Header Ads


Menyoal Kapitalisasi Tambang Emas di Kepulauan Sangihe


Oleh: Ninning Anugrawati,ST. MT. (Dosen Non PNS UHO)


Kepulauan Sangihe belakangan ini ramai diperbincangkan, setelah rencana kegiatan operasi produksi penambangan emas yang akan dilaksanakan oleh perusahaan PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Perusahaan dari Kanada tersebut telah mengantongi izin lingkungan dan izin produksi pertambangan seluas 42.000 hektar atau lebih dari setengah luas kepulauan Sangihe selama 33 tahun. 


Kepulauan Sangihe merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia.  Kabupaten ini memiliki luas wilayah 736,98 kilometer persegi, dan pada tahun 2020 berpenduduk sebanyak 139.262 jiwa. Kabupaten Kepulauan Sangihe terletak diantara Pulau Sulawesi dengan Pulau Mindanao, Filipina, serta berada di bibir Samudera Pasifik. 


Kekayaan bahan galian tambang yang terdapat di Kepulauan Sangihe bermula dari keterdapatan sederet gunung api yang berada di sebelah utara Pulau Sulawesi, jalur gunung api tersebut menerus hingga ke negara Filipina. Kehadiran batuan gunung api berkomposisi andesit dan diorit di pulau ini menunjukkan adanya potensi sumber daya mineral. Beberapa sumber daya mineral logam yang telah diidentifikasi antara lain emas, perak, besi, tembaga, timbal dan seng, serta mineral sulfida (pirit dan kalkopirit) dan hematite. 


PT Tambang Mas Sangihe merupakan perusahaan patungan yang terdiri dari empat pihak dengan pembagian saham mayoritas 70% dimiliki oleh  Sangihe Gold Corporation, korporasi tambang asal Kanada, 30% kepemilikan sisanya diambil oleh perusahaan lokal. Dimana PT Sangihe Prima Mineral 11%, PT Sungai Belayan Sejati 10%, dan PT Sangihe Pratama Mineral 9%. PT Tambang Mas Sangihe merupakan pemegang kontrak karya generasi VI dengan pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1997, kemudian menaikkan tahap eksplorasi menjadi tahap operasi produksi pada Januari 2021 setelah Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral mengeluarkan perizinan tersebut.


Persekongkolan Penguasa dan Para Kapitalis

Berbagai pihak menilai terdapat beberapa ketimpangan dalam pemberian izin operasi produksi terhadap PT Tambang Mas Sangihe diantaranya status perizinan kontrak karya (KK) yang seharusnya telah diubah bahkan sudah tidak diberlakukan lagi diganti dengan izin usaha pertambangan Khusus (IUPK) setelah satu tahun diberlakukannya undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Minerba, hal tersebut tercantum pada pasal 169 undang-undang tersebut. 


Status kontrak karya yang diberikan pada PT Tambang Mas Sangihe menjadikan posisinya sejajar dengan Negara. Sebab kontrak karya diterbitkan atas kesepakatan dua pihak yang berkontrak, status kontrak karya menjadikan PT Tambang Mas Sangihe memiliki beberapa perlakuan istimewa yang tidak bisa diganggu gugat oleh Negara, kontrak harus dihormati sampai waktu habis. Sedangkan Izin Usaha Pertambangan Khusus adalah izin yang dikeluarkan pemerintah untuk perusahaan tambang, artinya, kedudukan negara lebih tinggi dari perusahaan, Negara bisa mencabut izin usaha pertambangan suatu perusahaan, jika dianggap merugikan Negara. 


Dalam masalah fiskal setiap  perusahaan tambang dikenakan royalti, iuran tetap, dan pajak dimana perusahaan pemegang kontrak karya dalam masalah fiskal tersebut sifatnya tetap sepanjang waktu kontrak. Dari sisi luas wilayah, kontrak karya dibebaskan untuk memiliki luas wilayah pertambangan. Sedangkan izin usaha pertambangan, hanya diperbolehkan seluas 25.000 hektar. 


Saat ini, luas wilayah pertambangan yang diberikan pada PT Tambang Mas Sangihe seluas 42.000 hektar atau lebih dari setengah luas kepulauan Sangihe yang kelak akan mereka lakukan kegiatan penambangan selama 33 tahun bahkan dapat diperpanjang. Seolah pemerintah tidak belajar dari kasus PT Freeport yang banyak merugikan Indonesia, dimana Negara tidak mendapatkan manfaat signifikan dari potensi ekonomi dengan keberadaan tambang emas yang ada di Papua, menyisahkan dampak lingkungan yang besar. 


