Header Ads


Siswa Keracunan MBG, Kesejahteraan Rakyat Hanya Setengah Hati?

Oleh: Ummu Syathir*)


IndonesiaNeo, OPINI - Kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi di beberapa daerah. Sebagaimana dikutip dari beberapa media online, di antaranya:

  • Sebanyak 20 santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Islah, Kabupaten Lampung Timur, dilarikan ke rumah sakit. Mereka diduga keracunan setelah menyantap Makanan Bergizi Gratis (MBG) pada Selasa (Kompas.com, 26/8/2025).
  • Jumlah siswa yang mengalami keracunan akibat program MBG di Kabupaten Lebong, Bengkulu, terus meningkat. Total korban mencapai 456 siswa (Kompas.com, 28/8/2025).
  • Sebanyak 196 siswa dan guru SD hingga SMP di Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, mengalami keracunan massal usai menyantap Makan Bergizi Gratis (CNNIndonesia.com, 13/8/2025).

Kebanyakan penyebab keracunan tersebut adalah ditemukannya sejumlah bakteri dalam menu makanan. Selain itu, masih banyak kasus lain yang menimpa program MBG, mulai dari penggelapan dana, makanan basi, makanan tidak layak konsumsi, dan lainnya.

Program Makan Bergizi Gratis merupakan salah satu program prioritas presiden saat kampanye Pilpres 2024. Ada empat tujuan utama dari program ini, yaitu: menyiapkan sumber daya unggul, menurunkan angka stunting, menurunkan angka kemiskinan, dan menggerakkan ekonomi masyarakat agar cita-cita Indonesia Emas 2045 dapat dicapai. Namun, fakta di lapangan menunjukkan banyak celah yang justru mengancam eksistensi sumber daya manusia.

Selain itu, tidak logis jika makan gratis sekali sehari dianggap mampu merealisasikan keempat tujuan tersebut. Makan bergizi seharusnya berkesinambungan selama 24 jam, sementara anak-anak membutuhkan makan setidaknya tiga kali sehari. Nyatanya, telah terjadi kekacauan ekonomi yang berimplikasi pada kesulitan hidup masyarakat. Tingkat pengangguran semakin tinggi, bahkan tercatat pada Maret 2025 mencapai 4,76%—tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Kenaikan harga sejumlah bahan pokok di hampir seluruh wilayah Indonesia membuat kondisi rakyat semakin sengsara.

Banyak pihak menilai program MBG bukan solusi ekonomi untuk menurunkan angka kemiskinan, melainkan instrumen untuk memperluas kontrol birokrasi serta membangun jaringan patronase politik. Program ini sarat dengan kepentingan pribadi aktor politik dan birokrat untuk memaksimalkan kekuasaan, anggaran, dan pengaruh.

Biaya program makan siang gratis ditopang dari pajak rakyat. Dana yang digelontorkan pada 2025 mencapai Rp171 triliun. Namun, alih-alih dievaluasi, pemerintah justru berencana menaikkan anggaran MBG menjadi Rp335 triliun pada 2026. Sebagaimana diberitakan CNBCIndonesia.com (20/8/2025):

“Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu prioritas anggaran pada tahun 2026. Hal tersebut tercantum dalam Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN Tahun Anggaran 2026. Pemerintah berencana akan menggelontorkan Rp335 triliun sepanjang tahun 2026 untuk program tersebut. Anggaran MBG pada 2026 ini meningkat tajam sebesar 96% dari tahun ini sebesar Rp171 triliun.”


Demokrasi Penyebab Kemiskinan Terstruktur

Fenomena tingginya angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan kegagalan sistem demokrasi sekuler dalam memenuhi hak-hak rakyat. Hal ini wajar, sebab secara sistemik demokrasi dibangun atas kerja sama antara penguasa dan pengusaha. Kebijakan yang lahir dari pemerintahan lebih berpihak pada kepentingan kedua pihak tersebut, sementara kepentingan rakyat dikesampingkan.

