Kasus Human Traffiking Berulang, Benarkah Perlindungan Negara Lemah?
Siti Komariah (Freelance Writer)
Kasus human traffiking hingga saat ini masih
terus terjadi, baru-baru ini sekitar 60 warga negara Indonesia (WNI) disekap di
Kamboja. Penyekapan tersebut telah dibenarkan oleh Karo Penmas Divisi Humas
Polri Brigjen Ahmad Ramadhan.
Menurutnya, sebanyak 55 WNI telah dibebaskan
dari penyekapan tersebut oleh kepolisian Kamboja. Brigjen Ramadhan juga
menjelaskan WNI yang telah bebas kini tengah diperiksa di kepolisian
Sihanoukville, Kamboja. Adapun 55 WNI itu terdiri dari 47 pria dan delapan
wanita. Sedangkan 5 orang masih dalam proses pembebasan ( tvonenews.com,
31/07/2022).
Kasus trafficking bukanlah hal yang tabu,
berdasarkan data BP2MI memperlihatkan di masa pandemi Covid-19 pada 2020 –
2021, jumlah penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) menurun, tetapi angka
kasus pengaduan TPPO meningkat. Sedangkan data Catatan Akhir Tahun (CATAHU)
SBMI, pada 2021 saja ada 159 PMI yang menjadi korban perdagangan orang.
Kasus penyekapan 60 WNI di Kamboja ini juga
semakin mengindikasi bahwa masih besarnya dorongan masyarakat untuk mencari
kerja di luar negeri demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang kian berat,
meski risiko keselamatan dan nyawa mereka terancam. Kemudian hal tersebut juga
mengindikasi minimnya perlindungan negara terhadap para pekerja migran dan berlepasnya
tanggungjawab negara dalam memenuhi kewajibannya untuk menyediakan lapangan
pekerjaan. Sebab, telah jamak diketahui jika di dalam negeri ini sangat sulit
untuk mendapatkan pekerjaan, baik lulusan sarjana apalagi rakyat biasa.
Sehingga tak heran jika mereka berani mempertaruhkan nyawa mereka demi mendapat
upah yang besar atau sekedar mendapat pekerjaan.
Dalam sistem kapitalisme penyelesaian masalah
human trafikking seakan dicukupkan pada pembebasan dan penyelamatan para
pekerja Migran saja, tanpa berfokus pada akar masalahnya mengapa kasus tersebut
terus berulang? dan kenapa para pekerja harus mencari pekerjaan di luar negeri?
Jika ditelisik, hal ini akibat sistem
kapitalisme yang berasas pada sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Sistem ini telah membuat seluruh tatanan kehidupan manusia yang merupakan
tanggungjawab negara selalu menjadi program yang dikomersilkan. Mulai dari
pemenuhan kebutuhan pokok hingga jaminan pendidikan dan keselamatan. Negara
seakan tak berdaya untuk menuntaskan kasus-kasus yang membelit rakyat
negerinya, seperti halnya kasus trafikking.
Akibat sistem kapitalisme pun rakyat harus terseok-seok sendirian dalam
mempertahankan hidup mereka, karena peran negara sebagai ra'iin dan junnah
telah hilang, dia hanya berperan sebagai regulator semata.
Seyogianya, dalam penyelesaian kasus human
trafikking ini tak cukup sekedar pembebasan dan penyelamatan korban (para
pekerja) saja, melainkan membutuhkan sebuah sistem yang mampu memberikan solusi
yang mendasar terhadap kasus tersebut.
Diantara penyelesaian kasus tersebut, yakni
pertama, negara menyediakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya dan layak
bagi rakyat, terkhusus para pencari nafkah sesuai kemampuan individu
masyarakat. Sebab, dengan adanya
lapangan pekerjaan yang luas dan layak,
maka rakyat tidak akan terpaksa mencari kerja keluar negeri. Mereka akan
berfokus pada lowongan pekerjaan di dalam negeri.
Kedua, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan
pokok rakyat, bahkan kemudahan untuk mendapatkannya. Misalkan dalam akses
pendidikan, kesehatan. Rakyat harus mendapatkannya dengan murah, bahkan
gratis, serta pemenuhan kebutuhan pokok
mereka sandang, pangan dan papan.
Ketiga, negara memberikan perlindungan bagi
individu rakyat, termaksud seorang perempuan yang bekerja. Sehingga rakyat akan
terjamin hak-haknya dalam bekerja, bahkan jika terjadi perselisihan, negara
turun tangan untuk menuntaskan perkara tersebut dengan mudah dan adil. Dan jika
ada rakyat yang ingin berkarir di luar negeri, maka pekerjaannya harus diiringi
dengan tidak adanya kemudharatan dalam aktivitasnya, kemudian negara juga wajib memberikan
jaminan perlindungan bagi setiap
individu rakyat.
Keempat, memberikan sanksi yang keras dan
tegas, serta menjerakan kepada para oknum-oknum yang melakukan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO). Dengan adanya sanksi yang tegas dan keras, maka hal
tersebut akan membuat para pelaku dan orang lain untuk tidak melakukan sebuah
kejahatan, ditambah lagi dengan adanya pendampingan negara yang selalu
mendorong individu rakyatnya untuk bertakwa kepada Allah dan menjauhi segala
bentuk kejahatan. Maka, rakyat akan terjaga dari pemikiran-pemikiran busuk dan
jahat.
Hal ini hanya bisa dilakukan di dalam naungan
sistem Islam, sebab Islam melahirkan para pemimpin yang mendedikasikan dirinya
demi kesejahteraan rakyatnya. Menjalankan fungsinya sebagai raiin dan junnah,
sebagaimana hadis Rasulullah “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat)
dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari), bukan
sekedar regulator sebagaimana sistem saat ini yang diemban oleh hampir seluruh
negeri, termaksud Indonesia. Sehingga, rakyat wajib menyadari bahwa sistem
kapitalisme merupakan sistem yang bobrok yang tidak akan mampu memberikan
kesejahteraan bagi rakyat. Wallahu A'alam Bisshawab.
Post a Comment