Header Ads


PANDEMI PILKADA SERENTAK 2020 ANTARA KEKUASAAN DAN KESELAMATAN RAKYAT



Oleh: Rama Sultan (Wakil Ketua BEM FH USN)


DPR dan Pemerintah bersepakat akan menyelenggarakan pilkada serentak untuk 270 Daerah di Indonesia pada 9 Desember 2020. Presiden Jokowi telah menerbitkan Perppu Nomor 2 tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah, salah satu isinya menggeser waktu pelaksanaan Pilkada 2020 yang semulanya 29 September menjadi 9 Desember 2020. Dengan alasan utamanya karena adanya pandemi Covid-19. 


Dijadwalkan, Rabu (24/6/2020), KPU memulai tahapan pilkada dengan agenda verifikasi faktual (verfak) terhadap kandidat perseorangan. Mengenai tahapan pilkada ini, KPU juga telah menerbitkan PKPU No 5 Tahun 2020. (Dikutip kompas.com) 


Jumlah pilkada tahun ini lebih banyak dari pilkada lima tahun lalu, tepatnya tahun 2015 tercatat 269 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten melaksanakan pilkada serentak. Kita bisa membayangkan betapa sibuk dan rumitnya pemerintah daerah dan panitia penyelenggara pilkada, namun itulah resiko yang harus di hadapi pemerintah dan panitia penyelenggara pemilu saat menjatuhkan pilkada langsung ditengah ancaman Covid dan resesi, bisa dibayangkan masalah akan bertambah, biaya penyelenggaraan pun akan membengkak ketika dihadapkan pada fakta ancaman Covid semakin banyak menelan korban, sampai saat ini jumlah kasus positif Covid di Indonesia mencapai 257.388 kasus dan 9.977 nyawa telah melayang.


Sangat disayangkan ketika pemerintah tetap ngotot untuk melaksanakan pilkada serentak, karena akan semakin banyak menimbulkan permasalahan di negeri ini. Keselamatan dan kesehatan masyarakat terancam, masa puncak corona hingga saat ini belum pasti. Kualitas penyelenggaaraan pilkada pun semakin buruk, prinsip pilkada pada khususnya JUJUR dan ADIL sangat diragukan, ditengah pandemi Covid-19 pragmatisme dari masyarakat semakin terasa apalagi karena kemiskinan warga, pemilih dan calon membutuhkan suara itu sering terlibat transaksi jual beli suara.


Disisi lain tuntutan penundaan Pilkada semakin marak disuarakan dari tokoh publik dan ormas diantaranya Muhammadiyah dan Pembela Kesatuan Tanah Air Indonesia Bersatu (PEKAT IB) serta 17 ormas/lembaga lainnya melayangkan surat somasi kepada Presiden Joko Widodo untuk segera mengeluarkan PERPPU agar pilkada serentak 9 Desember 2020 mendatang ditunda dan diundurkan mengingat pandemi Covid-19 di sejumlah daerah se- Indonesia korbannya semakin tinggi.


Wajar saja masyarakat Indonesia menduga motif pemaksaan Pilkada ditengah pandemik hanyalah karena motif kekuasaan. Sehingga keselamatan masyarakat di omor duakan, para pemburu Kekuasaan sudah tidak sabar  menduduki jabatan politik di daerah, tak terkecuali Gibran Rakabuming anak orang nomor satu di Indonesia. Tak ada pertimbangan demi kemashlahatan masyarakat, sebab jika rakyat menjadi pertimbangan tentulah pilkada akan segera ditunda mengingat memaksakan pilkada ditengah pandemi sama saja menjerumuskan masyarakat beramai-ramai terjun ke dalam “Kolam Besar” kluster penularan Covid-19.


Ditambah lagi pemaksaan Pilkada serentak 2020 akan menghamburkan anggaran yang cukup banyak disaat ekonomi negara lesu, sementara penanganan pandemi Covid-19 justru harusnya lebih prioritas membutuhkan anggaran. Tentunya pasca-Pilkada rakyat akan mengalami kepiluan yang mendalam, pasalnya pandemi semakin mengancam seiring penularan virus yang lebih massif melalui kluster Pilkada. Belum lagi potensi sengketa pilkada ditengah masyarakat akan menambah penderitaan masyarakat. 


Derita Pandemi, derita ekonomi, dan derita politik akan memperparah masalah dalam negeri ini. Pilkada serentak dampaknya akan lebih parah apabila terus dipaksakan, karena terkait kepala daerah yang jelas memiliki hubungan yang emosional lebih kental dengan daerahnya ketimbang dalam Pemilu atau Pilpres. 


Demokrasi yang dianut negeri ini, melalui Pilkada serentak  yang akan mendatang berpotensi melahirkan “Pebisnis Demokrasi” akan semakin mesranya antara penguasa dan pengusaha dalam bingkai korporatokrasi. Para Bandar politik ini biasanya menjadi penyokong dana untuk para kontestan dengan janji imbalan proyek-proyek infrastruktur, proyek tambang dan segala macam potensi yang bisa dikeruk dari daerah itu. Maka tak perlu heran sekelas Menkopolhukam mengeluarkan pernyataan sebesar 92 persen pilkada didanai oleh “cukong” (cnnindonesia,11/9/2020)


Maka dari itu kita memerlukan terobosan hukum, dengan menginisiasikan cara pemilihan kepala daerah dan wakilnya. Kepala daerah dan wakilnya dipilih oleh DPRD, untuk itu harus adanya perubahan UU Pemilu yang khususnya mengatur masalah Pilkada. Disisi lain itu perlu dipersoalkan kembali apakah pilkada langsung memiliki landasan konstitusional? Sedangkan amanat dalam UUD 45, Pasal 18 (4) tidak memerintahkan untuk melakukan pilkada langsung, pasal tersebut hanya menerangkan bahwa  kepala daerah dipilih secara demokratis adalah kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) dengan kata lain wakil kepala daerah (Wakil Gubernur, Wakil Bupati, Wakil Walikota) tidak diharuskan dipilih satu paket dengan kepala daerah. 


Ketentuan ini dapat ditafsirkan bahwa posisi wakil kepala daerah sesungguhnya dapat dihilangkan dalam sistem pemerintahan daerah. Lalu apa yang melandasi kita melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung dengan biaya yang super mahal apalagi ditengah pandemi Covid-19 yang semakin mengancam nyawa masyarakat.


Sikap pemerintah yang memaksakan pilkada serentak 2020 terlalu mempertaruhkan risiko dan reputasi demokrasi, jika memutuskan pilkada untuk tetap lanjut pada Desember mendatang. Ancaman kluster baru corona Pilkada tetap mengancam, oleh karena itu Presiden dapat menerbitkan Perppu Pilkada Jilid 2 yang mangatur bahwa Pilkada dimasa pandemi Covid-19 ini Kepala Daerah dan Wakilnya tidak dipilih secara langsung melainkan melalui DPRD terkait. Jika keadaan semakin genting karena pandemi Covid-19, apakah ini bukan menjadi alasan yang dijadikan dasar keluarnya Perppu?  Mungkinkah Perppu Pilkada Jilid 2 dibuat oleh Presiden?


Marcus Tullius Cicero pernah berujar “salus populi suprema lex esto” yang artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi, jika ditautkan dengan tujuan berdirinya Negara adalah untuk menciptakan keamanan, ketertiban, dan mengusahakan kesejahtraan serta kemakmuran rakyat, dimasa pandemi covid 19 saat ini haruslah pemerintah mempertimbangkan keselamatan rakyat ketimbang perebutan kekuasaan.


Wallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.