Header Ads


Ledakan Global Kasus Covid-19 Kembali Membayangi, Mengapa Tak Kunjung Tuntas?

 

Oleh: Wa Ode Rahmawati (Pemerhati Sosial)

 

Hingga saat ini, kasus Covid-19 masih ada di tengah-tengah masyarakat dan telah menelan banyak korban jiwa, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain. Untuk saat ini, kasus Covid-19 di Indonesia tengah melandai, per Senin (18/10/2021), kasus aktif Covid-19 tercatat 17.374 dengan tambahan baru 625 kasus. Angka ini turun signifikan dibanding ketika gelombang II menyerang di Juli 2021. (cnbcindonesia. com, 19/10/2021)

 

Meskipun demikian, Indonesia harus tetap waspada, sebab diduga akan ada gelombang  III Covid-19 yang bisa menyerang negeri ini kapanpun. Sebagaimana di beberapa negara di dunia seperti China, Rusia, Ukraina dan lain-lain yang kembali terjadi lonjakan kasus Covid-19 secara drastis.

 

Di China telah ditemukan hampir 200 kasus Covid-19 lokal dalam seminggu terakhir. Akibatnya China mengunci tiga kota,, salah satunya Kota Eijin di Provinsi Mongolia. Rusia juga melaporkan rekor tertinggi tujuh hari rata-rata lebih dari 35.800 kasus baru pada hari Selasa, atau 10% lebih tinggi dari minggu sebelumnya. Ukraina juga mengalami kenaikan 43% dalam rata-rata kasus per minggu bila dibandingkan dengan minggu sebelumnya.

 

Sementara angka kasus Covid-19 di Inggris mencapai rekor baru penambahan kasus tertinggi sejak Juli 2021. Berdasarkan data resmi pemerintah, tercatat lebih dari 40 ribu kasus dilaporkan per Minggu (17/10/2021). Selain melaporkan 45.140 kasus baru Covid-19, ada 57 orang di antaranya yang meninggal dunia usai 28 hari dinyatakan positif.

 

Meski negara Indonesia saat ini tengah melandai, akan tetapi gelombang ketiga Covid-19 tetap berpotensi terjadi. Hal ini diperkirakan akan terjadi diakhir Desember 2021 jika banyak pelonggaran aktivitas yang tidak disertai dengan protokol kesehatan dan skrining ketat.

 

Panel Ahli Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait Covid-19, Dicky Budiman mengungkap alasan Indonesia masih berpotensi mengalami gelombang selanjutnya. Menurutnya, berbicara setiap gelombang tentu multifaktor, dengan yang utama adalah adanya kelompok masyarakat yang rawan, belum memiliki imunitas atau belum divaksinasi. Meski lembaga AS (IHME) memprediksi sekitar 80 juta penduduk Indonesia yang terinfeksi, ditambah dengan yang sudah melakukan vaksinasi sekitar 40 atau 50 persen, tetap ada 50 persen penduduk Indonesia yang terkategori rawan Covid-19.

 

Dengan kondisi ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 masih jauh dari selesai. Terlebih lagi, WHO telah menemukan Delta Plus di 42 negara, dimana varian ini bisa saja bermutasi cepat di musim dingin. (Makassar.terkini.id, 31/10/2021)

 

Adanya ledakan kasus Covid-19 secara global membuktikan bahwa WHO yang menjadi rujukan dunia dalam penanganan pandemi masih belum berhasil mencegah dan mengendalikan wabah dalam dua tahun berjalan. Termasuk negeri ini yang kebijakannya terbukti jauh dari solutif menuntaskan pandemi Covid-19. Sebab, sejak awal hingga kini kebijakan yang dikeluarkan tidak juga menyentuh akar masalah. Seperti, kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat yang inkonsistensi, artinya terjadi pelonggaran beberapa aktivitas publik pada saat yang bersamaan. Hal ini menyebabkan penularan dan penyebaran virus Covid-19 sangat mengkin terjadi.

 

Pasalnya, langkah tersebut dilakukan tidak lain agar roda perekonomian tetap berjalan. Padahal jika mau jujur perekonomian juga tak kunjung menunjukkan kendisi perbaikan, justru semakin terpuruk. Lebih lanjut akibatnya tidak main-main, nyawa manusia terus berjatuhan, nasib masyarakat belum menentu, kelaparan dimana-mana, kemiskinan masih tinggi dan sebagainya.

