Header Ads


Keppres, Solusi Sapu Jagad Kapitalisme

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih*)


IndonesiaNeo, OPINI - Guncangan kembali terjadi, bukan karena letak gunung-gunung di Indonesia yang membentuk jalur cincin api, tetapi karena APBN terus-menerus mengalami penyiksaan. Dana yang tak seberapa itu lebih sering koyak karena proyek-proyek mercusuar negara yang sama sekali tak memberikan manfaat bagi rakyat.

PIK 2 memang sudah dihapus dari Proyek Strategis Nasional (PSN), namun kita belum bisa berlega hati. Sebab, program mercusuar itu bukan hanya PIK, ada juga IKN, bandara, dan yang sedang hangat diperbincangkan: proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, Whoosh. Presiden Prabowo Subianto bahkan membentuk tim khusus, dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menunggu Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres). Menteri Keuangan baru, Purbaya, menolak skema pembayaran utang proyek melalui APBN.

Ya, pergerakan ini muncul akibat penyelesaian penanganan utang Kereta Cepat Jakarta–Bandung yang telah menimbulkan polemik. Di satu sisi, hal ini membebani keuangan PT Kereta Api Indonesia (Persero); di sisi lain, APBN tidak memiliki kesanggupan untuk melakukan pembayaran, padahal utang tersebut bunganya terus berjalan, begitu pula jatuh tempo pembayarannya.

Proyek mercusuar era pemerintahan Presiden Joko Widodo ini awalnya menunjuk PT KAI sebagai pemimpin konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, yang menjadi pemegang saham mayoritas di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), pengelola Whoosh.

Proyek ini mengalami pembengkakan nilai dari US$ 6,07 miliar menjadi sekitar US$ 7,27 miliar. Mayoritas porsi utang dari pembiayaan proyek ini didominasi oleh pinjaman dari China Development Bank (CDB) dengan bunga mencapai 3,7%–3,8% dan tenor hingga 35 tahun (cnbcindonesia.com, 16-10-2025).

Adapun konsorsium pelat merah, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, memegang 60% saham KCIC, sedangkan China melalui Beijing Yawan HSR Co. Ltd memiliki 40%. Ditempuhlah cara lain demi menghindari restrukturisasi APBN, yaitu dengan menugaskan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) sebagai holding BUMN untuk mencari solusi menyelesaikan lilitan utang tersebut.

Chief Operating Officer Danantara, Dony Oskaria, mengungkapkan bahwa jika dilihat secara operasional, EBITDA (Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) KAI sudah mencatat angka positif. Namun, ekuitas (kekayaan bersih) perusahaan terlalu kecil dibandingkan dengan nilai pinjaman untuk membangun proyek kereta cepat.

Maka, pihaknya mengatakan salah satu opsi yang akan dilakukan adalah melalui suntikan modal. Di samping itu, Danantara juga akan mencarikan solusi lain terhadap keberlangsungan perusahaan.

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menilai Danantara memiliki kapasitas keuangan yang cukup untuk menyelesaikan utang proyek Whoosh ini tanpa perlu menggunakan dana APBN. Danantara menerima dividen dari BUMN hampir Rp80–90 triliun. Itu cukup untuk menutupi sekitar Rp2 triliun (bunga) bayaran tahunan untuk KCIC, tambah Purbaya. Apalagi, nilai dividen berpotensi meningkat setiap tahunnya (validnews.id, 16-10-2025).

Sebagai informasi, total investasi proyek KCIC mencapai sekitar US$ 7,27 miliar atau setara Rp120,38 triliun. Sekitar 75% dari nilai proyek tersebut dibiayai melalui pinjaman dari CDB dengan bunga 2% per tahun.


Transaksi Berbasis Riba, Biang Keroknya

Membangun fasilitas publik memang kewajiban negara agar rakyat semakin mudah beraktivitas memenuhi kebutuhannya. Namun, tidak boleh gegabah—asal buat proyek tanpa melihat manfaat dan seberapa pentingnya proyek itu diadakan.

