Header Ads


Menyelesaikan Sengkarut Persoalan Ahmadiyah


Oleh : Mutia Rilli
(Relawan Opini Wakatobi)


Konflik antarwarga terjadi lagi, kali ini kembali bersinggungan dengan ahmadiyah. perusakan Masjid Miftahul Huda  bangunan milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Balai Gana, Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Jumat 3/9/2021. Sekretaris Pers dan Juru Bicara Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana mengatakan, pembakaran dan pengrusakan Masjid dilakukan oleh kurang lebih 130 orang yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Aliansi Umat Islam (cnnindonesia.com, 4/9/2021).

Merespon  peristiwa ini  Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah sama-sama mendesak kepada aparat keamanan untuk menindak tegas pihak-pihak yang telah melakukan pengrusakan.

Sekretaris Jendral PBNU, Helmy Faishal Zaini meminta kepada semua pihak untuk menghormati hukum dan aturan perundang-undangan yang ada di Indonesia menyikapi perusakan tersebut. Dia meminta masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi. PBNU, kata dia, senantiasa mengajak masyarakat mengedepankan prasangka baik unuk membangun kebersamaan yang baik. “Mari bangun dialog antar umat beragama, atau antar mazhab, agar kita senantiasa dapat hidup dalam satu ikatan kewarganegaraan sehingga kita dapat menyelesaikan persoalan ini dengan baik,” ujarnya (Republika.co.id, 05/09/2021).

Dia juga meminta aparat keamanan untuk mengusut dan menindak tegas seluruh oknum yang menyebabkan kerusakan Masjid Ahmadiyah, dan mengajak seluruh warga Indonesia untuk bersama menciptakan Indonesia yang lebih baik. “Mari terus mejaga kesatuan bangsa dan bergandengan tangan untuk menciptakan indonesia yang lebih baik,” pungkasnya. (Republika.co.id, 05/09/2021). 

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti menilai tindakan perusakan tempat ibadah milik Ahmadiyah tergolong perbuatan kriminal. "Apapun alasannya, pengerusakan fasilitas ibadah merupakan perbuatan kriminal yang pelakunya harus ditindak sesuai hukum yang berlaku," ucap Abdul dalam keterangan resminya, (cnnindonesia.com, 5/9/2021).

Meski demikian, Abdul menyayangkan sikap aparatur keamanan yang terkesan melakukan pembiaran atas peristiwa tersebut. Ia meminta kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, khususnya aparatur keamanan lebih pro aktif dan tegas dalam menegakkan aturan hukum. ''Harus melindungi, dan menjamin keamanan masyarakat dalam melaksanakan ibadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing," harap Abdul. (cnnindonesia.com, 5/9/2021).

Masalah ahmadiyah adalah konflik sosial akibat provokasi kelompok sesat yang eksis di tengah muslim.  Persoalan ini bukan kali pertama terjadi di indonesia, di lombok pada mei 2018 peristiwa yang sama terjadi, menyusul peristiwa yang telah terjadi di tahun-tahun sebelumnya di tempat yang  berbeda.

Berlarut dan berkelanjutannya persoalan ini memberikan dampak bukan hanya pada penganut ahmadiyah saja. Umat islam pun terkena dampak nya, potensi konflik terbuka seiring dengan tidak tuntasnya persoalan ini di tangani. Warga memandang seolah tidak ada keseriusan dalam penyelesaian yang dilakukan oleh negara dan pemerintah. Ketidak puasan masyarakat menjadi pemantik mereka menempuh cara mereka sendiri, sebagaimana keterangan yang di sampaikan Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes Donny Charles Go mengatakan perusakan itu dipicu oleh kekecewaan massa yang tidak terima karena Pemerintah Kabupaten Sintang hanya menghentikan kegiatan di masjid itu (cnnindonesia.com, 5/9/2021).

Pangkal masalah ini adalah tiadanya upaya maksimal negara untuk menghilangkan eksistensi aliran sesat di tengah masyarakat.  Regulasi tentang penyikapan aliran sesat dan penyikapan ahmadiyah dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor : 3 Tahun 2008 Tentang Peringatan Dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, Dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dan Warga Masyarakat, belum cukup tegas memuat keputusan tentang penyikapan terhadap JAI.

Negara tidak mampu tuntas menangani aliran sesat karena adopsi terhadap nilai liberalisme, HAM dan antidiskriminasi. Setidaknya inilah yang kemudian akan terlintas di benak. Liberalisme, HAM dan anti diskriminasi sebagai nilai agung dalam pandangan hidup sekularisme memberikan ruang tanpa batas bagi kebebasan berkeyakinan, memberikan jaminan bagi setiap individu berkeyakinan atau tidak berkeyakinan. Sehingga wajar jika kemudian sulit menyelesaikan persoalan JAI yang terus terjadi di indonesia.

Langkah persuasif sebagai solusi penyelesaian yang selama ini telah dijalankan masih belum mampu menuntaskan persoalan ini. Perlunya ada langkah yang jadi solusi efektif guna meredam sekaligus menghindari potensi dan dampak yang bisa terjadi pada warga masyarakat (termasuk penganut ahmadiyah).

Solusinya bukanlah dengan meningkatkan toleransi antarwarga karena Islam mengharamkan toleransi terhadap kesesatan. Solusinya adalah dengan menegaskan kriteria aliran yang sesat, menurut standar yang tepat berdasarkan alquran dan hadits.
Perkara iman adalah perkara dasar yang krusial dalam pandangan islam, di dalamnya harus tegak atas kepastian mutlak, tidak memberikan ruang bagi adanya keraguan bahkan meskipun hanya 0,01 persen. Tegas memberikan batasan iman pada 6 rukun iman, penyimpangan dari satu aspek saja dipandang sebagai cacat dalam keimanan bahkan kekafiran.

Iman (aqidah) dalam Islam merupakan perkara yang harus dipelihara kejernihan dan kemurniaannya oleh negara, sebagai bentuk penjagaan atas keyakinan umat. Motivasi dan spirit ini seharusnya cukup menjadi pendorong negara memperhatikan penanganan persoalan ahmadiyah guna menyelesaiakan secara paripurna hingga keakar masalah.

Wallahu’alam bishawab

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.