 

            Adapun terkait pelaksanaan program vaksinasi yang semakin masif, di satu sisi memang solutif untuk untuk membentuk kekebalan masyarakat, namun di sisi yang lain belum cukup untuk menekan penyebaran virus Covid-19. Mengingat, pada waktu yang bersamaan pula protokol kesehatan (prokes) berupa penerapan 3T sudah mulai kendor, pengawasan prokes di sejumlah tempat juga melemah sehingga keniscayaan jika terjadi ledakan Covid-19 di negeri ini. Berkaca pada pada beberapa negara Eropa dengan cakupan vaksinasi relatif tinggi, seperti Inggris, AS dan lainnya, saat ini pun tengah berjuang kembali dengan Covid-19 varian Delta.

 

Inilah kehidupan tatkala penanganan pandemi berorientasi pada pandangan kapitalistik, dimana takaran untung rugi materi lebih berharga daripada pertimbangan kesehatan jutaan manusia. Andai saja negeri ini secara khusus, serius, sejak awal atau sebelum terlambat mengambil tindakan terbaik tanpa embel-embel perekonomian, investasi dan semacamnya, tentu situasinya tidak akan kompleks sebagaimana saat ini. Rakyat tidak akan merasakan kesengsaraan perkepanjangan, pandemi dapat teratasi dengan tepat dan cepat Namun, harapan itu biarkah menjadi angan lagi dan lagi, sebab pada dasarnya pengamalan pengurusan berdasar kapitalisme memang senantiasa menjadikan rakyat sebagai korban atas kepentingan mereka dalam setiap kesempatan.

 

Berbeda dengan kehidupan Islam yang senantiasa bersandar pada wahyu dalam mengambil segala tindakan guna mendapatkan solusi yang terbaik. Islam menempatkan penyelamatan nyawa lebih utama daripada kepentingan ekonomi dari sosok pemimpin yang dibebankan Allah kepadanya perlindungan umatnya. Sebagaimana Rasulullah  SAW  pernah  bersabda:Seorang imam (kepala negara) itu bagaikan perisai, tempat kaum Muslim berperang dan berlindung di belakangnya.” (HR Muslim).

 

Ketika perintah ini dipahami dan menjadi standar di masyarakat, maka akan terjadi sinergi yang luar biasa. Dengan begitu, masyarakat Muslim selalu menjadi masyarakat yang terjaga hak-haknya oleh Negara, begitupun rakyat akan senantiasa patuh terhadap titah pemimpin yang dipandangnya tepat menjadi panutan.

 

Adapun kasus Covid-19, mestinya pemimpin sejak awal mengambil langkah lockdown dalam mencegah penyebarannya. Sebagaimana hadist Rasululah SAW: “Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri, maka jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di daerah itu, janganlah kalian keluar untuk lari darinya,” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Di zaman Islam, kasus ini serupa dengan fenomena wabah kolera di Syam, saat itu di bawah kepemipinan Umar bin Khatthab memutuskan untuk tidak ke Syam dan kembali ke Madinah. Meski tidak terjadi di Madinah, Amirul Mukminin Umar tidak meremehkah keberadaan wabah tersebut, sehingga melakukan karantina wilayah di tempat terjadinya wabah. Begitulah gambaran sosok pemimpin negara yang memiliki pandangan luas terhadap urusan dunia dan menyelamatkan nyawa kaum Muslimin. Sehingga, kebaikan melingkupi kehidupan umat, dan umat pun merasakan keamanan yang terbaik.

 

Maka jelas untuk mengatasi Covid-19 ini, selain dibutuhkan pemimpin yang taat dan tegas, juga dibutuhkan sistem kehidupan yang benar yakni sistem Islam yang menempatkan syariat Islam secara sempurna sebagai solusi atas semua masalah, termasuk wabah Covid-19. Saat ini kita membutuhkan pemimpin yang taat, teladan, tegas guna menghadirkan solusi solutif bagi persoalan wabah yang faktanya tak kunjung usai jika berdasar pada solusi kapitalisme. Maka, dakwah digencarkan untuk menyadarkan umat akan kerusakan kapitalisme, kemudian kembali kepada Islam secara total. Wallahu a’lam bi shawwab(*)

 

 

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.