Sosialisasi UU Cipta Kerja, Akankah Merubah Pemikiran Rakyat?
Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi, belum lama ini memimpin rapat koordinasi (Rakor) Sinergitas Kebijakan Pemerintah, dalam pelaksanaan Omnibus Law tentang Sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2020 yang digelar secara virtual di Aula Merah Putih, Rumah Jabatan Gubernur. Hasil yang disepakati adalah, pemerintah daerah akan melakukan sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja. Dengan membentuk tim terpadu sosialisasi UU Cipta Kerja Provinsi Sultra, melalui Surat Keputusan Gubernur Sultra Nomor 505 Tahun 2020 yang ditandatangani pada 12 oktober 2020 lalu. ZonaSultra (16/10/20).
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa penolakan yang diberikan masyarakat dengan melakukan demo kepada pemerintah karena disahkannya UU Cipta Kerja, ternyata tak membuat pemerintah "menyerah". UU yang menuai kontroversi ini malah terus diupayakan agar diterima masyarakat. Dengan melibatkan pemprov dan membentuk tim terpadu sosialisasi UU Cipta Kerja, pemerintah seolah memaksa masyarakat untuk menerima UU yang jelas-jelas telah mendapat penolakan. Tentu bukan tanpa sebab masyarakat ramai-ramai menolak UU tersebut.
UU Cipta Kerja dinilai
menambah penderitaan para buruh dan pekerja serta hanya menguntungkan para
pengusaha. Apabila UU Cipta Kerja disosialisasikan nantinya, akankah membuat
masyarakat merubah pemikirannya dari menolak menjadi menerima? Atau tetap pada
pendirian, menolak UU yang jelas tak menguntungkan rakyat.
Jargon demokrasi
yang katanya dari, oleh dan untuk rakyat, telah berubah haluan menjadi
dari, oleh dan untuk pemilik modal. Hal ini terlihat jelas dari UU yang dibuat
lebih mengutamakan kepentingan para korporasi dari pada kesejahteraan
masyarakat. Sistem kapitalisme, dimana para investor memiliki kuasa diatas
segalanya telah menyengsarakan rakyat yang tak punya apa-apa. Hidup dalam
sistem kapitalisme menjadikan kata "sejahtera" hanya layak disematkan
oleh para pemilik modal. Sungguh, bertahan pada sistem saat ini membuat masyarakat tidak dapat merasakan arti kata kesejahteraan yang sesungguhnya.
Namun lain halnya
dengan sistem Islam. Islam adalah agama yang berasal dari Allah SWT, Sang
Pencipta manusia dan seluruh alam semesta. Aturannya yang luar biasa, jelas
telah mampu membuat semua mahluk hidup sejahtera apabila berada dalam
naungannya. Islam memiliki aturan yang sempurna, yang nyata pernah diterapkan
13 abad lamanya dan telah terbukti mampu mensejahterakan rakyatnya.
Sebab dalam Islam,
pemimpin memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat.
Dalam Islam pemimpin memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai raa'in dan junnah
bagi umat. Kedua fungsi ini ketika dijalankan sesuai apa yang digariskan
syara’, terbukti membawa kesejahteraan dan kejayaan umat Islam.
Rasulullah SAW
bersabda “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung
jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Rasulullah SAW
juga bersabda ”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana
(orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari
musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud,
dll)
Pemimpin sebagai
pengurus rakyat, harus mampu mengarahkan rakyatnya menuju gerbang kemakmuran
dan kesejahteraan. Selain itu, pemimpin juga sebagai junnah, harus mampu
melindungi rakyatnya.
Aturan Islam
semata-mata dibuat demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pemimpin tidak boleh membuat kebijakan yang dapat membahayakan rakyat dan
negaranya. Maka, sudah saatnya umat kembali pada sistem Islam. Sistem yang
pernah diterapkan dan telah terbukti mampu melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.
Post a Comment