Header Ads


Otokrasi atau Oligarki, Solusi Sehat Atasi Pandemi?

Oleh: Sartinah (Relawan Media) 


Pandemi Covid-19 masih menjadi momok di tengah masyarakat. Jumlah kasus terus melonjak sejalan dengan jumlah korban meninggal.  Sayangnya hingga saat ini upaya pemerintah  dalam memutus penyebaran virus belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Hingga muncul sebuah anggapan, bahwa pandemi hanya mudah ditangani oleh pemerintahan otokrasi atau oligarki. Benarkah?


Beberapa waktu yang lalu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut negara-negara yang menganut pemerintahan otokrasi satu tangan dan oligarki yang dikuasai sekelompok orang, seperti Cina dan Vietnam lebih efektif menangani pandemi virus corona (Covid-19). Tito menyebut negara dengan pemerintahan seperti itu mudah mengendalikan perilaku masyarakat dalam menghadapi pandemi karena kedaulatan negara dipegang oleh satu atau segelintir orang. Kebijakan yang diberlakukan pun menggunakan cara-cara yang keras.


Sedangkan negara penganut demokrasi, seperti Indonesia, India, dan Amerika Serikat cenderung mengalami kesulitan karena pemerintah tidak bisa memaksakan rakyatnya. Mantan Kapolri itu mencontohkan sulitnya menerapkan protokol kesehatan di Indonesia. Padahal, tindakan yang dilakukan sederhana, seperti mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker saat beraktivitas di luar rumah. Mudah untuk dikatakan, tapi sulit dilaksanakan karena tergantung dari sistem politik, demografi dan sosial budaya," ujarnya. (CNN Indonesia, 3/9/200)


Pernyataan bahwa negara otokrasi atau oligarki lebih efektif menangani pandemi Covid-19 patut dikritisi. Pasalnya, belum ada satu negara pun yang terbebas dari pandemi Covid-19. Vietnam memang tidak pernah mencatatkan kasus baru selama lebih dari tiga bulan. Sayangnya, kematian pertama kasus corona menjadi pukulan berat bagi negara itu yang sebelumnya merasa bangga atas keberhasilannya mengatasi virus corona tanpa menimbulkan korban jiwa. Pasien pertama yang meninggal adalah seorang pria  berusia 70 tahun yang berasal dari kota Hoi An. (bbc.com, 31/7/2020)


Hingga kini, data kasus corona per 7 September 2020 di Vietnam yakni terdapat 1.049 kasus dengan 35 orang meninggal dunia. (worldometers.info, 7/9/2020)


Sedangkan Cina sebagai pusat awal penyebaran virus corona mengklaim tidak ada lagi kasus corona baru setelah bulan Mei lalu. Berdasarkan klaim tersebut, Cina kembali membuka sektor pariwisata yang membuat banyak turis berdatangan dari berbagai kota di Cina, di antaranya dari Wuhan, Beijing, Dalian, Tianjing, dan Jinan.


Tak dinyana, pada akhir Juli lalu ditemukan kembali sebuah klaster baru di sembilan kota di lima provinsi. Klaster tersebut berasal dari pasar Xinfadi setelah otoritas Cina melonggarkan kebijakan lockdown, Artinya, kebijakan pelonggaran pembatasan sosial dan menjalani aktivitas normal di tengah pandemi yang masih mengancam, sangat berpotensi memunculkan klaster baru bahkan gelombang kedua.


Klaim adanya kepatuhan masyarakat yang terjadi di negara otokrasi pun disebabkan adanya ancaman hukuman dari penguasa. Bukan karena kesadaran yang lahir dari dasar  keimanan. Kepatuhan seperti ini niscaya tidak akan bersifat permanen. 


Seharusnya pemerintah lebih memaksimalkan untuk menghentikan penyebaran virus corona. Misalnya dengan menggencarkan sosialisasi protokol kesehatan, dan menyediakan berbagai fasilitas sehingga rakyat mudah melaksanakannya. Tak kalah penting, kebijakan yang dibuat hendaknya berpihak pada rakyat secara nyata. Bukan justru memihak pada segelintir orang atau kelompok. 


Sayangnya, demokrasi yang selama ini dibanggakan, terus dipertanyakan kemampuannya dalam menangani wabah. Tambal sulam kebijakan terkait penanganan wabah terbukti tidak mampu menekan angka penyebaran kasus Covid-19, apatah lagi menghentikannya secara total. Tiadanya kepatuhan masyarakat yang terus dijadikan alibi semakin menyebarnya Covid-19, hanyalah alasan untuk menutupi kegagalan penguasa dalam menangani wabah.


Inilah cacat bawaan sistem demokrasi yang setengah hati dalam mengurus rakyat dan kurang tanggap terhadap berbagai persoalan yang menimpa rakyatnya. Hal ini kian menjelaskan bahwa kepengurusan yang mereka lakukan bukan semata-mata untuk rakyat melainkan untuk para kapital.


Lantas bila demikian, masihkah sistem yang gagal ini layak untuk dipertahankan? Sesungguhnya umat membutuhkan sistem alternatif yang secara total mampu mengurai sengkarutnya permasalahan dunia secara umum, termasuk menyelesaikan masalah wabah. 


Namun sistem alternatif tersebut bukan otokrasi maupun demokrasi. Adalah sebuah sistem yang menempatkan negara benar-benar menjadi pengayom dan pelindung rakyatnya dengan maksimal, yakni sistem khilafah. Dalam sistem ini terjalin kepercayaan dan kepatuhan rakyat pada penguasanya, karena dorongan keimanan dan ketakwaan. Penguasa akan semaksimal mungkin melakukan upaya terbaik dalam melayani rakyat, baik saat pandemi maupun tidak.


Saat terjadi pandemi, upaya yang dilakukan penguasa adalah: Pertama, memisahkan orang yang sehat dan orang yang sakit sejak awal. Bagi mereka yang terinfeksi, maka negara akan menjamin pengobatannya sampai sembuh. Kedua, berupaya dengan seoptimal mungkin menutup wilayah sumber penyakit, sehingga penyakit tidak akan menyebar. Sedangkan bagi  daerah yang tidak terinfeksi dapat menjalankan aktivitas mereka seperti biasa tanpa khawatir akan tertular. Ketiga, bagi masyarakat di daerah wabah yang tidak tertular penyakit, maka negara akan menjamin seluruh kebutuhan pokok mereka.                                                                                                                        


Keempat, negara akan menjamin tersedianya pelayanan kesehatan yang cukup dan memadai bagi seluruh rakyatnya tanpa menzalimi salah satu pihak. Kelima, negara juga akan memberi dukungan yang cukup dengan cara menyediakan dana untuk melakukan riset sehingga vaksin dapat segera ditemukan. Semua jaminan tersebut ditopang oleh sistem keuangan khilafah yang berbasis baitulmal.


Bila sudah demikian maka akan muncul ketaatan masyarakat terhadap penguasanya. Ketaatan rakyat tumbuh semata-mata karena dorongan iman dan mengharap keridaan Allah, bukan karena ketakutan pada sanksi yang diberlakukan penguasa. Demikianlah jaminan khilafah dalam mengatasi berbagai persoalan termasuk menuntaskan pandemi. 

Wallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.