Header Ads


Korupsi Pertamina: Luka Dalam Tubuh Kapitalisme dan Solusi Islam Ideologis

Oleh: Syahril Abu Khalid*)


IndonesiaNeo, OPINI - Skandal yang mencuat di tubuh Pertamina pada tahun 2025, khususnya praktik pencampuran BBM bersubsidi (seperti Pertalite) dengan BBM non-subsidi (seperti Pertamax), hingga manipulasi harga impor minyak mentah, telah menguak borok kronis dalam sistem tata kelola kekayaan publik di negeri ini. 

Dengan potensi kerugian negara yang mencapai Rp 285 triliun lebih, dan puluhan pejabat serta pihak swasta telah ditetapkan sebagai tersangka, kasus ini bukan sekadar pengkhianatan administratif, melainkan bentuk perampokan terhadap milik umum yang dilakukan dengan restu sistemis.

Di sinilah kita menyaksikan wajah telanjang dari sistem ekonomi kapitalisme, sebuah sistem yang mengkomodifikasi segala hal, termasuk hajat hidup rakyat. Ketika sumber daya alam yang semestinya menjadi hak publik dikelola dengan logika korporasi dan orientasi profit, maka skandal semacam ini hanyalah konsekuensi logis yang terus berulang.

Islam memandang persoalan ini secara sangat berbeda. Dalam Islam, kekayaan alam seperti minyak dan gas bumi bukan milik negara atau individu, melainkan milik umum (الملكية العامة) yang penggunaannya tidak boleh dikomersialkan atau dimonopoli. Negara hanya bertindak sebagai pengelola amanah bagi kepentingan rakyat. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam menegaskan secara gamblang:

«الملكية العامة هي إذن الشارع لجماعة المسلمين بالانتفاع بعين المال»

"Kepemilikan umum adalah izin dari syari’at kepada seluruh kaum Muslimin untuk mengambil manfaat dari zat harta tersebut."

(Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 82)

Maka dari itu, segala bentuk eksploitasi, manipulasi, atau pengelolaan yang menjadikan milik umum sebagai ladang bisnis dan objek keuntungan adalah bentuk pelanggaran syar’i dan pengkhianatan terhadap umat. Negara, dalam Islam, tidak boleh menjual BBM kepada rakyat dengan mekanisme pasar, apalagi menyubsidi dengan satu tangan, lalu merampas melalui manipulasi kualitas dan harga dengan tangan lainnya.

An-Nabhani juga menguraikan secara mendalam perbedaan mendasar antara sistem Islam dan kapitalisme dalam hal kepemilikan:

«الإسلام يختلف عن الرأسمالية من حيث الأساس الذي بُني عليه النظام الاقتصادي، ومن حيث المفاهيم التي ينبثق عنها هذا النظام، ومن حيث الأحكام التي تُعالج المشاكل الاقتصادية»

"Islam berbeda dari kapitalisme dalam hal asas yang menjadi dasar sistem ekonominya, dalam konsep-konsep yang melahirkan sistem tersebut, serta dalam hukum-hukum yang digunakan untuk menyelesaikan problematika ekonomi." (Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 8)

Dengan dasar ini, jelas bahwa Islam tidak hanya melarang korupsi secara moral, tetapi menutup seluruh jalan dan sistem yang memungkinkan lahirnya korupsi. Negara tidak boleh mengelola kekayaan rakyat dengan mental korporasi. Negara adalah ra’in, penggembala umat, bukan kapitalis yang berlomba untung dari jerih payah rakyat.

Jika BBM adalah milik umum, maka negara wajib mendistribusikannya secara adil dan merata, tanpa memperdagangkannya, apalagi dengan manipulasi campuran dan rekayasa kuota. Dalam sistem Islam, BBM dapat dibagikan secara gratis kepada rakyat atau dikenakan biaya distribusi minimal, bukan mengikuti harga pasar dunia. Inilah wujud keadilan dalam sistem Khilafah Islam yang menjaga milik umat.

Oleh karena itu, kasus korupsi besar di tubuh Pertamina adalah cermin kegagalan sistemik, bukan sekadar kesalahan oknum. Selama sistem yang digunakan adalah sistem sekuler dan kapitalistik, maka sumber daya publik akan selalu menjadi ladang perburuan rente, manipulasi, dan pengkhianatan. 

Islam, dengan sistem ekonominya yang khas dan ideologis, memberikan solusi tuntas: mengembalikan seluruh kekayaan publik kepada umat, dikelola negara dengan syariat Islam, dan memastikan tidak seorang pun dapat mengambil keuntungan pribadi darinya.

Sebagaimana ditegaskan oleh Taqiyuddin an-Nabhani:

«إن الحكم بما أنزل الله في المعاملات لا يقل أهمية عن الحكم بما أنزل الله في العبادات»

"Sesungguhnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan dalam muamalah tidak kalah penting dibanding berhukum dalam ibadah." (Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 13)

Inilah saatnya umat Islam bangkit dan menyadari: perubahan tidak cukup dengan mengganti aktor, tapi dengan mengganti sistem. Dari kapitalisme yang rusak menuju Islam yang adil.

Wallahualam bishawab.

*) Muballigh & Pemerhati Kebijakan Publik

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.