Header Ads


Inspirasi Ketangguhan Generasi Gaza di Tengah Perang vs Fenomena Duck Syndrome di Indonesia

 



Oleh: Nur Linda, A. Md.Kep (Relawan Opini)

Perang berkepanjangan yang menimpa Gaza telah menghadirkan penderitaan yang tak terperi. Penjajahan zionis Israel dengan dukungan Amerika Serikat terus melakukan pengeboman, menghancurkan fasilitas pendidikan dan kesehatan, melumpuhkan infrastruktur publik, hingga memblokade suplai pangan. Strategi kejam ini bertujuan mengosongkan Gaza dari penduduknya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: anak-anak Gaza tetap teguh, bahkan bercita-cita membangun masa depan di tanah kelahiran mereka (harianaceh.co.id, 28/08/2025).

Kisah ketangguhan ini kontras dengan fenomena yang banyak terjadi di kampus-kampus dunia, termasuk Indonesia, yakni duck syndrome. Istilah ini dipopulerkan di Universitas Stanford untuk menggambarkan kondisi pemuda yang di permukaan tampak tenang, tetapi sebenarnya berada di bawah tekanan berat. Mereka berjuang keras di balik layar, seperti seekor bebek yang terlihat mengapung tenang di permukaan air, padahal kakinya mengayuh panik di bawah permukaan (harianaceh.co.id, 28/08/2025).

Fenomena ini nyata terjadi di Indonesia, khususnya di kalangan pemuda. Mereka berusaha memenuhi ekspektasi tinggi dari diri sendiri, keluarga, dan masyarakat di tengah sistem kapitalisme yang keras. Berbeda dengan pemuda Gaza yang tetap tegar meski hidup dalam kondisi perang, namun mampu menempuh pendidikan tinggi dengan penuh semangat.

Kapitalisme dan Standar Perfeksionis

Duck syndrome merupakan salah satu dampak dari sistem kapitalisme yang menanamkan standar hidup perfeksionis. Generasi muda dituntut untuk sukses secara akademis, berprestasi di bidang non-akademis, aktif di organisasi, serta berpenampilan sesuai tren. Tekanan semakin berat karena minimnya bekal iman dan pemahaman tentang tujuan hidup yang sesungguhnya.

Dampak lainnya ialah munculnya masalah psikologis seperti overthinking, kecemasan kronis, insomnia, burnout, hingga depresi. Anisa, seorang pakar dari laman resmi UGM (22/08/2025), mengatakan:

“Banyak mahasiswa merasa harus memanfaatkan setiap kesempatan karena takut tertinggal. Mereka khawatir jika tidak berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, akan dianggap malas, tidak kompetitif, atau tidak punya masa depan.”

Kondisi ini diperparah oleh pendidikan keluarga dan sekolah yang jauh dari nilai-nilai Islam. Standar yang dipakai justru kapitalisme: gaya hidup hedonis dan liberal, serta kesuksesan semu. Sementara di sisi lain, masyarakat mengalami himpitan ekonomi akibat sulitnya lapangan kerja. Pemuda pun lelah mengejar target duniawi yang tiada henti: berprestasi, aktif di organisasi, eksis secara sosial, lalu bekerja demi menghasilkan uang.

Padahal, Allah SWT telah menegaskan tujuan hidup manusia dalam Al-Qur’an:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)

Jika kesadaran ini hadir, maka standar hidup akan kembali pada aturan Allah, bukan sekadar mengejar ekspektasi duniawi.

Pendidikan Qur’ani sebagai Fondasi

Pendidikan Islam yang diterapkan sejak dini sangat berpengaruh pada ketangguhan generasi. Di Gaza, peran ibu sebagai ummu wa rabbatul bait (madrasah pertama bagi anak-anaknya) sangat menonjol. Anak-anak mereka dibesarkan dengan kecintaan kepada Al-Qur’an dan identitas Islam. Bahkan para remaja dan orang tua lanjut usia pun fokus pada urusan akhirat, karena setiap hari mereka berhadapan dengan ancaman kematian dan tuntutan jihad melawan penjajahan.

Sejarah Islam pun mencatat banyak generasi tangguh lahir dari pendidikan berlandaskan aqidah. Di Makkah, meski kaum Muslim ditindas Quraisy, anak-anak dan pemuda tetap kokoh memegang Islam. Dalam Perang Badar, banyak pemuda tampil sebagai pejuang tangguh, karena sadar bahwa hidup adalah untuk membela kebenaran, bukan terjebak dalam krisis identitas.

Refleksi untuk Indonesia

Jika kita menoleh ke Gaza, meski kondisi amat memprihatinkan, pendidikan yang dilandasi keimanan membuat mereka kuat. Sementara di Indonesia yang damai, sistem sekuler-kapitalisme justru membuat pemuda tertekan jika ekspektasi tidak sesuai realita.

Kondisi ini menegaskan pentingnya perubahan sistem dari kapitalisme menuju Islam. Dalam naungan Islam, anak-anak tumbuh dengan pendidikan iman, bukan sekadar mengejar prestasi duniawi. Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Penutup

Inspirasi dari Gaza seharusnya menyadarkan pemuda Muslim untuk menjadi lebih tangguh, lahir dari keimanan dan aqidah Islam, bukan dari standar kapitalisme. Sudah saatnya pemuda bangkit, menyadari identitas Islamnya, dan berjuang menuju tegaknya aturan Allah SWT di tengah masyarakat.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.