Header Ads


Gugatan In Rem: Alternatif Efektif dalam Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi

Ilustrasi Bank Pemerintah


IndonesiaNeo.com --- Dikutip dari Media Umat (24/07/2023), Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia, Assoc. Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H., mengungkapkan keprihatinannya terhadap fakta bahwa RUU Perampasan Aset Tindak Pidana belum mengatur konsep illicit enrichment (peningkatan kekayaan secara tidak sah) dan gugatan in rem (ambil alih aset). Hal ini disampaikannya dalam sebuah pers rilis yang berjudul "Urgensi Sita Jaminan dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi" yang diterima oleh Mediaumat.id pada Ahad, 23 Juli 2023.

Menurut Abdul Chair, ketiadaan aturan mengenai illicit enrichment dapat menyulitkan upaya pengembalian uang negara yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Illicit enrichment sendiri merupakan instrumen hukum yang digunakan untuk menuntut penyelenggara negara yang memiliki kekayaan yang tidak wajar, yang dalam hal ini dapat dihubungkan dengan hasil korupsi.

Di sisi lain, gugatan in rem juga perlu diatur dalam RUU tersebut. Gugatan in rem adalah upaya yang dilakukan oleh aparatur negara, seperti kejaksaan, untuk menuntut harta benda dari terdakwa, keluarga, atau kroni-kroninya yang diperoleh dari hasil kejahatan yang belum tersentuh dalam perkara pidana. Penambahan aturan mengenai gugatan in rem dapat meningkatkan efektivitas proses perampasan aset dalam kasus korupsi.

Pentingnya mengatur kedua hal tersebut adalah untuk mempermudah dan meningkatkan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Sebagai contoh, seringkali seorang koruptor yang merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah hanya mengembalikan sebagian kecil dari jumlah tersebut. Aturan mengenai illicit enrichment dan gugatan in rem dapat membantu menutup celah ini, sehingga negara tidak lagi dirugikan secara besar-besaran.

Perlu diingat bahwa korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena melibatkan tindakan sistemik, kompleks, dan terencana oleh para penyelenggara negara. Oleh karena itu, penanganan kasus korupsi harus dilakukan dengan pendekatan khusus dan komprehensif.

Abdul Chair juga menyampaikan bahwa dalam upaya perampasan aset yang diperoleh secara tidak sah, penerapan pendekatan conservatoir beslag (sita jaminan) dapat menjadi salah satu alternatif yang efektif. Dengan menggunakan sita jaminan, pengalihan aset yang dapat menghambat proses perampasan dapat dihindari. Pendekatan ini melibatkan pihak penggugat yang mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin pelaksanaan putusan perdata, termasuk kemungkinan menguangkan atau menjual barang yang disita dari terdakwa.

Lebih lanjut, penting untuk mengintegrasikan penerapan sita jaminan berbasiskan in rem dengan kelembagaan pemberantasan korupsi yang mementingkan kolaborasi dan sinergitas antara lembaga penegak hukum. Dalam hal ini, pendirian lembaga penyimpanan harta korupsi juga dianggap perlu. Lembaga ini akan mengkonsolidasikan semua harta hasil korupsi yang selama ini dikelola oleh berbagai lembaga, sehingga penanganan kasus korupsi dapat lebih terkoordinasi dan efisien.

Dengan mengatur illicit enrichment dan gugatan in rem dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi, diharapkan upaya pemberantasan korupsi dan pengembalian kerugian keuangan negara dapat berjalan lebih efektif dan berdaya guna. Negara perlu menjadikan ini sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawabnya untuk mewujudkan keadilan dan integritas dalam menghadapi kejahatan luar biasa seperti korupsi. [IDN]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.