Header Ads


GAS LPG 3 KG LANGKA, SALAH SIAPA?

Oleh: Ronita Pabeta, S.Pd (Ibu Rumah Tangga, Pemerhati Sosial)


Kelangkaan gas LPG 3 kg beberapa bulan belakangan kembali marak terjadi. Situasi ini tentu menyulitkan bagi masyarakat yang mengandalkan gas LPG 3 kg sebagai sumber energi yang digunakan untuk memasak kebutuhan sehari-hari. 


Dampak kelangkaan gas LPG 3 kg bukan saja menghambat aktivitas masyarakat, tetapi juga membuat harga isi ulang gas melon ini menjadi lebih mahal dari biasanya. Masyarakat dibuat dilema, karena terpaksa harus membeli meski harganya mahal. Apalagi ditambah dengan kondisi pandemi saat ini, membuat masyarakat kecil semakin terjepit.  


Sejak konversi minyak tanah ke LPG (liquified petroleum gas) pada 2007 silam, maka berbondong-bondong masyarakat kemudian beralih ke gas melon ini. Selain memang modelnya yang kecil dan ringan, harganya pun sangat terjangkau. Maka jadilah si gas melon ini jadi idola masyarakat kecil. 


Semenjak 2007, pemerintah belum pernah menaikkan harga LPG 3 kg bersubsidi dengan harga pokok Rp 4.250,- per kilogram (belum termasuk biaya distribusi, pajak dan sebagainya), sedangkan untuk LPG non subsidi berada di kisaran Rp 10.000-12.000,- per kilogram. Disparitas harga yang terlalu jauh antara gas LPG 3 kg dengan gas LPG non subsidi, membuat ketidaktepatan sasaran LPG 3 kg bersubsidi semakin meluas. 


Masyarakat dengan penghasilan di atas ketentuan semakin banyak yang menggunakan hak warga miskin dengan membeli LPG 3 kg bersubsidi. Padahal, sesuai Peraturan Presiden No. 104/2007 dan Peraturan Menteri ESDM No. 21/2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, Dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 kg, bahwa LPG 3 kg hanya diperuntukkan bagi rumah tangga miskin dengan penghasilan di bawah Rp 1,5 juta dan kegiatan Usaha Kecil dan Mikro (Bisnis.com, 04/10/2017).


Pemerintah menunjuk PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha yang bertugas menyalurkan secara resmi LPG 3 kg bersubsidi. Pertamina memiliki tugas dan wewenang untuk menyalurkan LPG 3 kg melalui agen dan pangkalan yang menjual dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jika dilihat dari data penyaluran LPG bersubsidi dan non subsidi Pertamina, perbandingannya relatif masih sangat jauh yaitu 9:1. 


Padahal, Pertamina telah menyediakan berbagai varian LPG non subsidi seperti bright gas 5,5 kg dan 12 kg, serta LPG ukuran 50 kg untuk restoran dan hotel. Karena Pertamina tak memiliki wewenang untuk mengawasi pembelian dari tingkat agen sampai ke pengecer. Sehingga kelangkaan gas LPG 3 kg di berbagai wilayah di tanah air telah menjadi hal yang biasa.


Kelangkaan gas LPG 3 kg terjadi juga di Kendari, Sulawesi Tenggara. Selain langka, harganya naik dua kali lipat dari harga eceran tertinggi (HET) yang dipatok Pergub No 5/2014 yakni Rp 17.900. Berdasarkan pantauan di beberapa pangkalan LPG, rata-rata kosong. Yang ada tinggal di pengecer yang menjual di kios-kios. Itu pun, dijual dengan harga Rp 35.000- Rp 45.000. Salah seorang warga mengungkapkan bahwa sulit sekali menemukan LPG 3 kg di pangkalan. Akibatnya, para pengecer juga menjual LPG 3 kg dengan harga tinggi. Karena butuh, maka dibeli saja (BKK, 24 juni 2020). Mereka berharap agar pasokan stok LPG tetap stabil, sehingga pengecer tidak seenaknya menaikkan harga dengan cukup tinggi, apalagi untuk gas LPG subsidi.


