HUT ke-80, Nasib Kelas Menengah Rapuh
Oleh: Chaleedarifa*)
IndonesiaNeo, OPINI - Peringatan 80 tahun kemerdekaan RI diliputi dengan ironi. Ada banyak persoalan di berbagai bidang kehidupan. Di bidang ekonomi, banyak terjadi PHK terhadap pekerja pada berbagai sektor, seperti industri tekstil, teknologi, dll. Penghasilan masyarakat stagnan atau bahkan turun, sedangkan pengeluaran makin besar karena harga-harga melambung tinggi dan banyak pungutan dari negara, akibatnya masyarakat terpaksa makan tabungan. Kondisi ini rawan menjatuhkan warga kelas menengah ke jurang kemiskinan.
Tampak paradoks, bahwa sejatinya Indonesia meskipun sudah merdeka dari penjajahan fisik, namun Indonesia masih terjajah secara hakiki. Kemerdekaan seharusnya tampak pada kesejahteraan rakyat, yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar tiap rakyat. Ketika rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka secara hakiki Indonesia belum merdeka. Kemerdekaan juga tampak ketika umat Islam dapat berpikir selaras dengan Islam yang merupakan agamanya, jati diri, pondasi, dan jalan hidupnya.
Kondisi seperti ini tentu tidak serta merta menjelma. Namun, merupakan buah dari penerapan sistem sekuler kapitalisme yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, tetapi justru melayani kepentingan kapitalis. Akibatnya, pemodal makin kaya, sedangkan rakyat makin sengsara.
Realitas Aktual yang Mengkhawatirkan
Memasuki usia ke-80 tahun kemerdekaan, Indonesia menghadapi kenyataan yang kontras dengan semangat merdeka yang mestinya berarti sejahtera. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan laporan media massa menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah menyusut signifikan. Jika pada 2019 ada sekitar 57 juta jiwa atau 21% dari total penduduk, kini jumlahnya tinggal 47 juta jiwa atau hanya 17%.
Sebaliknya, kelompok rentan miskin justru melonjak dari 54 juta jiwa menjadi 67 juta jiwa dalam lima tahun terakhir. Lebih mengkhawatirkan lagi, hampir separuh penduduk Indonesia, sekitar 137 juta jiwa, berada dalam posisi rapuh, hanya “setingkat lebih baik” dari garis kemiskinan. Mereka sering disebut aspiring middle class, masyarakat yang sewaktu-waktu bisa turun ke jurang miskin ketika terkena guncangan ekonomi, entah karena PHK, inflasi, atau sakit yang menguras tabungan.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa kelas menengah Indonesia sangat rentan jatuh, meskipun sering dipandang sebagai motor penggerak ekonomi. Mereka tidak tergolong miskin sehingga tak mendapat perlindungan sosial, tetapi juga tidak cukup kuat untuk disebut sejahtera.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius, mengapa setelah delapan dekade merdeka, kesejahteraan rakyat justru rapuh? Ada beberapa hal yang patut dikritisi:
Kebijakan sosial-ekonomi masih bias. Program pemerintah cenderung fokus menurunkan angka kemiskinan ekstrem, namun abai terhadap lapisan rentan. Padahal, justru kelompok ini jumlahnya jauh lebih besar. Ketergantungan pada sektor informal. Banyak kelas menengah bekerja di sektor tanpa perlindungan jaminan kesehatan, pensiun, atau pesangon. Begitu terkena guncangan, mereka kehilangan segalanya. Daya beli melemah. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan energi tidak seimbang dengan pertumbuhan pendapatan, sehingga ruang bernapas kelas menengah semakin sempit.
Jika berbagai persoalan yang ada terus berlanjut maka kemerdekaan hanya akan menjadi slogan tiada daya menghadapi kenyataan di depan mata.
Sejarah Islam Menjadi Panutan
Dalam sejarah pemerintahan Islam, terutama pada masa Nabi Muhammad saw. dan Khulafaur Rasyidin, kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama. Negara hadir sebagai pengelola amanah publik melalui institusi Baitul Maal, yang memastikan distribusi kekayaan berjalan adil.
Zakat, infak, sedekah, dan wakaf bukan hanya ibadah personal, tetapi instrumen sosial yang menjaga agar harta tidak menumpuk pada segelintir orang. Prinsip keadilan distributif membuat masyarakat menengah tidak terabaikan. Mereka yang jatuh miskin mendapat perlindungan, sementara yang punya kelebihan dituntun untuk berbagi.
Bahkan, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pernah dicatat dalam sejarah kejayaan Islam bahwa sulit menemukan orang miskin yang layak menerima zakat karena kesejahteraan relatif merata. Model seperti ini menunjukkan bahwa ekonomi bukan sekadar hitungan angka, melainkan mekanisme keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Merdeka Itu Bermakna dan Berdampak Nyata
Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Namun, kemerdekaan sejati tidak cukup dirayakan dengan seremoni atau parade bendera. Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah ketika rakyat dapat hidup layak hingga sejahtera, tidak dicecar berbagai kebijakan yang jauh dari kata bijak, sehingga rakyat dapat menatap masa depan gemilang tanpa beban.
Sejarah Islam memberi kita cermin bahwa pemerintahan yang adil adalah yang mampu menghadirkan kesejahteraan menyeluruh, bukan hanya bagi segelintir elit. Jika hal itu bisa diwujudkan kembali, maka kemerdekaan tidak sebatas simbol, melainkan kenyataan yang dirasakan seluruh rakyat.
Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam sejatinya memberikan solusi komprehensif atas segala persoalan yang terjadi, tidak hanya di negeri ini, namun secara luas atau global. Karena itu, penerapan sistem Islam kafah adalah kebutuhan dan solusi hakiki atas kondisi ini. Sistem Islam mampu menyejahterakan rakyat dengan mengelola kepemilikan umum dan mengalokasikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Negara menjamin kesejahteraan rakyat dengan memenuhi kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan). Negara melakukan industrialisasi sehingga membuka lapangan pekerjaan. Negara juga memberikan tanah bagi yang mau menghidupkan. Bagi fakir miskin, negara memberikan santunan dari baitulmal. Wallahualam bissawab. []
*) Pegiat Literasi


Post a Comment