Header Ads


Amnesia Sejarah

 



Oleh : Syahril Abu Khalid

(Mubalig dan Pemerhati Kebijakan Publik)


Term kata Khilafah terus menjadi perbincangan publik, walaupun gagasan ini dianggap oleh semua penguasa-penguasa diberbagai negeri-negeri muslim sebagai momok yang negatif dan mengancam eksistensi keberadaan negara bangsa hari ini.


Khilafah ini, menjadikan sebagian kaum Muslim merindukannya, bagaimana wujudnya jika ia hadir dalam kehidupan kaum muslimin, ditengah berbagai macam persoalan yang dihadapi oleh umat Islam di seluruh belahan dunia saat ini. Namun tidak sedikit juga dari mereka yang menolak Khilafah ini.


Padahal jika kita kembali kebelakang, isu tentang Khilafah Islamiyah sesungguhnya telah menjadi berita utama khususnya di dunia Islam. Dan umat Islam ketika itu telah menaruh perhatian penting terhadap runtuhnya institusi Khilafah Islam, sebagai permasalahan utama yang harus diwujudkan kembali.


Karena itu, isu tentang Khilafah ini sebenarnya sudah mengemuka sejak berakhirnya Institusi Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924 di Turki. Perihal ini ditandai, dimana para Ulama dan tokoh-tokoh umat mulai mengkaji mengapa Institusi Khilafah Utsmaniyah bisa runtuh.


Sebuah pernyataan yang sangat memilukan hati, serta kesedihan yang teramat sangat bagi umat ini, ketika Majelis Nasional Turki yang dibentuk oleh Musthafa Kemal mengumumkan pada pagi hari pukul 06.30, tanggal 3 Maret 1924, tentang penghapusan Khilafah dan pemisahan agama dari urusan-urusan negara. Secara Nasional Turki kemudian merdeka dengan mendapatkan pengakuan dari Inggris.


Salah seorang perwira polisi militer Inggris menyatakan protes kepada Curzon selaku Menteri luar negeri Inggris di Gedung Parlemen mengenai pengakuan Inggris atas kemerdekaan Turki. Curzon menjawab, "Yang penting Turki telah dihancurkan dan tidak akan pernah bangkit lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan spiritual mereka, yaitu Khilafah dan Islam".


Respon akibat dari pembubaran Institusi Khilafah menimbulkan kegemparan dikalangan umat Islam. Di Indonesia sendiri, pada 4 - 5 Oktober 1924, bertempat di MI Tarbiyatul Aitam Genteng, Surabaya, membicarakan undangan kongres Khilafah yang segera akan diadakan oleh Al-Azhar di Kairo. 


Kaum Muslim menyambut gembira kabar ini, dan berharap Khilafah bisa segera tegak kembali. Muktamar Khilafah diadakan di berbagai tempat dengan tujuan untuk mendukung undangan ini, serta menggalang dana untuk membiayai para wakil-wakil dari Hindia Timur. 


Muslim Hindia Timur membentuk komite Khilafah dan menyerahkan rekomendasi-rekomendasi terkait konsep Kekhilafahan yang hendak dibangun kembali. Namun, Kongres Al-Azhar tidak pernah terwujud karena kuatnya pengaruh Inggris di Mesir. 


Deklarasi Khilafah oleh Syarif Hussein bin Ali di Makkah tidak mendapat tanggapan dari kaum muslimin, dikarenakan sepak terjang beliau Selama PD (Perang Dunia) I yang menusuk Daulah Utsmaniyah dari belakang dan mendukung invasi Inggris di jazirah Arab.


Perkembangan politik di Timur Tengah dengan sangat cepat berubah pasca Perang Dunia I, segera setelah komandan Turki terakhir (Fahri Pasha) terusir dari Madinah pada tahun 1919, tak lama kemudian seluruh jazirah Arab jatuh ke tangan pasukan Syarif Hussein. 


Namun, setahun kemudian Syarif Hussein kehilangan sebagian besar kekuasaannya, kecuali wilayah Jordania yang hingga sekarang dipegang oleh keturunan Abdullah bin Hussein. Kekuasaan Syarif Hussein di Hijaz pada tahun 1923 jatuh oleh kekuatan Abdul Aziz bin Saud dari Nejd. Ibnu Saud bermazhab Hanbali mendeklarasikan Kerjaan Saudi Arabia yang berdasarkan mazhab Hanbali.


Pada tahun 1925, Ibnu Saud mengundang kaum muslimin untuk mengikuti kongres Al-Islam yang akan diadakan di Makkah. Undangan ini mengundang perpecahan pada tubuh kaum muslimin di Hindia Timur. Kaum pembaharu yang dimotori SI dan Muhammadiyah cenderung pada Ibnu Saud, sedangkan kaum tradisional melihat gerakan Ibnu Saud yang menutup kajian-kajian Mazhab di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi serta memaksakan mazhabnya sebagai sebuah ancaman bagi persatuan Islam.


