Header Ads


AKG 550 kkal

Oleh: Sunarwan Asuhadi*)



Setiap 29 Juni diperingati sebagai Hari Keluarga Nasional (Harganas) setiap tahunnya. Tema Harganas 2021 adalah "Keluarga Keren Cegah Stunting", dengan tagar #KeluargaIndonesiacegahstunting.

Angka stunting nasional menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan mengalami penurunan dari 37,2 % pada 2013 menjadi 30,8 % pada 2018.

Sementara itu, menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada 2019, angka ini menurun menjadi 27,7 %.

Hanya saja angka tersebut lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).

Toleransi WHO untuk gizi buruk adalah 10% dan stunting 20%. Sementara Indonesia masih di atas toleransi.

“…Jika misalnya balita kita 22 juta, kalau yang stunting 30,8 %, jumlah itu lebih besar dari penduduk Singapura” Ujar Kirana, Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemkes (26/2/2020).

Bayi yang lahir pada 2019 memiliki harapan untuk dapat hidup hingga 71,34 tahun, lebih lama 0,14 tahun dibandingkan dengan mereka yang lahir tahun sebelumnya.

Namun demikian, Indonesia masih terkategori memiliki masalah gizi yang cukup berat yang ditandai dengan banyaknya kasus gizi kurang (malnutrisi).

Stunting merupakan kondisi malnutrisi yang terkait dengan ketidakcukupan zat gizi.

Angka prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada beberapa negara lain di Asia Tenggara, seperti Vietnam (23%), dan Thailand (16%).

Stunting merupakan faktor multi dimensi, tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk pada ibu hamil maupun anak balita saja.

Sutarto, dkk (2018) menyebutkan bahwa pencegahan stunting dapat dilakukan antara lain : (1) pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, (2) ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya, (3) memantau pertumbuhan balita di posyandu, (4) meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta (5) menjaga kebersihan lingkungan.

Salah satu intervensi yang dianggap dapat mengurangi prevalensi stunting adalah perlakuan ketercukupan gizi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita.

Jika gizi tidak tercukupi, maka dapat berefek jangka pendek dan efek jangka panjang.

Efek jangka pendek meliputi hambatan perkembangan, penurunan fungsi kekebalan, perkembangan otak yang tidak maksimal yang dapat mempengaruhi kemampuan mental dan belajar tidak maksimal, serta prestasi belajar yang buruk.

Sedangkan efek jangka panjang meliputi obesitas, penurunan toleransi glukosa, penyakit jantung koroner, hipertensi, dan osteoporosis.

Jika faktor-faktor stunting ini tidak segera diatasi, maka peluang negeri ini mengoptimalkan bonus demografi akan sulit tercapai. Padahal bonus kependudukan ini diperkirakan hanya berlangsung pada rentang waktu 2020-2035.

Tahun 2040 peluang demografis akan mengalami penurunan.

Masa puncak bonus demografi ini diperkirakan di sekitar 2030. Artinya, pada saat-saat itu jumlah masyarakat dengan usia produktif yaitu dengan kisaran umur 15-64 tahun jauh lebih banyak melebihi mereka yang termasuk dalam usia non-produktif (anak-anak dan lansia).

Hanya saja, stunting bukanlah persoalan rumah tangga semata. Tetapi, di dalamnya berkelindan masalah-masalah sosial seperti gaya hidup bahkan masalah politik yang melibatkan negara.

Tidak sedikit ibu yang menghentikan atau mengurangi pemberian ASI pada anaknya, dan segera menggantinya dengan makanan lain, karena tuntutan kepentingan pribadi. Misalnya alasan karir atau yang lainnya.

Padahal Islam sangat memuliakan anak-anak dengan memberikan tanggung jawab pengasuhannya kepada ibu, dan ayah sebagai pencari nafkah.

Al-Quran memberikan pedoman kepada orang tua, khususnya ibu, untuk memberikan asupan ASI untuk anak yang baru lahir sampai berumur 2 tahun.

Pemberian ASI oleh seorang ibu kepada bayinya, bukanlah pilihan yang bersifat sukarela. Tapi, merupakan suatu kewajiban yang hendaknya dipenuhi oleh seorang ibu, dan seoarang ayah wajib menyiapkan nafkah untuk keluarganya.

Allah SWT dalam QS. An-Nisa: 9, melarang untuk meninggalkan anak-anak dalam keadaan lemah,

"Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar."

Solusi masalah stunting harus diselesaikan dari sumbernya. Yaitu dengan diterapkannya hukum-hukum Allah SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan.

Islam meniscayakan adanya perlindungan negara terhadap rakyat untuk memberikan keadilan tanpa memandang miskin dan kaya.

Jika dalam keluarga terjadi penipisan jaringan pengaman sosialnya: sandang, pangan dan papan menipis bahkan kehabisan, maka negara menjadi jangkar pengaman sosial yang paling utama.

Penyediaan lapangan kerja merupakan agenda utama negara yang harus dipenuhi, sehingga setiap keluarga dapat didukung untuk memiliki penghasilan yang cukup.

Dengan demikian, setiap keluarga dapat memenuhi kebutuhannya dan memberikan makanan yang cukup gizi bagi pertumbuhan anak-anaknya, minimal 550 kkal, 12 gram protein, 58 gram karbohidrat, dan 34 gram lemak total (per hari).

Demikian pasokan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 Tahun 2013, untuk usia 0-6 bulan.

Tentu saja, setiap kelompok umur memiliki perbedaan jumlah pasokan AKG.

Islam menyediakan solusi bagi kelayakan hidup bagi warga negara secara menyeluruh dan bersifat segera.

Dalam Islam, kesejahteraan itu bukanlah masalah rumit, dan akan mudah ditunaikan. Kerumitan itu akan semakin lebar, selebar jarak antara solusi Islam dan penerapannya.

Wallahualam bisawab.

*) Pemerhati Pembangunan Masyarakat

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.