Almarhum ekonom Hasan Basri menilai skema bisnis dan pembiayaan Whoosh tidak realistis. Menurut perhitungannya, proyek ini baru akan mencapai titik impas setelah 139 tahun. Ia menganggap proyek tersebut dibangun dengan utang besar dari China Development Bank (CDB) yang tidak proporsional dengan proyeksi pendapatannya.

Sebagaimana pembangunan kereta cepat di dunia yang dibangun untuk menghubungkan antarkota di pusat kota, Whoosh justru dibangun melewati tempat-tempat yang jauh dari pusat kota, tetapi melalui beberapa daerah yang disinyalir akan dibangun tempat wisata hingga kawasan industri (Walini, Padalarang). Sehingga Hasan Basri menegaskan bahwa ini bukan proyek transportasi, melainkan proyek bisnis—yang sama sekali tidak menguntungkan rakyat.

Pada awal pembangunan dipastikan tidak akan menggunakan dana APBN. Namun kini, bak bom waktu, tingginya cicilan dan bunga yang harus dibayarkan kepada Bank China akan meledak sewaktu-waktu dan menimbulkan inflasi lebih dalam lagi. Namun Keppres seolah sapu jagad, mampu mengubah sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin.

Tak pernah ada dalam sejarah bahwa transaksi berbasis riba akan memberikan keuntungan. Sebaliknya, seperti aliran darah segar, pinjaman berbasis riba ibarat kolesterol yang mengerak di dinding vena dan berakibat stroke jika tak segera diatasi. Sebab riba itu zalim—mendapatkan harta dengan jalan yang bukan hak miliknya.

Allah SWT berfirman yang artinya:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila” (QS Al-Baqarah: 275).

Jika individu saja tak bisa berdiri tegak, bagaimana dengan negara? Tentulah akan lebih banyak lagi bencana yang ditimbulkan.

Inilah bukti sistem kapitalisme gagal menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Sebab, harta hanya berputar pada kaum bermodal saja. Mereka bebas mengusahakan apa saja, memanfaatkan sumber daya alam milik umum maupun negara, dan kemudian negara bertindak sebagai regulator kebijakan—mengesahkan berbagai peraturan yang jelas-jelas bak menggelar karpet merah bagi para korporasi.


Membangun untuk Maslahat

Dalam pandangan Islam, membangun fasilitas apa pun untuk kemudahan rakyat adalah kewajiban negara. Namun, khalifah tidak sembarangan membangun; ia harus memperhatikan letak, posisi, manfaat, dan seberapa pentingnya bangunan, jalan, gedung, jembatan, ataupun moda transportasi itu dibangun.

Tidak boleh mengganggu ekosistem, merusak ruang hijau, serapan air, atau sempadan sungai, hingga tidak boleh hanya memenuhi pesanan asing atau aseng. Pendanaan juga tidak boleh berbasis riba, apalagi utang luar negeri yang jelas akan menghilangkan kedaulatan negara.

Pertanyaannya: dari mana dana sebesar itu bisa didapatkan jika bukan dari pajak dan utang? Jawabannya adalah dari Baitul Mal—badan keuangan negara yang pos pendapatan dan pengeluarannya berdasarkan syariat.

Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah menjelaskan terdapat 12 pos penerimaan tetap Baitul Mal, yaitu: anfal, ghanimah, fai’ dan khumus, kharaj, jizyah, harta kepemilikan umum, harta milik negara, usyur, harta haram para penguasa, khumus, harta dari orang yang tak punya ahli waris, harta orang murtad, dharibah (pajak), dan zakat.

Demikian pula dalam pembangunan moda transportasi, jika dibutuhkan teknologi terkini dari para ahli, maka Khilafah akan mendorong pendidikan untuk memenuhi kebutuhan itu. Sepanjang 14 abad lamanya, peradaban Islam masih memperlihatkan jejak nyatanya. Berbagai bangunan, bendungan, dan lainnya berdiri tegak hingga kini—semuanya dibiayai negara.

Wallahu a‘lam bish-shawab.


*) Institut Literasi dan Peradaban

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.