Header Ads


Pajak, Zakat, dan Wakaf: Kapitalisme vs Islam


Oleh: Agnes Aljannah*)


IndonesiaNeo, OPINI - “Memberi obat pada orang sehat, tapi mengambil darah dari yang sakit.” Ungkapan ini tepat untuk menggambarkan bagaimana rakusnya pemerintah memalak rakyat atas nama pajak. Baru-baru ini, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengusulkan 10 jenis pajak baru, mulai dari pajak kekayaan, pajak karbon, hingga cukai minuman manis. Usulan tersebut diperkirakan berpotensi menghasilkan Rp388,2 triliun per tahun (CNN Indonesia, 12/08/2025). Pemerintah, melalui Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, menyatakan akan mengkaji usulan tersebut.

Namun, di tengah wacana nasional soal reformasi perpajakan, justru terjadi gejolak sosial akibat kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) di sejumlah daerah, seperti Pati, Bone, Cirebon, Jombang, dan Semarang. Kenaikan hingga 1.000% membuat warga kaget dan marah, bahkan melakukan aksi unjuk rasa. Menurut pengamat, fenomena ini dipicu pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp50,29 triliun sebagai bagian dari efisiensi anggaran pusat. Akibatnya, daerah terpaksa menaikkan pajak lokal untuk menutup defisit. Pemerintah pusat membantah ada hubungan langsung antara efisiensi anggaran dan kenaikan pajak daerah (BBC News Indonesia, 15/08/2025).

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan kewajiban pajak sama dengan zakat dan wakaf. Menurutnya, ketiganya memiliki tujuan serupa, yaitu menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan. Hal ini diungkapkan dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 (CNBC Indonesia, 13/08/2025). Pernyataan tersebut dinilai bertujuan untuk mendorong penerimaan pajak yang tengah lesu.

Ironi sistem kapitalisme terlihat jelas. Pemerintah menjadikan pajak sebagai tulang punggung ekonomi negara, sementara pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada swasta kapitalis. Alih-alih menyejahterakan rakyat, kebijakan ini justru menjerat masyarakat dengan beban pajak yang makin berat. Rakyat semakin miskin, sedangkan para kapitalis makin kaya raya dan mendominasi ekonomi karena mendapat berbagai fasilitas dari negara.

Dalam praktik kapitalisme yang zalim, pajak dipungut dari rakyat, termasuk yang miskin, tetapi hasilnya tidak kembali untuk kepentingan mereka. Pajak lebih banyak dipakai membiayai proyek-proyek yang menguntungkan pemilik modal. Terlihat jelas negara lebih berpihak pada kapitalis dibandingkan rakyat. Bahkan, aturan pajak sering kali dirancang sedemikian rupa agar lebih menguntungkan kalangan kaya dan pengusaha besar.

Yang lebih miris, pemerintah berusaha menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf. Padahal, jelas perbedaannya. Zakat adalah kewajiban bagi muslim yang memiliki harta melebihi nisab dan telah mencapai haul. Wakaf hukumnya sunah, bukan kewajiban. Sedangkan pajak dalam Islam hanya dipungut dari laki-laki muslim yang kaya, itu pun untuk kebutuhan mendesak yang sudah ditentukan syariat. Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Amwal. Sifatnya pun temporer, hanya ketika kas negara kosong.

Zakat merupakan salah satu sumber pemasukan Baitul Mal dalam sistem Khilafah. Zakat adalah kewajiban dan penyalurannya sudah ditentukan syariat, yakni kepada delapan golongan yang disebut dalam Al-Qur’an, Surah At-Taubah ayat 60:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 60)

Dalam negara Islam, Baitul Mal tidak hanya mengandalkan zakat. Sumber daya alam yang menjadi milik umum dikelola langsung oleh negara, sehingga hasilnya menjadi salah satu pemasukan terbesar untuk membiayai kebutuhan rakyat. Hal ini sangat berbeda dengan sistem kapitalisme, yang justru menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta bahkan asing.

Islam menegaskan bahwa sumber daya alam merupakan amanah besar untuk kemaslahatan umat. Negara wajib mengoptimalkannya agar seluruh rakyat mendapat manfaat. Dengan begitu, tidak ada ruang bagi kapitalis untuk menguasai kekayaan alam yang sejatinya milik rakyat.

Kesejahteraan sejati bagi seluruh lapisan masyarakat hanya bisa terwujud bila sistem ekonomi dijalankan sepenuhnya berdasarkan syariat Islam. Itu hanya mungkin tercapai dalam bingkai negara Khilafah, bukan dalam sistem demokrasi atau kapitalisme yang ada saat ini.

Wallahu a‘lam bish-shawab.[]


*) Pegiat Literasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.