Maka kaum tradisional mengirimkan utusan tersendiri untuk melobi Ibnu Saud agar membuka kembali kajian-kajian Islam dan memberikan kebebasan bermazhab di Tanah Suci. Utusan yang dikenal sebagai "Komite Merembuk Hijaz" tersebut merupakan embrio dari organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yakni NU (Nahdatul Ulama).


Kaum Muslim, khususnya yang berada jauh dari wilayah Timur Tengah seperti Hindia Timur kembali menelan kekecewaan. Kongres Al-Islam yang diadakan oleh Ibnu Saud sama sekali tidak membahas masalah Khilafah dan hanya fokus untuk mencari legitimasi kaum muslimin atas tindakannya di kawasan Tanah Suci. Kaum muslimin di Hindia Timur pada akhirnya fokus pada perjuangan perjuangan masing-masing.


Begitulah Potret dari respon umat Muslim Hindia Timur khususnya Indonesia dalam menyikapi pembubaran Institusi Khilafah Islamiyah, mereka telah berupaya untuk mengembalikan Khilafah yang telah diruntuhkan oleh kafir penjajah. 


Namun sekarang justru menjadi aneh, kebanyakan dari umat Islam justru mendengar Khilafah sebagai momok yang menakutkan, dan dianggap sebagai ancaman yang bisa menghancurkan bangsa dan negara. Ternyata penyakit bagi umat ini adalah Amnesia sejarah.


Bahkan tidak sedikit dari pejabat dan penguasa dinegeri ini menyebut term kata Khilafah dengan ungkapan "Ideologi Khilafah". Ini menunjukkan betapa informasi yang masuk ke dalam benak kita telah melahirkan kegagalan pemahaman dalam merespon isu Khilafah.


Upaya mereduksi term kata Khilafah sebagai ideologi telah melazimkan adanya penyimpangan informasi demi melakukan stigmatisasi terhadap ide Khilafah, yang kemudian disandingkan dengan Pancasila sebagai dasar ideologi negara, sehingga seolah Khilafah mengancam eksistensi Pancasila sebagai dasar Ideologi.


Padahal Khilafah bukanlah Ideologi, tetapi Islamlah yang tepat disebut sebagai ideologi, sebab Khilafah itu sendiri adalah Institusi Negara Islam sebagai bagian dari ajaran Islam. Jika kata Ideologi diidentikkan dengan kata Khilafah, maka kebanyakan dari orang telah memahaminya dengan keliru, bahkan ini bagian dari penyesatan istilah untuk menolak ajaran Islam. 


Oleh karena itu, jangan pernah melupakan sejarah. Sejarah adalah bagian dari memori yang akan senantiasa memberikan stimulasi ghirah (semangat) dalam rangka meraih dan mewujudkan kembali kebangkitan dan kemuliaan bagi kita umat Islam. 


Lihatlah ketika Sholahuddin Al Ayyubi menyemangati pasukan kaum muslimin untuk membebaskan tanah suci Al-Quds, maka ia mengembalikan kembali memori kaum muslimin tentang kelahiran yang mulia Baginda Rasulullah SAW, dalam rangka memberikan stimulasi semangat dalam memperjuangkan agama Allah SWT.


Pada saat ini kaum muslimin mengalami penderitaan demi penderitaan dan cobaan demi cobaan. Solusi yang paling manjur bagi mereka bergantung pada pemahaman mereka mengenai suatu masalah, apakah termasuk masalah utama atau tidak, serta pelaksanaan tindakan-tindakan hidup atau mati pada setiap masalah utama yang mereka hadapi.


Sebagaimana perkataan Imam Malik bin Anas yang dinukil oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dalam kitab beliau Asy-Syifa bita’rif Huquqi Al-Mushthafa, hal. 325 (cet. Darul Hadits, Kairo),


لا يصلح آخر هذه الأمة إلا ما أصلح أولها


“Tidak ada yang dapat memperbaiki generasi akhir umat ini, kecuali apa yang telah memperbaiki generasi awalnya”


Karena itu, tidak mungkin umat ini bisa baik jika mereka meninggalkan sejarah dimana umat terdahulu menjadikan mereka baik, di semua sendi kehidupan diatur dengan apa yang diturunkan oleh Allah SWT, dimana lembaga yang menegakkan seluruh hukum itulah yang disebut dengan institusi Khilafah Islamiyah. Begitulah umat ini bisa baik dan kembali ke jalur yang lurus sesuai dengan Islam.


Wallahualam bissawab []

1 komentar:

  1. Sudah akhir zaman memang... kebaikan jadi jelek, keburukan dianggap biasa2 ajah

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.