Amandemen
Oleh: Abu Syah Jihad FS*)
SEKRETARIS Jenderal (Sekjen) Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) Habib Aboe Bakar Al-Habsy menegaskan rencana Amendemen
Konstitusi UUD 1945 yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini tidaklah tepat.
Pasalnya,rakyat sedang menghadapi duka dan kesusahan.
“Banyak rakyat yang ditinggal wafat
sanak saudara, banyak juga yang sedang berjuang melawan Covid-19, belum lagi
banyak sekali yang berjuang bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi,” ujar
Habib Aboe dalam keterangan tertulisnya pada JawaPos.com, Rabu (18/8).
Menurut Habib Aboe, jika saat ini
dipaksa melakukan amendemen UUD 1945, maka hal ini menunjukan bahwa seolah
parlemen tidak peka dengan situasi ini, apalagi ketika yang dibahas adalah
penambahan masa jabatan presiden.
“Jika dipaksakan rakyat tentu akan
melihat ada pihak yang lebih mementingkan kekuasaan dari pada nasib rakyat,”
kata Habib Aboe.
Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)
DPR itu juga menegaskan, pada situasi seperti saat ini, seharusnya semua elemen
bangsa saat ini fokus dan berupaya untuk menangani pandemi. Baik dalam layanan
kesehatan untuk mengurangi risiko kematian akibat Covid-19, maupun dalam upaya
pemulihan ekonomi agar rakyat bisa makan dan bertahan hidup ditengah PPKM.
“Dari pada membahas amendemen UUD 1945,
lebih urgen jika saat ini kita menyiapkan roadmap jangka panjang penanganan
Covid-19. Karena kita pahami, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.
Jadi tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatan rakyat, ini harus kita
pegang teguh,” ujarnya.
Ia juga menilai, road map jangka
panjang Indonesia dalam menangani Covid-19 ini sangat diperlukan agar kebijakan
dalam pandemi ini jelas peta jalannya. Jangan sampai rakyat melihat penanganan
pandemi hanya berganti ganti nama saja tanpa orientasi yang jelas.
“Karenanya keberadaan roadmap jangka
panjang penanganan pandemi merupakan kebutuhan mendesak saat ini,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Fraksi PAN DPR,
Saleh Partaonan Daulay menilai amendemen UUD 1945 adalah pekerjaan tidak mudah
karena perubahan pasal-pasal di dalam konstitusi akan berimplikasi luas dalam
sistem ketatanegaraan dan bukan untuk tujuan politik sesaat.
Karena itu menurut dia, sebelum “pintu”
amandemen dibuka, sebaiknya seluruh kekuatan politik, masyarakat sipil,
akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan berbagai elemen lainnya harus
dapat merumuskan agenda dan batasan amendemen itu.
“Konstitusi adalah milik seluruh
rakyat, dan perubahan terhadap konstitusi sebaiknya didasarkan atas aspirasi
dan keinginan rakyat. Perubahan itu pun tidak boleh hanya demi tujuan politik
sesaat,” kata dia, di Jakarta, Rabu, (18/7).
Saleh menilai, agar agenda amandemen
tersebut fokus dan terarah, perlu dilakukan pemetaan terhadap pokok-pokok dan
isu yang akan diubah. Sebab menurutnya, sebelum pintu amendemen dibuka, harus
ada kesepakatan semua fraksi dan kelompok DPD di MPR terhadap peta perubahan
yang diajukan agar tidak ada kekhawatiran bahwa amendemen akan melebar kepada
isu-isu lain di luar yang telah disepakati.
“Sekarang ini, amandemen UUD 1945 disebut
sebagai amandemen terbatas, apa yang membatasinya? Itu tadi kesepakatan politik
antar-fraksi dan kelompok DPD yang ada di MPR sehingga agar lebih akomodatif,
semua elemen di luar MPR juga perlu didengar dan dilibatkan,” ujarnya.
Saleh menilai, secara teknis
pelaksanaan amendemen juga tidak mudah karena dalam pasal 37 UUD 1945
disebutkan pengajuan perubahan pasal-pasal baru dapat diagendakan apabila
diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Menurut dia, untuk mengubah
pasal-pasal, sidang harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR, dan putusan
untuk mengubah pasal-pasal hanya dapat dilakukan dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 50 persen plus satu dari seluruh anggota MPR.
“Selain berbagai kepentingan politik
yang mengelilinginya, persoalan teknis ini juga diyakini menjadi alasan mengapa
amandemen sulit dilaksanakan,” katanya.
Padahal menurut dia, pada era MPR
periode 2009-2014, isu amandemen sempat menguat atas usulan DPD dan wacana itu
berlanjut pada periode 2014-2019.
Ia juga mengatakan, MPR periode
2014-2019, isu-isu yang akan dibahas dan diangkat sudah dirumuskan, namun,
amandemen tersebut belum bisa dilaksanakan.
“Apabila hari ini amandemen UUD 1945
diagendakan lagi, maka kesulitan yang sama tetap akan ada, ditambah lagi, Indonesia
sedang fokus menghadapi pandemi. Tentu akan ada persoalan ‘kepatutan’ jika
melakukan amandemen di tengah situasi seperti ini,” ujarnya.
Ketua DPP PAN itu menilai kalau
amendemen UUD 1945 belum siap maka sebaiknya ditahan dulu, dan lakukan dulu kajian
lebih komprehensif karena pengkajian itu dapat dianggap sebagai bagian dari
proses amendemen.
Melihat perdebatan seputar amandeman
UUD 1945 yang kental dengan kepentingan politik pragmatis, sudah saatnya kita
kembali ke aturan Allah SWT. Aturan dari Sang Pencipta yang pasti sejalan
dengan citaannya.
Renungkan Firman Allah dalam Surat
Al-Maidah ayat 50:
Apakah hukum Jahiliah yang mereka
kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin?
Akibat kita tidak berhukum pada
ketentuan Allah, kehidupan penuh dengan kesempitan.
Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku,
maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan
mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.(TQS Taha ayat 124).
Disaat utang menggunung, rakyat
kelaparan, dan meregang nyawa karena menghadapi pandemi COvid-19, justru yang
dipelototi politikus hanya soal jabatan. Entah pelajaran seperti apa lagi yang
mesti diberikan Allah kepada mereka agar bisa kembali kepada Allah dan
Rasul-Nya.
Regulasi-Nya niscaya membuat manusia
sejahtera di dunia, dan meninggal masuk surga. Aturan yang sesuai dengan fitrah
manusia. Memuaskan akal dan menentramkan hati.(**)
*)Khadim Majelis Nafsiyah Islamiyah
(MNI) Kepulauan Buton (Kepton)
Post a Comment