PERBEDAAN KERAJAAN DAN KESULTANAN DI NEGERI KHALIFATUL KAMIS - BUTON
Oleh: Wahyudi al Maroky
(Dir. PAMONG Institute)
Pada akhir juni ini (27/6) penulis hadiri diskusi dan bedah buku tentang “Negeri khalifatul Khamis, Jejak kesultanan Buton”. Diskusi yang dilaksanakan oleh FOSMA ini berlangsung secara virtual karena masih dalam suasana wabah Corona.
Diantara pertanyaan menarik yang muncul dari peserta, apa perbedaan Kerajaan dan kesultanan? Juga muncul pertanyaan, apa ada hubungan kesultanan dengan kekhilafahan?
Baik, kita coba memahami pertanyaan yang berkembang tersebut. Setidaknya ada 5(lima) poin penting terkait perbedaan Kerajaan dan kesultanan di Khalifatul Khamis di Buton.
PERTAMA; Dari sisi Pemimpin. Kerajaan di pimpin oleh seorang Raja. Ia diangkat secara turun temurun. Faktor genologis menjadi syarat utama. Siapa berdarah biru alias keturunan Raja maka di berpeluang menggantikan Sang Raja. Sedangkan dalam Kesultanan Buton, tidak berlaku demikian. Bahkan dalam catatan sejarah ada Sultan yang diangkat dua kali dalam kurun waktu yang berbeda.
Sebagai contoh, Sultan Himayatuddin Muh Saydi alias La Karambau. Ia Sultan Buton ke-20 (1750-1752 M). ia dimakzulkan oleh Dewan kesultanan. Selanjutnya diangkat Sultan ke-21 bernama Hamim atau Sultan Sakiyuddin (1752-1759 M). Dilanjutkan Sultan ke-22, La Maani atau Sultan Rafiuddin (1759-1760 M). Hal yang Unik terjadi pada Sultan Buton ke-23. La Karambau kembali memimpin (1760-1763 M). Jadi, Sultan Himayatudin menjadi Sultan dua kali. Sebagai sultan ke-20 dan sultan ke-23. Hal ini tak mungkin terjadi di kerajaan. (buku Negeri Khalifatul Khamis, hal.95)
KEDUA; dari sisi Hukum yang dipakai mengatur publik. Dalam sistem Kerajaan, hukum dibuat oleh satu orang yaitu Sang Raja. Siapa saja yang jadi raja maka dia yang berhak menentukan hukum. Dialah yang berwenang menentukan baik dan buruk, benar dan salah, manfaat atau mudharat. Pendek kata semua tergantung keputusan sang raja.
Sedangkan dalam sistem kesultanan, Sang Sultan tidak punya kewenangan membuat hukum sesukanya seperti sang Raja. Sultan harus tunduk kepada Hukum Kitab suci (syariah islam). Sang sultan hanya boleh membuat kebijakan atau aturan, dengan harus merujuk kepada kitab suci dan teladan nabi (as-sunnah). Ia tak boleh membuat aturan yang tidak sesuai dengan kitab suci.
Selain itu sang sultan tidak punya kewenangan Membuat Hukum tertinggi. Kedaulatan Hukum tertinggi tetap pada syariah (al Quran dan sunnah). Jika ia melanggar syariah maka bisa segera dimakzulkan. (buku Negeri Khalifatul Khamis, hal.93)
KETIGA; secara struktur pemerintahan, Raja adalah Pemimpin tertinggi. Tidak ada lagi yang lebih tinggi dari raja. Bahkan dalam membuat hukum pun tidak ada hukum yang lebih tinggi selain Hukum yang dikeluarkan sang Raja. Termasuk Hukum Tuhan dalam Kitab Suci pun harus tunduk dengan hukum sang Raja.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan sistem Kesultanan Buton. Sultan Buton merupakan kepala pemerintahan tertinggi di Kesultanan namun ia dilantik Oleh Khalifah atau yang mewakili Khalifah. Sehingga merupakan bagian dari sistem pemerintahan keKhilafahan. Dengan kata lain, kesultanan merupakan sub-ordinasi dari sistem pemerintahan yang lebih tinggi, bukan seperti kerajaan.
Terkait Sultan Buton merupakan wakil dari Khilafah Utsmani, hal ini sebagaimana diungkap dalam dokumen sejarah seorang sosiolog Belanda J. Couvereur(1935), ia menulis (terjemahan dalam bahasa Melayu); "maka diterangkanlah pada dewasa itoe bahwa disyahkanlah keadaan Soeltan Boeton raja Islam dan diizinkan poela oleh Soeltan Roem dan Makkah untuk memoedji Soeltan Boeton di dalam choetbah, dan adalah _djoega Soeltan Boeton menjadi wakil pada sebelah Timoer boeat oeroesan agama Islam dan dianoegerahi gelaran chalifah khamis’_.
_(buku Negeri Khalifatul Khamis, hal. 111)_
KEEMPAT; adanya hubungan Kesultanan Buton dengan Kehilafahan Islam. Catatan sosiolog Belanda J. Couvereur(1935), menegas hal tersebut. Bahwa ada penegasan khusus tentang posisi Sultan Buton sebagai wakil diwilayah Timur. _…Soeltan Boeton menjadi wakil pada sebelah Timoer…_ _( hal. 111)_ . Hal tersebut menegaskan adanya hubungan erat antara Kesualtanan dengan kehilafahan islam.
KELIMA; Pemberian gelar dan nama yang sangat berbeda dengan saat menjadi kerajaan menandakan ada perubahan yang khas. Meski banyak orang yang menyatakan “apalah arti sebuah nama”, namun sebutan bagi sebuah gelar kepala pemerintahan tentu mengandung makan yang sangat berbeda. Setiap pemberian gelar itu pasti punya makna tersendiri yang berbeda. _…dianoegerahi gelaran chalifah khamis’_._( hal. 111)_. Gelar ini sangat berbeda dengan gelar kerajaan pada umumnya.
Seorang PRESIDEN tentu tidak nyaman jika disebut RAJA karena memang tidak cocok dengan faktanya. Demikian pula seorang SULTAN tentu tak cocok di sebut PRESIDEN, sebagaimana juga tak cocok disebut RAJA. Karena memang faktanya berbeda apa yang menjadi kewenangan dan pelaksanaan tugasnya.
Walhasil, adanya perubahan sistem pemerintahan dari Kerajaan (Otokrasi) menjadi Kesultanan (bagian dari Khilafah) telah terjadi di Kerajaan Buton. Ia tidak berubah dari dari Otokrasi menjadi Demokrasi karena secara faktual, sebutan dan sistem hukum yang digunakan sangat berbeda dengan sistem keduanya.
Sebagai generasi yang hidup di zaman now, kita selayaknya menjadikan catatan sejarah untuk diambil sisi positifnya. Bukan sebaliknya malah sibuk mencari sisi negatifnya tanpa memberi solusi. Sudah saatnya kita menemukan sisi positifnya dan menjadikan sejarah sebagai inspirasi bagi kebaikan masa depan kita. Tabiik.
(disarikan dari Buku NEGERI KHALIFATUL KHAMIS, Terbitan WADIpres tahun 2019, yang ditulis oleh Irwansyah Amunu & almaroky)
NB; Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.
Post a Comment