Nasionalisme Vaksin, Dapatkah Dihindari?
Oleh: Rosmiati, S.Si (Pemerhati Kebijakan Publik)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sudah ada 25 kandidat vaksin yang masuk evaluasi klinis, dan 139 dalam evaluasi pra klinis. Sementara sudah enam vaksin Covid-19 yang masuk dapur uji coba tahapan ketiga. Tiga vaksin berasal dari China. Satu vaksin dikembangkan Perusahaan Inggris-Swedia yang bekerja sama dengan Oxford University. Sedang dua vaksin lainnya dikembangkan oleh ilmuwan Amerika Serikat (AS) (Republika, co.id, 19/08/2020).
Saat ini harapan dunia memang tinggalah pada upaya vaksinasi. Disamping karena alasan medis yang kuat. Sistem kapitalisme yang tak bisa berlama-lama mengunci wilayahnya (Lockdown) menjadikan vaksin sebagai tumpuan utama.
Namun, tingginya angka kebutuhan dunia terhadap vaksin, memunculkan sebuah kekhawatiran baru di mata WHO. Jangan sampai ‘nasionalisme vaksin’ terjadi. Sebagaimana diketahui, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyeru pemerintah di seluruh dunia agar berbagi suplai medis dalam upaya menanggulangi pandemi. Pihaknya juga mengingatkan bahaya dari nasionalisme vaksin Covid-19. Yang akan memperburuk pendemi dan berkontribusi pada kegagalan total rantai pasokan global. Pihaknya juga meminta agar dunia hari ini lebih berempati dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan (Republika.co.id, 19/08/2020).
Tak hanya WHO, sang Miliarder dunia Bill Gates juga menyeru kepada negara-negara maju, agar mulai memikirkan nasib Negara miskin yang selama ini tak terpikirkan oleh mereka (Republika.co.id, 18/08/2020).
Hanya yang menjadi dilema, akankah dunia bisa berempati, di tengah tingginya syahwat kapitalistik menggerogoti mereka? Dan dapatkah pula nasionalisme vaksin ini dihindari? Sedang, sejak awal wabah melanda, gimik negara maju sudah ada yang mengarah ke sana.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Dirjen Badan Kesehatan Dunia, bahwa di awal pandemi banyak negara yang membatasi ekspor Alat Pelindung Diri (APD). Dan kalaupun berhasil di ekspor nilai jualnya membumbung tinggi.
Itulah mengapa kita pesimis. Terlebih bila melihat posisi vaksin yang hari ini cukup seksi di dunia. Maka tak mungkin bila ia tak punya nilai tawar di mata Negara penghasilnya.
Pasalnya, sebagai satu-satunya harapan, vaksin tentu akan tetap laku, meski berapapun harganya. Pun di dalam sistem kapitalisme, kekal adagium Not Free Lunch. Yang karenanya semakin menutup pintu keikhlasan dalam berbagi.
Belum lagi, setiap negeri sudah terbiasa hidup di bawah payung negara bangsa. Dimana kepentingan rakyat dan bangsa adalah utama. Akibatnya, perlahan rasa keempatian itu sirna. Paham ini pun semakin klop dengan sistem kapitalisme yang memang menyuburkan pola individualistik di tengah kehidupan bermasyarakat. Bahkan, sistem ini juga punya pemahaman, memberi bantuan justru akan menciptakan kerugian.
Sungguh, hanya di dalam Islam lah. Kita akan menemukan sosok-sosok yang berbagi tanpa berharap imbalan materi dan lain sebagainya. Islam mengharuskan umatnya agar memurnikan amalnya semata-mata untuk mengharap ridho Illahi. Apalagi dalam urusan pemenuhan hak-hak publik atau yang berkaitan dengan kemaslahatan umat manusia. Perhatian para pemimpin Islam di masanya tak berbatas waktu, bahkan melampaui batas-batas negeri.
Besarnya kepedulian pemimpin kaum muslimin ini dapat kita saksikan salah satunya, pada ekspedisi penyelamatan penduduk Irlandia yang kala itu dilanda kelaparan besar (Great Famine). Sultan Abdul Majed selaku penguasa Ottoman waktu itu, tak tanggung-tanggung mengirimkan bala bantuan diantaranya, memberi 10.000 pound dan mengirimkan lima kapal penuh makanan. Bantuan sang Sultan malah jauh terpaut dari sumbangan Ratu Inggris yang hanya 2.000 pound.
Keluhuran hati sang Sultan ini ditulis dalam sebuah jurnal agama yang terbit di Inggris, didalamnya berbunyi, untuk pertamakalinya seorang penguasa Mohammedan (Muhammad) mewakili populasi Islam yang beraneka ragam, secara spontan memanifetasikan simpati hangat dengan negara Kristen (Republika.co.id, 17/02/2020). Ya, kala itu Irlandia merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama nasrani, dan berada di bawah wilayah kekuasaan Inggris. Namun kedua status tersebut bukanlah penghalang bagi Sultan untuk berbagi. Sungguh sebuah potret yang sukar didapat, di dalam tatanan kehidupan kapitalis di abad ini.
Islam juga mengharamkan rasa kefanatikan terhadap golongan ataupun terhadap entitas suatu bangsa tertentu. Disamping paham ini berpotensi melemahkan dan menghancurkan, paham ini juga mematikan rasa nurani sehingga orang akan sulit berbagi dan berempati terlebih pada mereka-meraka yang berada di luar batas Negerinya. Dan hari ini di tengah gejolak pandemi, efek buruk itu dirasakan.
Ketika dunia membutuhkan obat penawar, Negara-negara besar seolah menutup pintu dengan dalih Negaraku yang pertama dan utama’. Sebagaimana diketahui, Negara-negara besar seperti Amerika dan Inggris telah menampakan dominasinya. Amerika Serikat memiliki hak melakukan pemesanan terbesar dengan cara pre order untuk vaksin. Dan Inggris karena telah berinvestasi sebesar $79 juta, 30 juta dosis pertama vaksin akan dialokasikan ke negaranya (www.muslimahnews.com, 29/08/2020).
Maka itulah mengapa, nasionalisme vaksin agaknya sulit dihindari. Wallahualam bissawab.(*)
Post a Comment