Metamorfosis Syarat Masuk PTN, Kualitas Intelektual Kian Terkikis, Benarkah?
Eka
Dwi (Pegiat Literasi)
Kemendikbudristek Nadiem Anwar Makarim telah mengumumkan akan mengubah pola penerimaan mahasiswa baru dengan mengganti tes mata pelajaran atau Tes Kemampuan Akademik (TKA) menjadi tes skolastik pada Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Perubahan ini diklaim tidak lagi membebani calon mahasiswa untuk seleksi masuk PTN (Republika.co.id, 10/9/22).
Perubahan
tersebut akan diterapkan pada 2023. Menurut Pak Nadiem, tes dengan materi TKA
mencakup banyak materi dari banyak mata pelajaran dapat memicu terjadinya
penurunan kualitas pembelajaran. Sebaliknya, tes skolastik hanya menekankan
kemampuan kognitif dan penalaran. Tidak akan ada formula mata pelajaran seperti
TKA pada umumnya (BBC News, 11/9/22).
Metamorfosis
Bukan Untuk Mengikis Kualitas, Benarkah?
Perubahan
pola masuk PTN tersebut disambut baik oleh banyak pihak, namun tidak sedikit
juga menerima dengan syarat. Di satu sisi, perubahan tes skolastik tersebut
dapat mempersingkat tahap pendaftaran masuk PTN dan meringankan calon
mahasiswa. Sebagian beranggapan, mereka tidak perlu lagi untuk mengambil
bimbingan belajar di luar sekolah. Selain menghemat waktu dan tenaga, juga
meminimalisir urusan finansial mereka.
Namun
di sisi lain, jika perubahan pola tersebut tidak diiringi dengan perbaikan
kompetensi tenaga pendidik maka akan percuma. Kurikulum yang ada memaksa para
pendidik memenuhi target materi. Padahal dengan beragamnya mata pelajaran dan
materi yang banyak, belum tentu siswa cepat memahami.
Seperti
yang disampaikan oleh pengamat pendidikan, Itje Chodijah, bahwa para guru di
Indonesia masih memiliki kapasitas yang rendah, sebab mereka terbiasa mengajar
dengan kurikulum padat dan materi yang penuh hafalan. Semua dipersiapkan dengan
target agar siswanya kelak mengikuti tes seleksi masuk PTN.
Transformasi
tes skolastik menekankan calon mahasiswa harus paham literasi dan penalaran.
Meski kurikulum yang sedang diterapkan mencakup hal ini, namun lagi-lagi para
guru masih menemui kesulitan. Alih-alih dapat mentransfer pemahaman kepada
siswa mengenai hal ini, guru pun belum selesai dengan pemahaman untuk dirinya.
Tak
hanya itu, sekalipun tes skolastik ini benar akan diterapkan, PTN juga tidak
terbuka lebar menerima calon mahasiswa. Perlu ada tinjauan ulang. Sebab
sebagian PTN mensyaratkan mahasiswa yang mengikuti mata kuliah yang diampu
mesti memiliki dasar mumpuni. Olehnya itu perlu adanya relevansi nilai mata
pelajaran dengan jurusan dan program studi yang akan diambil.
Semua
itu efek domino diterapkannya kurikulum merdeka belajar. Kurikulum ini
semestinya tidak diartikan sebebas-bebasnya. Ujung tombak dari sistem
pendidikan tentu yang kita inginkan adalah output PTN intelektual yang
berkualitas. Namun, jika seperti ini, maka yang terjadi hanyalah pemborosan dan
kualitas intelektual yang diharapkan kian terkikis.
Islam
Solusi Tuntas
Dalam
Islam, pendidikan adalah hak setiap individu. Menyadari hal ini, negara tentu
wajib menjamin pendidikan yang layak bagi rakyatnya. Sebagaimana hadist
Rasulullah, "Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan
pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan
rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Arah
pendidikan yang jelas tentu akan menghasilkan generasi emas berkualitas. Tujuan
pendidikan dalam Islam adalah mencetak para pemimpin dengan basis kepribadian
Islam yang unggul. Sedangkan, Kampus dianggap sebagai wadah terbentuknya para
ulama, peneliti, ilmuwan, dan ahli iptek, yang nantinya akan melayani
masyarakat. Kelak dengan ilmunya, dapat mengayomi dan menjaga masyarakat dari
kejahatan intelektual maupun fisik.
Olehnya
itu, negara Islam mengatur mekanisme pendaftaran PTN yang paten dan tidak
berubah agar tujuan pendidikan mudah diraih. Para pakar telah menetapkan
standar nilai yang bisa diterima setiap jurusan. Nilai mata pelajaran tertentu
pada rapor dan ujian menjadi tolak ukur penerimaan. Maka nilai rapor harus
relevan dengan jurusan yang dituju. Selain itu, negara juga dapat membuka
jurusan baru jika dibutuhkan.
Metode
pengajaran dalam pendidikan Islam juga berupa interaksi pemikiran antara guru
dan siswa, bukan transfer ilmu semata. Para guru akan mengaitkan fakta di
sekitar siswa dengan pemikiran baru yang akan diberikan. Dengan begitu, akan
terbentuk pemahaman yang utuh pada siswa. Sehingga aspek kognitif dan penalaran
siswa bukan hal yang sulit untuk dicapai.
Namun,
semua akan bisa terealisasi jika negara menerapkan Islam sebagai asas
pendidikan. Olehnya itu, saatnya melirik pada Islam sebagai solusi yang hakiki.
Wallahu
'alam bishshowab
Post a Comment