Header Ads


Kota Layak Anak, antara Harapan dan Kenyataan


Ratni Kartini, S.Si (Pemerhati Sosial)

 

Pada tanggal 22 Juli 2022 lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memberikan penghargaan kepada 312 kabupaten/kota Layak Anak, yang terdiri kategori Utama, 66 kategori Nindya, 117 kategori Madya dan 121 daerah kategori Pratama. Pada kesempatan itu Pemerintah Kota Kendari meraih kembali penghargaan Kota Layak Anak (KLA) 2022 kategori Nindya. Selain penghargaan Kategori Nindya, Forum Anak Kota Kendari memperoleh penghargaan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berupa DAFA Award 2022 Kategori Forum Anak Terfavorit tingkat Nasional 2022, penghargaan diberikan bagi forum anak yang paling aktif, kreatif, dan inovatif dalam berkegiatan (Sultrakini.com, 23/07/2022).

Tentu saja pemberian penghargaan KLA tersebut patut diapresiasi oleh semua pihak, mengingat Pemerintah Kota Kendari telah berupaya keras mewujudkan kota layak anak di wilayahnya. Hanya saja, kasus-kasus kekerasan pada anak di Kota Kendari semakin meningkat selama kurang lebih 3 tahun terakhir. Menurut Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kendari, kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2019 sebanyak 21 orang, di tahun 2020 sebanyak 17 orang, dan di tahun 2021 terlapor 25 orang anak. Jenis kekerasan yang dialami oleh anak tersebut beragam, mulai dari kekerasan fisik, psikis, hingga seksual (Telisik.com, 23/05/2022).

Masih lekat dalam ingatan, dua kasus kekerasan seksual yang terjadi di Abeli. Dimana, pada Bulan April 2022 seorang pelajar SMP digauli hingga hamil oleh ayah tirinya. Kemudian pada Bulan Juni lalu terjadi kasus seorang gadis di bawah umur digauli 4 pria di salah satu kantor kelurahan di Kecamatan Abeli. Dua kasus kekerasan seksual pada anak ini menunjukkan bahwa predikat KLA tidak menjamin terwujudnya perlindungan atas anak. Lalu bagaimana cara mewujudkan perlindungan anak yang hakiki?

Regulasi Tidak Menjamin Perlindungan Anak

Mendapat perlindungan merupakan salah satu hak anak. Berbagai regulasi telah dibuat oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk mewujudkan perlindungan terhadap anak. Regulasi tersebut mengacu pada Konvensi Hak Anak yang di dalamnya menetapkan lima klaster, yaitu (1) hak sipil dan kebebasan; (2) lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; (3) kesehatan dasar dan kesejahteraan; (4) pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; serta (5) perlindungan khusus.

Regulasi yang dibuat untuk melindungi anak dari tindak kekerasan di antaranya, UU 23/2022 tentang Perlindungan Anak yang memuat dua pilar utama, yaitu pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. UU ini sendiri sudah mengalami dua kali perubahan melalui UU 35/2014 dan UU 17/2016. Selain itu adanya Perpres 101/2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi menandakan keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah kekerasan pada anak. Negara pun telah mengamanatkan setiap daerah untuk melakukan berbagai upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak melalui UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Kota Layak Anak (KLA) sendiri menjadi salah satu cara pemerintah memenuhi hak anak. Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri (permen) PPPA 13/2011.

Banyaknya regulasi untuk mewujudkan perlindungan anak tidak menjamin anak-anak bebas dari tindak kekerasan. Bahkan kasus-kasus kekerasan pada anak terus meningkat setiap tahunnya sebagaimana telah penulis paparkan di atas. Gagalnya berbagai regulasi yang dibuat untuk melindungi anak, sejatinya menunjukkan adanya persoalan mendasar bukan pada aturan yang kurang. Akan tetapi sebagai akibat penerapan sekularisme oleh sistem kapitalisme yang diadopsi negeri ini dan dengan sekularisme inilah yang menjadi dasar regulasi itu dibuat.

Lihat saja, regulasi yang ada tidak memberi efek jera bagi para pelaku kekerasan. Pelaku hanya dihukum penjara, bahkan kadangkala hanya diselesaikan dengan jalan kekeluargaan untuk menutupi aib. Sekularisme yang telah mengakar dalam masyarakat kita tidak menumbuhkan rasa takut. Sekularisme membuat kehidupan hanya berorientasi materi dan sekadar pemenuhan hawa nafsu. Apalagi didukung dengan tontonan kekerasan, pornoaksi dan pornografi yang sangat mudah diakses menjadi sumber inspirasi bagi para pelaku kekerasan. Sungguh, banyaknya regulasi tanpa memperbaiki akar masalah tidak akan memberikan dampak yang berarti.

Islam Mewujudkan Perlindungan Anak

Perlindungan hakiki pada anak hanya akan diraih ketika aturan Islam diterapkan secara kafah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya” (HR. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no 4141). Dari hadits ini, rasa aman menjadi sesuatu yang sangat penting dimiliki oleh setiap individu masyarakat. Maka, Islam mewajibkan negara menjamin keamanan warga negaranya, termasuk anak. Sehingga, anak dapat hidup aman, serta tumbuh dan berkembang dengan sempurna.

Selain itu, Islam mewajibkan negara menerapkan sanksi yang tegas bagi para pelaku kekerasan. Bentuk sanksi disesuaikan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan. Jika kekerasan itu menyebabkan kematian, maka hukum qishas diberlakukan. Jika kekerasan yang dilakukan adalah kekerasan seksual, maka akan dilihat apakah pelaku kekerasan sampai melakukan aktivitas perzinaan atau tidak. Sanksi minimalnya adalah hukum ta’zir, sanksi maksimal adalah rajam.

Islam juga mewajibkan para orang tua dalam hal pengasuhan anak, terutama anak yang belum balig dengan pengasuhan yang baik sesuai tuntutan syariat. Orang tua harus mengasuh anak dengan lembut, sehingga fisik dan psikis (mental) anak terjaga. Rasulullah Saw. bersabda, “Hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap keras dan keji” (HR. Bukhari). Walaupun demikian Islam membolehkan memukul anak ketika anak tidak salat saat berusia 10 tahun dengan pukulan yang tidak menyakitkan atau menimbulkan luka, bahkan membawa celaka pada anak. Pukulan ini hanya untuk membangun kesadaran anak akan kewajiban salat. Hal tersebut dalam rangka mendidik dan membawa perbaikan pada diri anak. 

Begitu pula dengan ketakwaan individu, sangat dijaga dalam masyarakat Islam. Landasannya adalah keimanan kepada Allah dan hari akhir. Olehnya itu, setiap individu akan menyadari adanya pertanggungjawaban atas segala perbuatannya kepada Allah, termasuk para penguasanya. Dengan ketakwaan yang kuat, semua individu (termasuk orang tua) akan senantiasa melindungi anak dari ancaman kekerasan. Di samping itu, para penguasa yang bertakwa akan menerapkan aturan yang memastikan semua anak terjaga dari tindak kekerasan, baik dari orang terdekat maupun orang lain. Aturan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah aturan Islam yang akan menjamin terwujudnya perlindungan hakiki pada anak. Wallahu a'lam

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.