Nasib Pilu Gaza Tak Disambut di Meja Kapitalisme, Khilafah Menjadi Solusi Urgen
Oleh: Yeni, S.Pd., M.Pd.*)
IndonesiaNeo, OPINI - Pada setiap suara tangisan saudara-saudara di Gaza yang kehilangan keluarga, kehilangan rumah, rakyat sipil yang dilanda ketakutan permanen serta hilangnya rasa aman, sepatutnya mengguncang hati dan nurani dunia. Namun, hasil dari guncangan tersebut hanyalah berupa upaya mengecam tindakan brutal Zionis Israel, bantuan dana, makanan, bahkan alat-alat medis yang telah berlanjut selama bertahun-tahun. Berbagai rentetan peristiwa yang silih berganti di Gaza mengingatkan kita bahwa dunia hari ini, yang diatur oleh sistem kapitalisme global, justru bungkam di hadapan kezaliman, diam tak bergeming, bahkan memilih berdiri di sisi yang keliru. Ketika darah tumpah di Palestina, para pemimpin dunia hanya sibuk dengan upaya stabilitas politik dan hubungan diplomatik, yaitu menjalin hubungan antarnegara dengan pertimbangan utama laba, manfaat, dan keuntungan, bukan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang hakiki.
Hadirnya para dewan internasional yang katanya memiliki peran menjaga ketertiban dan perdamaian, faktanya berubah menjadi wadah untuk menciptakan ruang kompromi terhadap kepentingan negara-negara adidaya. Mereka duduk manis di meja-meja perundingan, bukan untuk menuntaskan penderitaan rakyat Gaza, bukan untuk mendengar tangisan kepedihan rakyat Palestina, sebab hal itu tidak penting dijadikan perkara prioritas. Di bawah logika kapitalisme, perkara prioritas hanya fokus memastikan bahwa kekuatan, kekayaan, dan kejayaan berpihak pada mereka semata. Maka lumrah jika alur berpikir mengarahkan pada pandangan bahwa semakin masif tindakan brutal dan kekejaman Zionis terhadap saudara-saudara kita di Palestina, bertambahnya korban anak-anak dan perempuan, pembunuhan jurnalis, serta kelaparan berkepanjangan, menjadi bukti nyata bahwa kapitalisme abai dalam memenuhi kebutuhan umat.
Dalam kurun waktu terbaru, sebuah informasi menyuguhkan kepada kita bahwa satu juta perempuan dan anak perempuan menghadapi kelaparan massal, kekerasan, dan pelecehan di Gaza. Hal itu disampaikan Badan Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina di Kawasan Timur Tengah (UNRWA) pada Sabtu (16/8) di platform media sosial X. “Kelaparan menyebar dengan cepat di Gaza. Perempuan dan anak perempuan terpaksa mengambil strategi bertahan hidup yang semakin berbahaya, seperti keluar mencari makanan dan air dengan risiko sangat tinggi kehilangan nyawa,” kata UNRWA.
UNRWA mendesak agar blokade Israel di Gaza, yang dihuni lebih dari 2 juta orang, dicabut dan bantuan kemanusiaan disalurkan secara besar-besaran. Pada Kamis (14/8), 108 organisasi nonpemerintah (non-governmental organization/NGO) dalam pernyataan bersama mengatakan bahwa sejak 2 Maret, mayoritas NGO internasional besar tidak dapat mengirimkan satu truk pun berisi pasokan penyelamat nyawa akibat pembatasan Israel terhadap bantuan yang masuk ke Gaza. Pada Juli saja, lebih dari 60 permohonan dari puluhan NGO ditolak Israel dengan alasan bahwa mereka tidak berwenang mengirim bantuan.
Pernyataan tersebut muncul saat otoritas kesehatan di Gaza pada Sabtu melaporkan tambahan 11 kematian, termasuk seorang anak, akibat kelaparan dan malnutrisi dalam 24 jam terakhir, sehingga total kematian akibat kelaparan mencapai 251 jiwa, termasuk 108 anak. Jumlah total korban tewas akibat serangan Israel sejak Oktober 2023 telah melampaui 61.800 orang, dengan lebih dari 155.000 orang terluka, menurut otoritas kesehatan. Warga Palestina menunggu makanan gratis dari pusat distribusi makanan di Kota Gaza pada 2 Agustus 2025. ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad. Pada Jumat (15/8), Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa antara 27 Mei hingga 13 Agustus, setidaknya 1.760 warga Palestina dilaporkan tewas saat mencari bantuan di Gaza. Dari jumlah tersebut, 994 orang tewas di sekitar lokasi militerisasi non-PBB, dan 766 lainnya tewas di sepanjang rute konvoi bantuan.