Demokrasi mendukung terealisasinya liberalisme dalam segala bidang, termasuk ekonomi. Sistem ekonomi liberal di Indonesia berpandangan bahwa sumber daya alam diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Akibatnya, hanya kapitalis bermodal besar yang mampu menguasainya, termasuk sektor tambang.

Simbiosis antara pengusaha dan penguasa nyata dalam sistem demokrasi. UU PMA, UU Kehutanan, UU Minerba, UU Ciptaker, dan aturan lain menjadi bukti negara hanya berperan sebagai regulator yang mempermudah kepentingan pemilik modal.

Padahal, Indonesia merupakan penghasil nikel nomor satu dunia, tambang emas terbesar ketiga, serta produsen batu bara terbesar ketiga di dunia. Jika dikelola negara untuk kemaslahatan masyarakat, bukan hanya makan gratis yang bisa dijamin, melainkan juga kesehatan dan pendidikan berkualitas secara gratis.

Sayangnya, keuntungan besar dari tambang hanya dinikmati segelintir orang, yakni pengusaha dan penguasa. Negara hanya memperoleh pajak dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa royalti sekitar 10% dari penjualan ore. Bahkan, industri smelter yang masif merusak lingkungan hanya dikenai royalti 5% dari harga jual logam. Hal ini sebagaimana tertuang dalam PP No. 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif PNBP pada Kementerian ESDM.


Dalam Islam, Kesejahteraan Masyarakat Dijamin oleh Negara

Dalam Islam, kepala negara merupakan sentral pelaksana syariat Islam secara kaffah untuk mengurusi urusan umat, terutama pemenuhan kebutuhan primer: kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, dan papan. Rasulullah saw. bersabda:

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)

Pemenuhan kebutuhan primer masyarakat diperoleh dari Baitul Mal, dengan beberapa mekanisme, di antaranya:


1. Pengaturan kepemilikan harta. 

Islam melarang penumpukan kekayaan hanya di tangan segelintir orang. Allah Swt. berfirman:

“Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS. al-Hasyr [59]: 7)

Sumber daya alam yang melimpah, seperti tambang, merupakan kepemilikan umum dan wajib dikelola negara. Hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Rasulullah saw. bersabda:

“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah)

Haram dimiliki individu, apalagi pihak asing. Allah Swt. berfirman:

“Sekali-kali Allah tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin.” (QS. an-Nisa [4]: 141)


2. Zakat, infak, dan sedekah

Islam mewajibkan zakat bagi muslim yang memenuhi kriteria, serta menganjurkan infak dan sedekah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dana tersebut didistribusikan kepada yang berhak.


3. Kewajiban bekerja 

Setiap laki-laki dewasa wajib mencari nafkah sesuai kemampuannya:

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (QS. ath-Thalaq [65]: 7)

Negara juga wajib menyediakan lapangan kerja. Rasulullah saw. pernah memberi modal kepada seorang laki-laki Anshar untuk membeli kapak, lalu bersabda:

“Pergilah, carilah kayu bakar dan juallah.” (HR. Ibnu Majah)

Nafkah orang fakir yang tidak memiliki kerabat pun menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda:

“Siapa saja yang meninggalkan harta, itu adalah hak ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan orang lemah (tidak punya anak maupun orang tua), itu adalah urusan kami.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Allah Swt. juga menegaskan:

“Sungguh zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin…” (QS. at-Taubah [9]: 60)

Dengan demikian, kehidupan terpuruk akan terus dialami umat manusia selama sistem demokrasi sekuler menjadi landasan dalam mengatur kehidupan. Sudah saatnya kita memperjuangkan tegaknya kembali sistem Islam dalam bingkai negara yang menerapkan syariat secara kaffah.

Wallahu a’lam.[]


*) Pemerhati Masalah Generasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.