Header Ads


Terban Bumi Tempat Berpijak Demokrasi


Eka Dwi


"Apakah demokrasi kita dalam bahaya? Itulah pertanyaan yang tidak akan pernah bisa dijawab" kata dua profesor ahli demokrasi. 


Kedua profesor telah meneliti, menulis bahkan mengajarkan kepada muridnya tentang kegagalan demokrasi di tempat lain. Seperti kegelapan Eropa tahun 1930 hingga represifnya Amerika Latin tahun 1970. Mereka telah menghabiskan waktunya kurang lebih 15 tahun menemukan formula untuk menghapus otoritarianisme di dunia, agar demokrasi tidak dalam bahaya.


Dua profesor tersebut bernama Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky, dari Harvard University. Kini mereka kembali menerawang negara mereka sendiri, Amerika Serikat. Apakah demokrasi mereka kini dalam bahaya? Dan akhirnya, kekhawatiran itu benar terjadi.


Lewat buku dua profesor tersebut, How Democracies Die, mengungkapkan bahwa kini politikus Amerika menganggap lawannya adalah rival, intimidasi pers dijalankan, dan yang paling parah, mengabaikan hasil pemilu. Para politikus ini mencoba melemahkan institusi.


Misal, September 1973, di Cili, masa setelah Presiden Salvador Allende memenangkan pemilu. Tidak berapa lama, Istana presiden neoklasikal La Moneda di Santiago memanas. Bom jatuh mengejutkan seisi istana. Api berkobar begitu cepat, meluluhlantahkan istana. Bom itu menjadi pintu terjadinya krisis ekonomi, kerusuhan di mana-mana, dan politik menjadi lemah. Allende menyampaikan broadcast di radio meminta dukungan, namun istana telah dikepung. Cili telah dikendali oleh lawan Allende, Augusto Pinochet. Akhirnya, Allende wafat, begitu pula dengan demokrasi di Cili.


Kini, Januari 2021, Capitol Hill, tempat sakral demokrasi terguncang. Pendukung Donald Trump memaksa masuk gedung, sebagai respond keberatan atas kemenangan Joe Biden. Tumpah ruah keributan di gedung itu. Bahkan akibat keributan tersebut, telah jatuh korban dengan 4 orang tewas (inet.detik.com, 7/1/2021).


Berikutnya, peringatan oleh FBI pada 11 Januari 2021 untuk mengamankan Washington DC. Sebagai antisipasi para pendukung Trump yang disinyalir melakukan pemberontakan bersenjata (cnbcindonesia.com, 12/1/2021)


Atau pelamahan konstitusi, juga terjadi di negara demokrasi. Seperti Negara Filipina atau Argentina. Sama persis, menggunakan Undang-Undang Amerika Serikat, founding father demokrasi, namun tetap menjadikan para pemimpinnya tiran dan otoriter. Undang-Undang yang merupakan basic demokrasi, ternyata tak cukup untuk menjaga gelora demokrasi.


Nampak jelas sudah. Sistem demokrasi yang dielu-elukan ternyata tak mampu menopang pilar-pilarnya sendiri. Kebebasan berpendapat, keamanan, dan penegakan hukum. Ketiganya hanya ada dalam administrasi belaka, namun tidak nyata. Justru yang tampak adalah perilaku bengis dan tiranis.


Senada, dalam buku On Tyranny karya Tymothy Snyder, 

penguasa tiran memiliki tanda-tanda yang mudah dijamah. Mereka bersahabat karib dengan paramiliter, punya trik agar bawahan patuh tanpa syarat, mengeluarkan narasi-narasi khas dan berbahaya. Dan semua akan terlihat ketika mereka sudah berada di tampuk kekuasaan.


Baik dalam buku On Tyranny ataupun How Democracies Die, sepakat mengatakan penguasa dalam sistem demokrasi adalah tiran. Kita pikir lain dulu, lain sekarang. Tapi ternyata, sama saja. Capitol Hill, bukti nyata tak terelakkan. Tidak berlebihan jika kini mereka disebut "tirani baru".


