Header Ads


Berharap Keadilan Pada Hukum Buatan Manusia? Ibarat Jauh Panggang dari Api

  

Oleh: Asmar, S.H
(Praktisi Hukum dan Pegiat Hukum Internasional)


Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Maksud negara hukum adalah segala tatanan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara adalah didasarkan atas hukum.

Maka hukum bertujuan untuk menciptakan kerukunan dan kedamaian hidup bersama dalam berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam beragama.

Itulah tujuan aturan yang dibuat oleh penguasa, selaku yang berwenang dalam mengelola dan mengurus negara ini. Maka akan diuraian dalam tulisan ini mengenai jenis-jenis peraturan dari yang tertinggi hingga terendah.

Berikut peraturan di Indonesia dari yang tertinggi hingga terendah. Sebagaimana disebutkan dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang hierarki peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1)  UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)  Ketetapan MPR;
3)  UU/Perppu;
4)  Peraturan Presiden;
5)  Peraturan Daerah Provinsi;
6)  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Tak terkecuali peraturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPer) dan seterusnya.

Pernah tidak mendengar istilah-istilah seperti berikut ini, Kasih Uang Habis Perkara atau Kurang Uang Hadapi Penjara (KUHP) dan istilah-istilah lainnya, seperti Ujung-Ujungnya Duit (UUD), pasti dengar bukan?

Sebenarnya istilah tersebut sudah hal yang lumrah terdengar di tengah-tengah masyarakat. Hal itu perlu disadari, dikarenakan ketidak percayaan terhadap penegakkan hukum di Indonesia. Apalagi bagi masyarakat kecil yang ingin mencari keadilan.

Sementara adagium hukum menyebutkan, Salus Populi Suprema Lex Esto yang berarti Keselamatan Rakyat Adalah Hukum Tertinggi. Secara teori adagium tersebut memang demikian, namun faktanya jauh panggang dari api.

Bila proses penegakan hukum tidak lagi mengarah pada tujuan hukum itu sendiri, lantas negara ini disebut sebagai negara apa? Negara hukum (rechtsstaat) atau negara kekuasaan (machtstaat)?

Negara kekuasaan (machtstaat) identik dengan pelaksanaan kekuasaan negara dan penegakan hukumnya disesuaikan dengan kemauan penguasa. Artinya bahwa hukum itu ditegakkan berdasarkan atas kehendak penguasa atau pemerintah.

Apabila negara telah menjadi negara kekuasaan (machtstaat), dimana penyelenggaraan kekuasaan yang terpusat (sentralistik). Masihkah berharap akan adanya keadilan? Bila negara bukan lagi menjadi negara hukum (rechtstaat).

Contohnya, kasus kerumunan tentang dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang berkaitan dengan Covid-19. Kampanye Pilkada di Solo belum tentu dikatakan melanggar prokes, kunjungan di Maumere (NTT) juga demikian.

Meskipun menuai kritikan terkait adanya dugaan kerumunan, biarlah masyarakat dan rakyat Indonesia yang menilai. Sayangnya, Kasus HRS tidak seberuntung orang-orang pada umumnya. Hal itu dilakukan untuk menegakkan aturan terkait pelanggaran Prokes.

Aturan tersebut tercantum dalam surat telegram terkait penegakan protokol kesehatan Covid-19. Surat telegram bernomor ST/3220/XI/KES.7./2020 tertanggal 16 November 2020.

Salah satu perintah dalam surat itu adalah agar jajaran kepolisian menegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap pelanggar protokol kesehatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.(Kompas.com).

Sesuai amanat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Dimana didalamnya terdapat suatu kesetaraan dalam hukum atau equality before the law.

Berharap Keadilan Hanya pada Hukum Allah SWT

Ada dua hukum yang sangat dikenal di negara ini, khususnya Indonesia. Dua hukum yang dimaksud adalah Ius constitutum dan Ius constituendum). Iua constititum adalah hukum yang diterapkan saat ini di Indonesia (hukum positif) dan berlaku secara nasional.

Sedangkan Ius constituendum adalah hukum yang masih dicita-citakan atau yang diangan-angankan untuk dimasa mendatang. Jika mengacu pada hukum yang satu ini, tentu memerlukan sebuah ide atau pemikiran hukum apa yang akan diterapkan dimasa yang akan datang.

Pertanyaannya, bila demikian bolehkah menawarkan hukum yang bersumber dari Al-quran dan As-sunnah? Jawabannya adalah tentu saja boleh. Mengapa demikian? Islam datang di muka bumi bukan hanya sebatas agama, melainkan juga untuk mengatur kehidupan.

Allah SWT menurunkan Al-quran melalui perantara malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW sebagai aturan, petunjuk dan pemberi peringatan. Apalagi berkaitan dengan penerapan hukum di negeri ini yakni syariah Islam.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-quran,

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49) أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (50)

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik [49]. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?"(QS.Al-maaidah:49-50).

Wallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.