Header Ads


KDRT dan Kekerasan Remaja Marak, Cermin Buram Peradaban Kapitalisme

Oleh: Khadijah, S.Si*)


IndonesiaNeo, OPINI - Kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan remaja menjadi berita yang tak asing saat ini. Setiap hari beritanya terus bermunculan. Ada anak yang disiksa orang tuanya, istri yang dianiaya suami, hingga remaja yang menjadi korban perundungan oleh teman sebaya. Begitu parahkah kondisi masyarakat kita saat ini? Telah hilangkah rasa kasih sayang dan hati nurani hingga menjadikan kekerasan sebagai solusi setiap persoalan kehidupan yang ada? Fakta di masyarakat membuat kita bersedih hati dan mengelus dada.

Di Jawa Timur, Kabupaten Malang, warga Desa Sumberjo, Kecamatan Gedangan, curiga dengan gundukan tanah tak biasa di lahan tebu. Setelah dilakukan penggalian, ditemukan jasad wanita hangus terbakar. Dari hasil penyelidikan polisi, terungkap bahwa jasad tersebut adalah korban pembunuhan yang dilakukan oleh suami siri korban bernama Ponimah.

Di Pacitan, Jawa Timur, karena sakit hati disebut sebagai “cucu pungut”, seorang remaja berusia 16 tahun tega membacok nenek angkatnya hingga korban mengalami luka serius dan harus mendapatkan penanganan serius di RSUD dr. Darsono Pacitan (BeritaSatu.com, 16/10/2025).

Peristiwa ini adalah sebagian kecil kasus yang terjadi di tanah air. Berdasarkan data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) menunjukkan tren kenaikan jumlah kasus KDRT di Indonesia pada periode Januari hingga awal September 2025. Jumlah kasus KDRT tercatat sebanyak 1.146 perkara pada Januari dan terus meningkat hingga 1.316 perkara pada bulan Mei (GoodStats.id, 14/9/2025). Kenaikan angka tersebut menunjukkan satu hal, bahwa negeri ini darurat kekerasan. Ironisnya, kekerasan kerap dianggap hal “biasa”, bahkan sebagian orang menilainya sebagai bagian dari cara mendidik atau menegakkan disiplin.

Selain itu, silih bergantinya kasus kekerasan yang terjadi merupakan sinyal lemahnya ketahanan keluarga. Keretakan keluarga berdampak langsung pada perilaku remaja yang kian tidak terkendali. Fungsi keluarga sebagai tempat penanaman nilai agama dan pengamalannya tidak berfungsi dengan baik. Bahkan, keluarga dianggap bukan lagi sebagai tempat yang teraman dan nyaman.


Karena Sekularisme

Tidak berfungsinya keluarga sebagai tempat utama penanaman nilai-nilai keagamaan tidak lepas dari pengaruh paham sekularisme yang menyingkirkan peran agama dari kehidupan. Akibatnya, agama tidak lagi menjadi pedoman hidup ataupun pengendali perilaku anggota keluarga. Ketika nilai-nilai agama tidak ditanamkan sejak dini, anggota keluarga kehilangan arah dalam membedakan kebaikan dan keburukan. Saat menghadapi masalah, mereka cenderung bertindak secara emosional, terburu-buru, dan menuruti hawa nafsu.

Berbagai kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat menjadi bukti nyata dari kondisi ini. Inilah cermin buram peradaban kapitalisme yang melahirkan sekularisme. Sekularisme sesungguhnya telah memberi dampak buruk dalam berbagai sistem kehidupan, salah satunya pada aspek pendidikan saat ini.

Di sisi lain, sistem pendidikan sekuler cenderung menitikberatkan pada penyampaian pengetahuan semata. Proses belajar lebih berorientasi pada pencapaian nilai akademik, bukan pembentukan karakter. Pelajaran agama hanya dijadikan formalitas dengan waktu pembelajaran yang terbatas. Akibatnya, pendidikan tidak melahirkan generasi yang berakhlak mulia. Krisis moral semakin tampak, sementara perilaku menyimpang seolah menjadi hal biasa dalam kehidupan sosial. Maka tak heran, output pendidikan minim generasi beradab dan berakhlak mulia.

Pendidikan yang berlandaskan sekularisme jelas tidak mampu menghadirkan kebaikan yang hakiki. Banyak pelaku kekerasan lahir dari sistem pendidikan semacam ini. Bahkan, mereka yang mendapatkan pendidikan agama di rumah pun belum tentu terhindar dari perilaku buruk, sebab pendidikan agama hanya menjadi pelengkap, bukan dijadikan fondasi utama dalam membentuk kepribadian.

Dari sudut pandang peserta didik, orientasi pendidikan sekuler menjadikan kesuksesan diukur melalui pencapaian materi dan kepuasan duniawi. Anak-anak diajarkan untuk berlomba meraih harta dan jabatan, tanpa diarahkan untuk membangun ketakwaan dan ketaatan kepada Allah Swt. Akibatnya, tumbuh generasi yang berpola hidup hedonis dan kehilangan nilai spiritual.