Aneh saja jika pemerintah berusaha menertibkan PT Freeport khususnya dari segi penerimaan Negara karena selama ini dinilai terlalu kecil sehingga mengubah skema kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus. Sementara disisi lain tidak memberlakukan yang demikian pada PT Tambang Mas Sangihe.


Kegiatan operasi produksi penambangan emas yang akan dilakukan oleh PT Tambang Mas Sangihe juga mendobrak Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dimana pada Pasal 26A dinyatakan bahwa “Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri’. Hal tersebut belum terpenuhi. Sekalipun pihak perusahaan mengklaim bahwa berada dibawah pedoman lingkungan yang sangat ketat dan telah memperoleh izin lingkungan, namun kemungkinan besar akan berbeda pada tataran pelaksanaannya saat operasi penambangan berlangsung mengingat dalam Izin Lingkungan disebutkan bahwa PT Tambang Mas Sangihe dapat melakukan kegiatan penambangan hanya seluas 65,48 Hektar, namun wilayah izin usaha pertambangan yang diberikan seluas 42.000 hektar, tindakan seperti ini menunjukkan ketidak pedulian pemerintah terhadap dampak lingkungan yang besar kemungkinan akan terjadi disepanjang kegiatan penambangan, mengingat Kepulauan Sangihe yang masuk kategori pulau kecil, bahkan status perusahaan sebagai perusahaan kontrak karya dapat menggarap hutan lindung yang pada dasarnya tidak boleh terdapat aktivitas diatas kawasan tersebut. 


Pihak perusahaan mengklaim bahwa keberadaan tambang ilegallah yang selama ini merusak lingkungan disana, keberadaan tambang ilegal sudah ada sebelum masuknya PT Tambang Mas Sangihe. Keberadaan tambang ilegal dan PT Tambang Mas Sangihe di Kepulauan Sangihe, merupakan dua masalah yang berbeda namun keduanya wajib mendapat perhatian dan tidakan tegas oleh pemerintah sebagai pemegang kebijakan, jika kepentingan bangsa khususnya kesejahteraan rakyat benar-benar menjadi prioritas. 


Dari sisi teknis penambangan, Negara bukannya tidak paham mengenai kaidah penambangan yang baik, aturan yang dibuat dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1827 K/30/MEM/2018 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Penambangan Yang Baik, telah sangat rinci dijelaskan bagaimana kaidah pelaksanaan kegiatan penambangan yang baik dan benar, yang wajib diterapkan dalam sebuah aktivitas penambangan, sehingga perusahaan tidak hanya mengejar profit dari kegiatan penambangan suatu bahan galian logam maupun non logam, yang berdampak negatif pada lingkungan dan sosial masyarakat setempat khususnya. 


Namun apalah guna sebuah aturan dibuat jika pada akhirnya dilanggar demi mengikuti keinginan para kapitalis, ini merupakan bentuk penghianatan pemerintah terhadap rakyat. 


Pengelolaan Bahan galian Tambang dalam Islam

Sebagai seorang muslim tentunya kita meyakini bahwa segala kekayaan alam yang terdapat di bumi ini merupakan ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia tidak hanya menciptakan tetapi juga menurunkan segenap aturan dalam mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam tersebut, manusia juga dibekali akal oleh-Nya, dengan akal tersebut manusia dapat membedakan sesuatu yang baik dan buruk. 


Dalam Islam bahan galian tambang yang jumlahnya melimpah baik logam maupun non logam merupakan kepimilikan umum yang mesti dikelolah oleh pihak Negara, hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). Haram dimiliki oleh individu terlebih lagi oleh pihak asing: Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah). Dari sisi teknis, kegiatan penambangan pastilah mengubah bentang alam, namun kerusakan yang besar pada lingkungan dapat dicegah dengan memperhatikan kaidah penambangan yang baik, sebab dalam islam dorongan seseorang melakukan perbuatan adalah untuk meraih ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan profit yang sebesar-besarnya. 


Eksploitasi yang tidak memperhatiakan kaidah penambangan yang baik tentunya akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan hal tersebut hukumnya haram: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (Al a’raf:56). Alhasil, mari kita bersegera menjalankan semua ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan berusaha mengadakan sebuah institusi yang menjamin hal tersebut.(**)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.