Header Ads


PROBLEM LIKUIDITAS PERBANKAN, ANCAMAN YANG SELALU MENGINTAI DALAM KAPITALISME

Editorial ASSALIM.ID | Edisi 3-9 Juli 2020

Assalim.id - Likuiditas perbankan adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang akan jatuh tempo. Atau dengan sederhana yaitu kemampuan bank memenuhi permintaan nasabah mencairkan dana tabungannya. 

Seiring lesunya dunia usaha diterpa pandemi Covid-19, tentu akan berdampak pada perbankan. Kredit yang notabene uang nasabah penabung di bank kemungkinan akan mengalami kesulitan pembayaran. Terlebih lagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri dalam pidatonya menyampaikan keringanan pembayaran kredit oleh masyarakat ke perbankan.

Kondisi ini dikhawatirkan akan muncul masalah kemampuan bank mengembalikan dana yang diminta nasabah karena dana yang tersedia "mengering" disebabkan arusnya tidak lancar. Inilah yang dimaksud problem likuiditas.

Mengantisipasi hal ini, Presiden Jokowi telah menandatangani peraturan pemerintah (PP) tentang pemulihan ekonomi nasional dan mulai diundangkan Senin (11/5/2020), yang salah satu poin pentingnya adalah dana penyangga likuiditas perbankan yang disalurkan melalui “bank peserta”, yaitu bank-bank yang masuk kategori 15 terbesar di Indonesia.

PP nomor 23/2020 tentang Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ini diterbitkan dalam rangka mendukung kebijakan keuangan negara di tengah wabah Covid-19 yang membutuhkan langkah-langkah khusus “menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional”.

Bukan main-main, problem likuiditas perbankan adalah bagian dari problem yang bisa membahayakan perekonomian nasional. Kita sudah mengalaminya berkali-kali.

Di akhir tahun 2008 ada kasus Bank Century. Untuk menyehatkan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyuntikkan dana Rp 2,2 triliun agar Bank Century memenuhi tingkat kesehatan bank. LPS akhirnya mem-bailout lagi hingga total mencapai Rp 6,7 triliun.

Pada krisis ekonomi tahun 1998 juga terjadi krisis likuiditas perbankan. Perbankan menyalurkan kredit setelah keluarnya Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang memberi mereka ruang yang sangat fleksibel untuk membuka bank dan mengucurkan kredit. Penyaluran kredit meroket naik. 

Ketika rupiah melemah, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/ NPL) pun meroket. Per akhir 1998, NPL perbankan Indonesia mencapai 48,6%. Artinya, hampir setengah dari kredit yang disalurkan perbankan pada saat itu bermasalah.

Ketakutan melanda masyarakat karena bank-bank tempat mereka menyimpan dananya mengalami kesulitan likuiditas. Publik lantas berbondong-bondong menarik dana di bank atau yang dikenal dengan istilah bank rush.

Kala bank rush terjadi, perekonomian akan kolaps. Sebagai negara dengan corak kapitalisme, perekonomian Indonesia sangat tergantung pada sektor perbankan untuk membiayai aktivitas ekonomi. Pendanaan dari pasar modal kurang maksimal. Pertumbuhan ekonomi tahun 1998 tercatat terkontraksi sebesar -13,1%.

Krisis ekonomi dipicu persoalan perbankan ini juga beberapa kali menimpa Amerika Serikat. Misalnya krisis tahun 2008 berupa subprime mortgage (SM). SM merupakan kredit perumahan yang skema pinjamannya telah dimodifikasi sehingga mempermudah kepemilikan rumah oleh orang miskin yang sebenarnya tidak layak mendapat kredit.

Melihat masalah di atas, problem ini muncul karena adanya interst (bunga) sebagai kompensasi kepada nasabah penyimpan. Apakah untuk aktivitas bisnis  (produktif) maupun untuk konsumtif.

Dalam Islam bunga diharamkan karena merupakan riba apakah untuk aktivitas produktif maupun konsumtif. Interst yang dijaminkan akan dibayarkan kepada nasabah juga menyalahi kaidah di dalam Islam yaitu al gharam bi al ghanam (kerugian itu bergandengan dengan keuntungan). 

Prinsip interest/bunga tidak mau tahu apakah usaha yang dijalankan untung atau rugi karena bunga harus selalu dibayarkan. Inilah yang bertentangan dengan kaidah di atas.

Ancaman likuiditas akan terus mengintai ekonomi kapitalis karena perbankan merupakan urat nadi ekonominya dan hal ini tidak akan terjadi di dalam Islam. Islam mengembangkan perekonomian bisa melalui syirkah sesama umat dengan berbagai skema. Negara juga memiliki alokasi tersendiri untuk bantuan modal pada kalangan tertentu terhadap warganya melalui Baitul Mal (i'tha ad dawlah).[] Pujo Nugroho

https://assalim.id/editorial/problem-likuditas-perbankan-ancaman-yang-selalu-mengintai-dalam-kapitalisme/

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.