Pendidikan sekuler justru menciptakan kebebasan tanpa batas yang merusak moral, menumpulkan nurani, dan menghilangkan rasa takut kepada Sang Pencipta. Alih-alih membentuk generasi unggul, sistem ini justru menghasilkan generasi yang lemah secara moral dan spiritual.


Islam Mencegah Kekerasan

Sebagai satu-satunya agama yang sempurna, Islam memandang bahwa pembentukan karakter anak atau remaja diawali oleh lingkungan keluarganya, yakni ayah dan ibunya. Keluarga berperan dalam membentuk kepribadian Islam yang meliputi pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah), serta mendorong anak agar mampu menguasai konsep dasar tsaqafah Islam beserta pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.

Rasulullah Saw. bersabda:

“Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka” (HR. Ibnu Majah).

Beliau juga bersabda:

“Apabila anak telah mencapai usia enam tahun, hendaklah ia diajarkan adab atau sopan santun” (HR. Ibnu Hibban).

Hadis ini mewajibkan orang tua untuk menanamkan adab kepada anak sejak dini. Pembinaan bervisi akhirat ditanamkan sejak dini.

Islam juga mewajibkan negara untuk menerapkan sistem pendidikan yang berlandaskan Islam. Secara umum, pendidikan dalam Islam memiliki beberapa ciri pokok:

  1. Kurikulum, mata pelajaran, serta metode pengajarannya disusun berdasarkan akidah Islam.
  2. Tujuan strategis pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam.
  3. Sasaran akhirnya ialah lahirnya pribadi Muslim yang berkepribadian Islam, memiliki ilmu, dan mampu memecahkan persoalan hidup sesuai tuntunan syariat.
  4. Materi pelajaran disusun secara bertahap, dimulai dari pengenalan konsep Islam di tingkat dasar, lalu berkembang menjadi pembentukan dan pendalaman setelah peserta didik mencapai usia balig.
  5. Penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab negara dan diberikan secara cuma-cuma kepada rakyat (lihat Muqaddimah ad-Dustur, pasal 165, 166, 167, 169, dan 174).

Dengan demikian, pendidikan Islam yang dimulai dari lingkungan keluarga dan dilanjutkan melalui lembaga pendidikan formal akan melahirkan generasi yang bertakwa, berakhlak mulia, serta terhindar dari kemaksiatan dan kekerasan sejak dini.


Negara dalam Sistem Islam sebagai Penjamin Kebutuhan Hidup Rakyat

Selain aturan-aturan yang telah disebutkan, Islam juga menegaskan kewajiban negara untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup rakyat sesuai mekanisme yang diatur oleh syariat.

Rasulullah Saw. bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. Bukhari).

Ketika negara dalam sistem Islam menjalankan perannya secara optimal, masyarakat akan hidup dalam kesejahteraan, dan keluarga tidak akan terbebani oleh masalah ekonomi. Bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan, negara akan menyalurkan bantuan melalui dana zakat. Jika seseorang kehilangan pekerjaan, negara juga akan membantu dengan memberikan modal usaha atau menyediakan lapangan pekerjaan.

Sementara itu, fasilitas umum seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan kebutuhan sosial lainnya akan disediakan secara berkualitas, mudah diakses, bahkan tanpa biaya. Prinsip pelayanan ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.:

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik terhadap segala sesuatu” (HR. Muslim).

Dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, kehidupan keluarga akan menjadi lebih harmonis dan tenteram. Keluarga akan menjadi tempat yang aman, menyenangkan, dan menumbuhkan rasa kasih sayang di antara anggotanya. Negara juga menerapkan kebijakan pendidikan yang berlandaskan akidah Islam, bertujuan membentuk manusia yang tidak hanya kuat imannya dan tinggi takwanya, tetapi juga memiliki kepribadian tangguh serta memahami penerapan syariat dalam kehidupan.

Negara dalam sistem Islam juga menjamin kesejahteraan sosial dan keamanan masyarakat, sehingga mampu menekan faktor-faktor yang dapat memicu kekerasan, baik dalam rumah tangga maupun di lingkungan sosial. Selain itu, sistem ini menerapkan sanksi secara tegas terhadap siapa pun yang melanggar hukum syariat.

Menurut Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasat fi al-Fikri al-Islami (Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, hlm. 129), hukuman dalam Islam memiliki dua fungsi utama: zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Disebut pencegah karena sanksi berfungsi menghalangi seseorang dari perbuatan dosa dan kejahatan. Disebut penebus karena hukuman yang dijatuhkan dapat menggugurkan dosa yang semestinya mendapat balasan di akhirat. Oleh karena itu, pelaksanaan hukuman dalam Islam merupakan bentuk penerapan nyata dari perintah dan larangan Allah Swt.

Dengan demikian, Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu memberikan perlindungan menyeluruh dari berbagai bentuk kekerasan, baik kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan di kalangan remaja. Hal ini tidak didapat pada sistem kapitalisme-sekularisme. Inilah cermin buram kapitalisme yang membuat kekerasan seakan tak pernah hilang di negeri kita tercinta.

Wallahu a‘lam.[]


*) Pemerhati Sosial

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.