Header Ads


Zulqa’dah Sepanjang Tahun

 
Oleh: Sunarwan Asuhadi (Ketua MASIKA ICMI Orda Wakatobi)


Beberapa hari ini kita memasuki bulan Dzulqa’dah 1442 H. Itu berarti kita telah melewati bulan Syawal dengan segala kemuliaannya.

Tapi, itu tidak berarti di bulan ini tak ada kemuliaannya. Justru banyak peristiwa sejarah ‘didulang’ di bulan ini.

Ini juga tidak berarti ada dikotomi atau diskriminasi pada masing-masing bulan Hijriyah. Sekali lagi tidak. Ini tentang ingatan untuk memudahkan kita mengambil hikmah.

Bulan ini merupakan salah satu dari empat bulan haram atau bulan yang disucikan: Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Setidak-tidaknya ada tiga peristiwa sejarah penting yang terjadi di Makkah pada bulan ini.

Pada bulan ini meninggal Abu Thalib, paman Rasulullah Saw yang senantiasa membela beliau. Abu Thalib adalah sosok ahlul quwwah, yang selalu menyokong dan mendukung dakwah Nabi Muhammad Saw di Makkah.

Keberadaan Abu Thalib membelajarkan kita tentang pentingnya para pendukung dakwah. Bahkan, dari kalangan non muslim sekalipun. Sebagaimana status paman Nabi Muhammad Saw tersebut yang hingga meninggalnya masih berstatus sebagai seorang non muslim.

Peristiwa berikutnya adalah Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah merupakan bentuk upaya diplomasi yang dilakukan Rasulullah SAW sebagai Kepala Negara Darul Islam (Madinah) untuk meredakan ketegangan militer antara umat Islam dengan kaum musyrikin Quraisy.

Perjanjian Hudaibiyah merupakan titik masuk penaklukan kota Makkah oleh kaum muslimin di Madinah.

Kontrak perjanjian ini direncakana berlangsung selama 10 tahun. Dalam perjanjian ini, di antaranya berisi gencatan senjata antara Makkah dengan Madinah selama 10 tahun.

Salah satu poin penting Perjanjian Hudaibiyah adalah jika ada warga Makkah yang menyeberang ke kawasan Madinah tanpa seizin dari walinya, maka akan dikembalikan ke Mekah. Jika ada warga Madinah yang menyeberang kawasan Makkah maka tidak diperbolehkan kembali ke Madinah.

Klausul Perjanjian Hudaibiyah di atas, secara tekstual terkesan merugikan pihak kaum muslimin, bahkan terdengar kuat protes dari sejumlah sahabat atas perjanjian tersebut.

Namun, ternyata pihak kafir Quraisy melanggar perjanjian pasal pertama (gencatan senjata), padahal belum lewat dua tahun sejak penandatanganan perjanjian.

Kabilah Bani Khuza'ah yang merupakan sekutu kaum muslimin dan kabilah Bani Bakr adalah sekutu kafir Quraisy. Pada pertempuran antara dua kabilah tersebut pada tahun ke-8 H/629, orang-orang Quraisy ikut campur membela Bani Bakr dan membunuh orang-orang Bani Khuza'ah. Ini artinya perjanjian telah dilanggar.

Atas kejadian tersebut, Rasulullah Saw segera mendatangi Makkah bersama pasukannya yang berujung pada penaklukan kota Makkah (Fathul Makkah).

Fathul Makkah berlanjut pada pelaksanaan Haji Wada. Kisah Haji Wada bermula ketika Nabi Muhammad SAW berangkat menunaikan ibadah haji bersama dengan istri-istrinya pada akhir tahun 10 Hijriah, 25 Zulqa’dah.

Keberangkatan beliau diikuti oleh 90.000 hingga 114.000 jamaah. Dengan penuh kegembiraan serta keikhlasan hati, mereka berangkat menuju tanah suci.

Terkait ibadah haji, ada perbedaan pendapat tentang kapan haji pertama kali diwajibkan bagi umat Islam.