Pihak Pertamina (Persero) dikonfirmasi soal ini menjelaskan, selama seminggu terakhir distribusi LPG dari stasiun pengisian bulk LPG (SPBE) di kabupaten Konawe Selatan tengah mengalami kendala akibat jalan rusak, hal ini yang mengakibatkan kelangkaan LPG 3 kg di kota Kendari. Unit Mananger Communication & CSR PT Pertamina Marketing Operation Region (MOR) VII, Hatim Ilwan mengatakan, pada kondisi normal, pasokan LPG 3 kg untuk kota Kendari dan kabupaten Konawe didatangkan dari dua SPBE. Kedua SPBE terletak di kabupaten Konawe Selatan dan di kota Kendari sendiri. Rata-rata memasok 35.000 tabung per hari. Dengan terkendalanya salah satu SPBE, membuat pasokan LPG untuk kota Kendari dan kabupaten Konawe disuplai melalui satu SPBE saja, yakni SPBE Kendari. Lanjutnya, bahwa di sejumlah agen dan pangkalan ditemui permintaan yang lebih besar dari ketersediaan.


 Hatim menuturkan, pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kendala distribusi yang terjadi (BKK, 24 Juni 2020).

Permasalahan kelangkaan LPG 3 kg dan mahalnya harga yang ada di tingkat pengecer, menjadi perbincangan hangat yang meluas hingga ke anggota perwakilan rakyat Sulawesi Tenggara. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota Kendari menggelar rapat kerja bersama (RKB) dengan Disperindag Kendari, PT Pertamina (Persero) MOR VII, Hiswana Migas DPC IV Sulawesi Tenggara (DetikSultra.com, Rabu 1/7/2020). Dalam rapat tersebut, Ketua komisi II, Andi Sulolipu menyoroti soal kelangkaan LPG 3 kg khususnya di wilayah Kendari. 


Menurutnya, Pertamina sebagai penyedia gas LPG 3 kg harusnya segera melakukan langkah-langkah atau tindakan cepat dalam mengantisipasi terjadinya kelangkaan gas LPG 3 kg ditengah masyarakat. Bahkan politisi PDIP ini juga mengkritisi perihal promosi yang dilakukan pihak Pertamina atas seruan penggunaan Bright gas, di saat kondisi pandemi virus corona yang turut berdampak pada ekonomi masyarakat. Menurutnya hal tersebut bisa ditunda dulu menunggu sampai keadaan pandemi selesai. Maka, dia meminta kepada Pertamina untuk menormalisasi kelangkaan LPG 3 kg. 


Sementara itu, Sales Branch Manager (SBM) Sulseltra PT. Pertamina (Persero) MOR VII, Mahdi Syafar memastikan tidak ada kelangkaan gas LPG 3 kg (Detiksultra.com, Rabu 1/72020).

Setidaknya jika kita melihat beberapa alasan yang dijelaskan oleh pihak Pertamina (Persero), maka dapat disimpulkan bahwa penyebab kelangkaan gas LPG 3 kg antara lain; pertama adalah karena migrasi pengguna tabung LPG 12kg ke LPG 3 kg. Penyebab kedua adalah terjadinya pembelian panik (Panic buying), akibat isu kelangkaan, sehingga mereka membeli LPG 3 kg melebihi kebutuhan sehari-hari. Ketiga ada pemberitaan di media massa kalau pengusaha SPBE menuntut kenaikan margin usaha. Dan penyebab terakhir adalah adanya permainan, baik itu di agen maupun di pangkalan, yang sengaja menahan penjualan LPG 3 kg. Isu kelangkaan bagi para agen dan pangkalan nakal ini dijadikan kesempatan untuk menaikkan harga jualnya.


Dari beberapa penyebab kelangkaan gas LPG 3 kg kita bisa melihat, bahwa sebenarnya yang terjadi hanya masalah pendistribusian yang tidak tepat. Padahal ketersediaan gas LPG secara keseluruhan sangat banyak. Mengapa kemudian tetap saja terjadi kelangkaan? Seharusnya pemerintah, dalam hal ini yang berperan sebagai pengatur masyarakat bisa berperan total dalam menyelesaikan masalah kelangkaan gas LPG 3 kg. Terlebih, bahwa yang menggunakan gas LPG 3 kg ini hampir semua kalangan. 


