Header Ads


Makin Menjerat, Mengapa Layanan Pinjol Kian Menjamur?

 


Oleh : Teti Ummu Alif

(Pemerhati Masalah Publik)

 

Praktik pinjaman online atau pinjol ilegal yang tidak berizin masih terus mengancam masyarakat Indonesia. Olehnya, Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra) mengimbau agar masyarakat berhati-hati terkait pinjaman online (pinjol) ilegal yang sedang marak di tanah air termasuk di Sultra. Kasubbid Penmas Polda Sultra Kompol Dolfi Kumaseh meminta agar masyarakat menggunakan jasa pinjaman resmi yang sudah jelas keberadaannya, terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (ZonaSultra.com 28/10/2021).

 

Perusahaan atau penyedia pinjaman online ilegal tumbuh subur. Terus berkembang nyaris sulit diberantas. Sebab, belum ada payung hukum menjerat mereka. Pelaku yang dihadapkan pada hukum saat ini, dijerat karena proses penagihan kasar dan bernada ancaman, pencemaran nama baik dan pelanggaran UU Transaksi Elektronik atau ITE. Bukan karena praktik pinjaman online ilegal. Hal ini ditegaskan  Dirtipideksus Mabes Polri Brigjen Helmi Santika. Ia mengatakan polisi baru turun tangan di kasus pinjol jika sudah masuk ranah pidana. Seperti adanya pengancaman dan penipuan. Hingga Agustus 2021, sebanyak 250 laporan masuk terkait pinjol ilegal (Merdeka.com 31/08/2021).

 

Keberadaan Pinjol illegal memang makin meresahkan. Layanan ini menjerat masyarakat dengan bunga yang tinggi serta menagih dengan cara-cara intimidatif yang mengakibatkan tekanan psikis dan depresi hingga ada yang bunuh diri. Namun, di tengah ekonomi sulit akibat pandemi pinjol sering jadi cara tercepat masyarakat agar mudah mendapatkan pinjaman untuk memenuhi kebutuhannya. Masyarakat mudah tergiur dengan berbagai tawaran, seperti cepatnya proses pengajuan pinjaman, persyaratan mudah dan tidak berbelit-belit, dana bisa cair secepat kilat, tenor singkat, serta tidak adanya kewajiban memberi agunan.

 

Padahal, tanpa disadari ada bahaya besar mengintai nasabah. Bunga yang ditetapkan perusahaan pinjol sangatlah besar. Pada perusahaan fintech yang resmi terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saja, bunga pinjaman bisa mencapai 0,8% per hari atau 24% per bulan. Sedangkan pada perusahaan fintech yang ilegal, bunganya bisa mencapai 30% per bulan. Selain bunga, biaya administrasi dan denda keterlambatan juga sangat besar. Ngerinya, sistem bunga berbunga menjadikan jumlah pinjaman yang harus dibayar begitu cepat membengkak hanya dalam hitungan hari.

 

Sebenarnya, banyaknya masyarakat yang terjerat pinjol bukan semata disebabkan faktor individu, tetapi juga kondisi ekonomi negara yang kian sulit. Perekonomian Indonesia kian terpuruk. Apalagi sejak pandemi Covid-19 melanda, negeri ini terus terperosok dalam jurang resesi. Harga berbagai barang kebutuhan pokok terkerek naik. Sebaliknya, pekerjaan makin sulit, PHK besar-besaran terjadi di mana-mana. Sementara itu, bukannya membantu rakyat dari jerat kemiskinan, pemerintah justru menambah beban rakyat dengan berbagai pajak. Lengkap sudah penderitaan rakyat.

 

Sungguh Mahabenar Allah Swt. yang telah mengharamkan riba. Riba telah memunculkan malapetaka, baik pada individu, masyarakat, maupun negara. Hanya segelintir pihak yang diuntungkan praktik riba, yaitu para pengusaha yang menikmati keuntungan dari bisnis ini. Ironisnya, praktik riba ini dibiarkan dan bahkan dilegalkan oleh negara. Ketika banyak masyarakat yang terjerat pinjol, OJK hanya memberikan imbauan. Sementara di luar sana pinjol ilegal marak dan bebas mencari mangsa tanpa ada sanksi yang menjerakan.

 

Inilah konsekuensi hidup dalam sistem yang tegak di atas landasan sekularisme. Negara tampak tak peduli bahwa sejatinya, pinjol legal dan ilegal keduanya sama-sama haram. Karena meski tersemat label “legal”, transaksi pinjol hakikatnya adalah praktik ribawi yang dosanya amat besar.

 

Sudah saatnya, masyarakat butuh Negara yang bertanggung jawab memberikan pendidikan kepada masyarakat, serta membangun kesadaran kolektif akan keharaman riba dan bahayanya bagi kehidupan. Pintu kebodohan masyarakat terhadap syariat tentang riba mesti tertutup rapat. Demikian juga segala akses menuju riba.

 

Sistem perbankan dan lembaga finansial lain yang bertentangan dengan syariat tidak boleh tumbuh dan berkembang di wilayah negara Islam, baik didirikan warga negara Islam maupun asing. Sebagai negara yang berdaulat penuh, negara penerap syariat kafah tidak boleh tunduk terhadap dikte ekonomi dan politik negara lain.

 

Adapun jika masyarakat membutuhkan dana untuk kegiatan produktif, akan ada Baitulmal yang memiliki pos kepemilikan daulah untuk memberikan pinjaman tanpa riba. Bahkan, sangat mungkin Baitulmal memberikan dana tanpa menuntut pengembalian dari masyarakat. Sedangkan, kebutuhan warga negara fakir miskin akan terpenuhi dari pos zakat dan pemasukan lainnya. Untuk kebutuhan dana pendidikan, kesehatan, keamanan, negara langsung memenuhinya dengan menyediakan sarana dan prasarana terbaik dan gratis. Wallahu a'lam bisshowwab(***).

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.