Ziblat dan Levitsky, menyatakan "This is how we tend to think of democracies dying; at the hands of men with guns. But there is another way to break a democracy. It is less dramatic but equally destructive". Pemimpin terpilih atau orang yang memegang senjata adalah sama, sama-sama pendestruksi demokrasi.


Alhasil, dua buku fenomenal tersebut di atas telah menunjukkan kegagalan dalam bernegara. Bahkan pemimpin-pemimpin yang diangkat dengan cara yang demokratis, yaitu melalui pemilu, ternyata adalah pemimpin tiran. Harapannya melalui pemilu akan lahir pemimpin ideal yang mampu membawa perubahan pada negaranya. Kenyataannya, jauh panggang dari api. Itu semua tidak benar.


Dengan ini kita menyadari bahwa sistem demokrasi pun yang selama ini digaungkan, bukanlah sistem yang membentuk negara yang ideal. Kalau begitu, apakah masih mungkin bertahan pada sesuatu yang nyata-nyata sudah rapuh? Terban bumi tempat berpijak, hilang sudah tempat menggantungkan harapan pada demokrasi.


Cobalah sedikit lebih fair, bukankah ada sistem yang lebih dan nyata-nyata ideal untuk kita jamah? Ialah sistem yang berasal dari Sang Pencipta segala sesuatu. Datang dari Allah Subhana wa Ta'ala. Sistem yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam, yakni sistem islam.


Islam hadir membawa sederet aturan nan komplit. Islam pun mengatur pemerintahan. Dalam islam pemilihan seorang kepala negara juga sangat diperhatikan. Tidak atas kepentingan ataupun nafsu semata. Juga rambu-rambu pemilihan diperhatikan. Ketika Rasulullah dibaiat, tidak meminta secara paksa tapi atas kerelaan ummat. Dengan melihat sepak terjang beliau selama mengurus ummat. Begitu pula, para khalifah, pemimpin-pemimpin setelah masa Rasulullah. Pemimpin ideal hakikatnya lahir dari sebuah sistem yang ideal. Hal itu akan terwujud jika islam mampu terterapkan dalam naungan khilafah.


Pemimpin di masa islam berjaya, bukan terpilih penuh paksaan dan tekanan, bahkan sampai menghilangkan nyawa ummat. Lalu bagaimana menghadapi kondisi saat ini? Ketika apa yang kita saksikan tidak sesuai harapan? Maka, sebagai seorang muslim, wajib beramar ma'ruf nahi munkar, mengoreksi penguasa, dakwah tanpa kekerasan.


Seperti kata Tymothy Snyder, "be as courageus as you can. If none of us is prepared to die for freedom, then all of us will die under tyranny". Jadilah pemberani semampumu, jika tidak siap mati untuk kebebasan, maka akan mati di bawah tirani.


Terakhir, tidak yakinkah kita akan janji Allah? Janji kembalinya kemenangan islam, di bawah naungan khilafah.


Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad : "Kenabian akan terjadi di tengah kalian seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah menghapusnya (menggantikannya) jika menghendaki menghapus. Kemudian akan ada khilafah (yang tegak) di atas manhaj kenabian, lalu khilafah itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah menghapusnya jika menghendaki menghapus. Kemudian akan ada kerajaan yang menggigit (mulkan adlan), lalu kerajaan itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah menghapusnya jika menghendaki menghapus. Kemudian akan ada kerajaan diktator (mulkan jabariyyan), lalu kerajaan itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah menghapusnya jika menghendaki menghapus. Kemudian akan ada (lagi) Khilafah yang berjalan di atas manhaj ke-Nabian. Kemudian Rasulullah saw terdiam". Jadilah pemberani dan sambut kemenangan islam.


Wallahu a'lam bishshowab.(***)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.