Seharusnya, pemerintah tidak hanya menetapkan regulasi tetapi juga mengontrol dan mengawasi langsung distribusi gas LPG di tengah masyarakat. Bisa saja pemerintah, memberikan tugas dan wewenang kepada Pertamina untuk mengontrol distribusi ke masyarakat dari mulai tingkat SPBE, pangkalan, agen sampai pengecer atau kios-kios penjual gas. Karena dalam hal ini, kebutuhan gas sebagai sumber energi adalah salah satu kebutuhan pokok yang harus terpenuhi. 


Pertamina, sebagai perusahaan BUMN yang ditunjuk pemerintah untuk menyediakan kebutuhan minyak dan gas bagi masyarakat ternyata bukanlah satu-satunya produsen migas di tanah air. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menjabarkan ada tiga perusahaan produsen migas nasional terbesar di kuartal 1 2019. Urutan tiga besar penghasil minyak tersebut; 1. Exxon Mobil Cepu Limmited 220 ribu bph, 2. Chevron Pacific Indonesia 197 ribu bph, 3. Pertamina EP 78 ribu bph (Liputan6.com, Jakarta 3/4/2019).


Jika dilihat, perolehan minyak dan gas (migas) dari ketiga perusahaan besar tersebut, maka Pertamina tidaklah bisa dikatakan sebagai produsen migas yang dominan. Adanya perusahaan swasta milik perseorangan yang menjadi pesaing dalam memproduksi migas menjadi batu ganjalan dalam pendistribusian migas yang murah bahkan gratis di tengah masyarakat. Padahal migas ini merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat, maka seharusnya pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada BUMN seperti Pertamina.


 Namun kenyataannya, Pertamina yang seharusnya murni BUMN menjelma menjadi Perseroan Terbatas (PT) yang juga menuntut adanya keuntungan (laba). Sampai saat ini, Pertamina diketahui menderita kerugian sebesar Rp 11,13 triliun pada semester I 2020. Sebelumnya, Dirut Keuangan Pertamina mengatakan akan berencana memasang target investasi sebesar Rp 100 triliun pada 2020 untuk eksplorasi dan produksi (Republika.co.id, Jakarta, 24/11/2019). 


Hal tersebut ditanggapi oleh seorang pengamat BUMN dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Toto Pranoto menyampaikan bahwa kerugian yang terjadi di Pertamina akibat penurunan kinerja Pertamina yang tidak dapat dihindarkan. Apalagi dalam era pandemi seperti saat ini (Kompas.com, Kamis 27/8/2020). 


Dalam sistem kapitalisme saat ini, menjadi hal yang lumrah, bahwa setiap orang memiliki kebebasan pemilikan, termasuk dalam memiliki barang yang menjadi kebutuhan/hajat hidup orang banyak. Jika Pertamina adalah murni Badan Usaha Milik Negara yang bekerja semata-mata melayani rakyat, maka kelangkaan gas LPG 3 kg tidak akan terjadi. Apalagi sampai menimbulkan dilema di masyarakat. Mau tidak mau harus membeli meskipun harganya mahal. Karena sebenarnya pengelolaan migas ini masuk dalam pengelolaan milik umum.


Dalam Islam, sebagai sebuah agama yang punya cara pandang khas terhadap kehidupan, diatur masalah pemilikan sekaligus bagaimana mengelola hak milik. Dalam sistem ekonomi Islam, dijelaskan bahwa Islam mengakui ada tiga kepemilikan yaitu, kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Karena semua distandarkan pada aturan dari Sang Pemilik kehidupan, maka pastinya tidak akan salah. 


Dalam Islam seseorang boleh memiliki harta pribadi dan mengembangkannya, hanya saja tidak boleh harta itu sifatnya menjadi kebutuhan umum. Karena dalam Islam diatur, bahwa manusia berserikat dalam 3 hal; air, api dan padang rumput. Maka, tidak boleh seseorang menguasai hajat hidup orang banyak. Termasuk dalam hal ini migas. Maka seharusnya kepemilikannya adalah kepemilikan umum dan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada negara. Hal ini dilakukan agar bisa di produksi maksimal untuk kepentingan rakyat dengan harga yang murah bahkan gratis. Pendistribusian pun akan lebih adil jika kemudian negara turun tangan.


Wallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.