Kelompok pertama menyebutkan bahwa ibadah haji menjadi kewajiban sejak ke-9 Hijriyah. Kelompok ini mendasarkannya pada QS. Ali-Imran ayat 97 tentang kewajiban menjalankan ibadah haji.

Kelompok Kedua menyatakan bahwa haji diwajibkan sejak tahun ke-6 Hijriyah. Dalilnya merujuk pada QS. Al-Baqarah ayat 196 yang turun pada tahun ke-6 Hijriyah.

Selain itu ada juga pendapat yang menyatakan, jika haji diwajibkan sejak tahun ke-4 Hijriyah. Bahkan, ada yang berpendapat kalau pensyariatan haji terjadi pada tahun ke-10 Hijriyah.

Hanya saja, jauh sebelum umat Islam diwajibkan melaksanakan haji, telah ada umat terdahulu yang juga sudah mengerjakan praktik ibadah haji.

Masyarakat Makkah dan sekitarnya berbondong-bondong menunaikan haji di Ka’bah. Mereka juga menjadikan bulan Dzulqa’dah sebagai salah satu bulan yang suci, selain bulan Rajab, bahkan tidak diperkenankan melakukan perang selama bulan suci tersebut.

Terkait pensyariatan haji sebelum datangnya Islam, bahkan dianggap semakna dengan penamaan bulan Dzulqa’dah sendiri.

Dalam Al Mu'jam Wasith dijelaskan makna Dzulqa’dah dari sisi bahasa Arab. Dzulqa'dah terdiri dari dua kata yaitu kata 'Dzu' yang bermakna sesuatu yang memiliki, sedangkan  'Al Qa'dah' berarti tempat yang diduduki.

Makna di atas relevan dengan apa yang dilakukan oleh orang Arab. Oleh karena pada bulan Dzulqa'dah ini Orang Arab mempunyai kebiasaan tidak bepergian kemana-mana. Mereka pada umumnya duduk di rumah dan tidak melakukan aktivitas keluar apalagi melakukan perjalanan panjang atau peperangan pada bulan ini.

Makna lainnya adalah mereka tidak bepergian kemana-mana dalam rangka menanti datangnya musim haji.

Kondisi ini dapat bermakna: bulan Dzulqa’dah sebagai bulan penantian atau bulan persiapan untuk melaksanakan haji.

Jika keadaan ini kita hubungkan dengan saat ini, maka penantian untuk pelaksanaan haji ini sudah melampui semestinya.

Musim haji ---bahkan pelaksanaan umroh--- terhenti selama dua tahun sejak tahun 2020 dengan alasan wabah corona.

Hanya saja tertundanya pelaksanaan haji dari Indonesia tahun ini, awalnya dibarengi dengan berbagai spekulasi. Mulai dari penundaan akibat dana haji dipakai untuk kebutuhan infrastruktur, ada juga karena alasan kelemahan diplomasi, bahkan ada yang memasukan faktor Habib Rizieq sebagai salah satu penyebabnya.

Terakhir, Arab Saudi telah resmi membatasi kuota Haji 2021 sebanyak 60 ribu jemaah saja, yang terdiri dari warga negara (citizen) dan penduduk (resident) yang ada di dalam negeri.

Faktor COVID-19 menjadi alasan utama pembatasan kuota tersebut --kali ini untuk dua tahun berturut-turut di tengah pandemi global, demikian seperti dikutip dari Arab News, Sabtu (12/6/2021).

Tentu saja, kabar dari Saudi tidak menggugurkan spekulasi terkait penggunaan dana haji, mengingat ada pihak-pihak yang menginginkan perlunya audit investigasi terkait dana haji.

Dengan demikian, pelaksanaan haji dua tahun ini tertunda lagi. Keadaan ini memperpanjang penantian kaum muslimin untuk pelaksanaan haji (termasuk umroh).

Penantian ini laksana memperpanjang bulan Dzulqa’dah. Ibarat Dzulqa’dah sepanjang tahun. []

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.