kepemilikan.  Islam telah menetapkan bahwasanya kepemilikan dibedakan dalam tiga kelompok.

Pertama, kepemilikan negara, yakni harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim, sementara pengelolaannya menjadi wewenang negara. Di antaranya, fai, kharaj, jizyah dan sebagainya. Kedua, kepemilikan umum, yakni kekayaan Alam yang jumlahnya banyak baik berupa air, api, dan padang rumput. Kepemilikan umum tidak boleh dikuasai individu maupun kelompok, termasuk dalam pengelolaannya. Pengelolaan kepemilikan umum harus diambil alih negara. Adapun hasilnya wajib dikembalikan kepada umat dalam bentuk layanan publik secara adil dan merata.

Ketiga, kepemilikan individu, yakni harta yang diperoleh seseorang melalui sebab kepemilikan harta. Baik dengan bekerja, mendapatkan harta waris, santunan dari negara, dan  lain-lain.

Islam juga menjamin setiap individu rakyat dalam hal kepemilikan harta. Paling tidak, agar rakyat dapat memenuhi kebutuhan yang sifatnya primer, seperti pangan, sandang, dan papan. Sebagai contoh, jika ada rakyat yang tidak memiliki tanah untuk digarap, maka negara akan memberikannya. Bisa diambil dari tanah yang ditelantarkan (tidak diolah/dimanfaatkan sama sekali) oleh pemiliknya selama 3 tahun, atau tanah milik negara yang diberikan langsung kepada rakyat yang tidak memiliki tanah. Islam tidak menghalangi rakyatnya untuk memiliki harta, selama hal itu diizinkan oleh Syara'.

 

Di samping itu, Islam juga menjamin pekerja mendapatkan upah yang layak. Islam mewajibkan transaksi atau akad ijarah diawali dengan ijab dan kabul antara mustajir (majikan/pemberi kerja) dan ajir (pekerja). Dalam ijab kabul tersebut, semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti besaran upah, waktu kerja, jenis pekerjaan, dan mekanisme pengupahan/penggajian, harus jelas sebelum akad diputuskan. Adapun jika pekerjaan dilakukan sebelum terjadinya akad, maka besaran upah dikembalikan kepada ahli untuk menentukan. Yang pasti, apa yang diputuskan tidak akan menzalimi pihak manapun. Baik ajir (pekerja) maupun mustajir (majikan). Sehingga, hal-hal yang tidak diinginkan seperti penipuan, dll. tidak akan terjadi. Kalaupun terjadi, maka negara akan menyelesaikannya secara adil.

Terkait pekerjaan, apa saja yang dihalalkan oleh syariat, boleh dikerjakan atau dikontrakkerjakan (diakadijarahkan). Pun demikian dalam hal perdagangan. Apa saja yang dihalalkan oleh syara' untuk diperdagangkan, maka hukumnya boleh. Adapun trafficking (penyelundupan), dalam bentuk barang atau manusia, maka hukumnya haram. Sebab, Islam dengan tegas  melarang perdagangan manusia, perbudakan, dan sejenisnya.

Untuk itu, saatnya kembali pada tata kelola ekonomi Islam. Dengannya, niscaya Allah Swt. mendatangkan rahmat-Nya dari langit dan bumi. Wallahu A'lam Bish Showwab.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.