Di tengah situasi Gaza yang memilukan, merebak informasi baru tentang aksi biadab Israel yang membunuh lima jurnalis Al Jazeera di Jalur Gaza. Pasukan Israel dilaporkan membunuh lima jurnalis Al Jazeera pada Minggu (10/8) waktu setempat. Media asal Qatar itu menyebutkan koresponden, satu wartawan on air, dan tiga staf operator kamera, dibunuh pasukan Israel di tenda mereka di Gaza. Israel mengakui sengaja menargetkan pembunuhan seorang jurnalis, Anas Al Sharif, dan menuduhnya sebagai “teroris” yang terafiliasi dengan Hamas. Pembunuhan terhadap jurnalis merupakan yang ke sekian kalinya sejak 22 bulan terakhir. Total sebanyak 200 pekerja media dibunuh Israel dalam agresi mereka di Jalur Gaza.
Kecaman Bukanlah Langkah Efektif untuk Menghentikan Agresi Israel atas Gaza
Dari sekian tindakan penyelewengan Israel terhadap Gaza, tentu banyak mendapat kecaman dari berbagai negara. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pun mengutuk pembunuhan enam jurnalis Palestina dalam serangan udara Israel di Gaza City pada Minggu (10/8), kata Stephane Dujarric, juru bicara Guterres, pada Senin (11/8). “Pembunuhan baru-baru ini menyoroti risiko ekstrem yang terus dihadapi para jurnalis saat meliput perang yang sedang berlangsung,” ujar Dujarric dalam taklimat harian.
Sekjen PBB menyerukan penyelidikan independen dan imparsial terhadap pembunuhan tersebut. Dujarric mengungkapkan sebanyak 242 jurnalis Palestina tewas di Gaza sejak perang dimulai. Sekjen PBB menegaskan bahwa jurnalis dan pekerja media harus dihormati, dilindungi, serta diizinkan menjalankan pekerjaannya tanpa intimidasi atau bahaya.
Namun sejatinya, kecaman tidaklah cukup, bahkan bukan langkah efektif untuk menghentikan tindakan Zionis Israel atas Gaza. Hal ini terbukti dari semakin masifnya serangan Zionis yang tidak peduli dengan hukum apa pun. Mereka mengabaikan hak hidup kaum Muslimin, anak-anak, perempuan, fasilitas kesehatan, hingga para jurnalis yang seharusnya tidak boleh disentuh, apalagi dibunuh.
Faktanya, pembunuhan terhadap jurnalis bertujuan membungkam media agar tidak menyiarkan kejahatan genosida di Gaza. Tindakan itu tidak hanya menghilangkan nyawa seorang manusia, tetapi juga membungkam suara perjuangan rakyat Gaza, sehingga kejahatan Israel luput dari sorotan dunia.
Hal ini seakan sudah disiasati. Lebih parah lagi, para penguasa Muslim pun bersikap dingin. Mereka tetap diam, tak kunjung mengirimkan pasukan. Pengkhianatan mereka makin nyata. Nasionalisme dan cinta dunia menyandera mereka.
Namun, pembunuhan jurnalis tidak akan pernah memadamkan perjuangan rakyat Gaza. Sebaliknya, hal itu semakin menegaskan kemuliaan tanah yang diberkahi Allah dan kewajiban menjaganya.
Khilafah Solusi Urgen atas Pembebasan Genosida di Gaza
Khilafah bukanlah sekadar wacana, bukan nostalgia sejarah, melainkan sistem hidup yang pernah menggetarkan dunia. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang menyatukan umat di bawah satu kepemimpinan global. Prioritas utamanya menjaga darah, kehormatan, dan tanah kaum Muslim.
Ia menyatukan kaum Muslim tanpa batas kebangsaan. Khilafah memiliki tentara sebagai bagian dari jihad dan seluruh geraknya berpijak pada akidah Islam sebagai fondasi.
Di bawah naungan Khilafah, Gaza adalah bagian dari tubuh umat yang tidak bisa dibiarkan terluka sendirian. Seandainya Khilafah hadir hari ini, Gaza tidak akan berdiri sendiri. Penjajahan tidak akan dibiarkan. Negara-negara Muslim tidak akan saling diam.
Sebaliknya, akan ada kekuatan politik, militer, dan ekonomi yang berani bertindak karena ada satu kepemimpinan Islam yang berfungsi sebagai junnah (perisai), sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai. Orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya” (HR. Muslim).
Oleh karena itu, solusi nyata untuk Gaza bukan sekadar donasi atau doa, bukan sekadar kecaman. Satu-satunya jalan pembebasan sejati dari genosida dan penjajahan adalah dengan tegaknya Khilafah Islamiyah yang memimpin umat dalam satu barisan.
Sungguh, perubahan tidak akan datang dari meja kapitalisme, tetapi dari kembalinya sistem Ilahi yang menyatukan dan melindungi umat, yakni Khilafah. Gaza memanggil. Bukan untuk diberi belas kasihan, melainkan untuk dibela. Dan Khilafah Islamiyah adalah jawabannya.[]
*) Pemerhati Masalah Generasi
Post a Comment