Pemberdayaan Perempuan: Warisan Khalifah Umar dalam Keadilan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial
Indonesia Neo, TARIKH - Keinginan hidup sejahtera dengan memenuhi semua kebutuhan adalah harapan setiap individu. Hal ini tidak terkecuali bagi perempuan yang juga merindukan kesejahteraan. Namun, pada kenyataannya, kesejahteraan seringkali terasa jauh di luar jangkauan, dan setiap orang harus berjuang sendiri untuk mencapainya. Kaum perempuan, tak terkecuali, harus memperjuangkan kesejahteraan ekonomi mereka agar dapat mencapai taraf sejahtera.
Ketika Islam diterapkan dalam institusi negara, situasinya berbeda. Negara Khilafah bertanggung jawab atas urusan rakyat, termasuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka hingga mencapai tingkat sejahtera. Para khalifah mengamalkan ajaran Nabi saw., "Imam (kepala negara) itu seperti penggembala dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR Bukhari).
Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menulis surat kepada Abu Musa al Asy’ari, "Amma ba’du, sesungguhnya para pengurus (urusan umat) yang paling bahagia di sisi Allah adalah orang yang membahagiakan rakyat yang diurusnya. Sebaliknya, para pengurus yang paling sengsara adalah orang yang paling menyusahkan rakyat yang diurusnya. Berhati-hatilah agar tidak menyimpang sehingga para penguasa di bawahmu juga akan menyimpang..." (Abu Yusuf, al-Kharaj).
Umar bin Khaththab ra. adalah seorang khalifah yang peduli dan turun langsung ke lapangan. Beliau memeriksa kondisi rakyatnya secara langsung, memastikan bahwa kebutuhan hidup setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, telah terpenuhi dengan layak.
Suatu kali, Khalifah Umar bin Khaththab ra. berjalan di pinggiran kota Madinah dan melihat anak-anak yang menangis kelaparan, menunggu masakan yang belum matang. Ternyata, ibu mereka yang janda sedang menanak batu. Umar segera pergi ke baitulmal, mengambil sekarung gandum, dan membawanya sendiri ke rumah keluarga tersebut.
Tidak hanya memberikan gandum, Khalifah Umar bin Khaththab ra. juga memasak untuk keluarga tersebut, memastikan mereka mendapatkan makanan yang cukup. Keluarga itu bisa tidur dengan tenang karena perut mereka telah kenyang. Inilah bentuk tanggung jawab seorang kepala negara terhadap rakyatnya. Sebagai pemimpin, Umar ra. takut kepada Allah jika ada rakyatnya yang kelaparan akibat kelalaiannya.
Khalifah Umar bin Khaththab ra. tidak menerapkan kebijakan memberi pinjaman kepada janda tersebut atau memberikan pekerjaan kepadanya agar dia bisa membeli bahan makanan untuk keluarganya. Khalifah Umar ra. sangat paham bahwa dalam Islam, perempuan tidak berkewajiban menafkahi keluarga, termasuk dirinya sendiri. Nafkah perempuan ditanggung oleh walinya jika walinya ada dan mampu.
Dalam Islam, negara akan memastikan para walinya yang mampu untuk menjalankan kewajibannya dalam menafkahi perempuan. Namun, jika walinya tidak ada atau tidak mampu, perempuan akan mendapatkan nafkah dari negara.
Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab ra. mendapat laporan bahwa perempuan menetapkan mahar yang terlalu tinggi dan menentukan batas-batasnya. Menimbang bahwa hal tersebut akan berdampak buruk pada masyarakat, khalifah tersebut berniat menghentikan perilaku tersebut. Amirulmukminin naik ke atas mimbar dan berpidato di hadapan rakyatnya, "Wahai orang-orang, jangan memberikan mahar yang berlebihan kepada istri. Mahar Rasulullah saw. dan para sahabatnya adalah 400 dirham atau kurang. Jika ingin memberi mahar lebih tinggi dengan nilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tidak pernah melihat seorang lelaki memberikan mahar melebihi 400 dirham."
Setelah berpidato, seorang wanita berdiri dan menentang Khalifah Umar, "Wahai Amirulmukminin, tidakkah engkau tahu firman Allah, 'Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, padahal kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan tuduhan dusta dan menanggung dosa yang nyata?' (TQS An-Nisa: 20)," kata seorang perempuan Quraisy dengan percaya diri.
Khalifah Umar bin Khaththab ra. menjawab, "Perempuan itu benar dan Umar salah. Ya Allah, ampunilah aku. Setiap orang lebih pintar dari Umar."
Mahar adalah hak perempuan yang telah ditetapkan berdasarkan hukum syariah. Islam menjadikan mahar sebagai kepemilikan perempuan yang diperolehnya tanpa kompensasi harta dan tenaga. Allah Swt. berfirman, "Berikanlah mahar kepada perempuan yang kalian nikahi sebagai suatu pemberian yang penuh kerelaan." (TQS An-Nisa: 4).
Umar bin Khaththab ra. sebagai khalifah tidak malu mengakui kebenaran yang disampaikan perempuan tersebut dan segera mengubah kebijakannya. Karena berdasarkan hukum Al-Qur'an, seorang perempuan dapat memiliki harta yang banyak dari maharnya.[]
Post a Comment