Header Ads


Narasi Radikalisme, Upaya Memalingkan Realitas Kedaulatan Negeri Yang Tergadai

 

Oleh : Yusra Ummu Izzah (Pendidik Generasi)

 

Beberapa hari ini, kembali publik dibuat heboh dengan beredarnya List nama-nama penceramah yang masuk kategori radikal. Entah siapa yang awalnya menyebarkan, namun list keluar tidak lama setelah Presiden Jokowi memberikan arahan terkait program disiplin nasional di hadapan pejabat militer dan Polri. Menyusul kemudian BNPT mengeluarkan lima indikator/ciri penceramah radikal yang patut diwaspada. (kompas.com, 1/3/2022).


Imbas dari beredarnya List nama-nama tersebut, sudah ada beberapa penceramah yang dicoret dari tempat biasa mereka berceramah, isu ini hoax atau fakta? Framingkah atau apa? Yang menjadi pertanyaan besar Mengapa isu radikalisme terus digaungkan?

 

Apa apa dengan Negeri ini?

Isu radikalisme sepertinya tidak habis-habis rezim dengungkan. Seolah-olah radikalisme adalah masalah utama negara. Permasalahan ini seolah lebih penting daripada kisruh minyak goreng yang mahal dan langka, korupsi yang merajalela, tahu tempe yang sempat hilang di pasaran, wabah yang tidak kunjung sirna, ekonomi yang masih seret, JHT yang ditahan, gaduh soal azan diserupakan gonggongan anjing, dan aneka persoalan negara yang tidak kunjung mendapatkan solusi.

Wajar kemudian kalau rakyat terus bertanya, ada apa dengan negeri ini? Karena ada ketidaksinkronan antara masalah yang dihadapi rakyat dengan isu yang dibahas penguasa. Ketika rakyat kelaparan karena kebutuhan pangan serba mahal, sementara lapangan pekerjaan susah didapatkan, ternyata pemerintah sibuk dengan topik bahasannya sendiri. Radikalismelah, ekstremisme, proyek prestisius, dan rencana pindah ibu kota negara.

Sepertinya hati rakyat dan penguasa sudah tidak “nyambung”, atau jika menggunakan istilah anak muda, tidak ada chemistry di antara keduanya. Persis seperti kondisi rumah tangga, ketika istri dan anak mengeluh kelaparan karena tidak ada makanan, sementara sang suami sibuk membahas pindah rumah dan ancaman serangan yang tidak jelas.

Akibatnya, persoalan tidak terselesaikan, berlarut-larut, dan memunculkan masalah turunan. Seperti kisruh minyak goreng yang berawal dari ketundukan pada para kapitalis sehingga harga melejit, lantas memunculkan masalah baru yaitu penimbunan dan panic buying sehingga operasi pasar tidak lagi solutif. Masalah minyak goreng pun tidak kunjung usai, sementara penguasanya sibuk membahas radikalisme.

Inilah gambaran hubungan rakyat dan penguasa dalam sistem kapitalisme. Rakyat harus banting tulang memenuhi kebutuhannya sendiri, sementara penguasa sibuk dengan urusannya sendiri. Tidak terwujud aspek riayah, yaitu penguasa melayani rakyat dengan memenuhi kebutuhan mereka secara makruf (optimal). Riayah penguasa justru dialamatkan pada segelintir pengusaha kapitalis yang telah melicinkan jalan mereka menjadi penguasa, dengan lembaran rupiah, pada masa kontestasi.

Kondisi ini persis seperti yang digambarkan Rasulullah saw. Sebagai seburuk-buruknya pemimpin dalam hadis,

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah kalian cinta kepada mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian ialah kalian benci kepada mereka, dan mereka pun benci kepada kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” (HR Muslim No. 3447).

 

Propaganda Barat

Sesungguhnya isu radikalisme bukanlah persoalan utama rakyat, melainkan isu pesanan dari negara Barat (Amerika dan sekutunya) atas nama dunia internasional untuk menjauhkan umat Islam dari agama dan ideologinya. Dengan melarang rakyat dan aparat (TNI dan Polri) untuk mengundang dan mendengarkan tausiah para ustaz tersebut, penguasa berharap tidak ada lagi yang akan membedah kezaliman penguasa dan sistem kapitalisme yang mereka terapkan, sekaligus memberi solusi Islam terhadapnya.

Cara ini persis yang ditempuh kaum Quraisy di Makkah ketika menghalangi dakwah Rasulullah saw. Mereka melarang orang-orang mendengarkan dakwah Rasulullah saw. Dan mengembuskan isu bahwa beliau adalah penyihir melalui lisannya.

Apakah upaya Quraisy berhasil? Tidak. Rasulullah saw. Berhasil membongkar kerusakan yang ada di masyarakat Makkah dan menjelaskan solusi Islam. Kelak, pasca-fathu Makkah, orang-orang Quraisy yang dulu mengadang dakwah Rasulullah justru kalah dan akhirnya masuk Islam, mengakui kebenaran dan keunggulan solusi Islam.

Inilah sunatullah perjuangan Islam. Allah Swt. Telah menjamin kemenangan Islam, sementara sistem yang lain akan tumbang. Allah Swt. Berfirman,

يُرِيْدُوْنَ اَنْ يُّطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّٰهُ اِلَّآ اَنْ يُّتِمَّ نُوْرَهٗ

“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya.”(QS at-Taubah: 32)

 

Khatimah

Sesungguhnya persoalan utama rakyat adalah penerapan sekularisme dan kapitalisme di tengah kehidupan mereka. Akibat kapitalisme, muncul berbagai kerusakan. Mulai dari ekonomi yang kerap resesi, politik oligarki, korupsi yang menjadi-jadi, degradasi moral, output pendidikan yang jauh dari mumpuni, kekayaan negeri yang tergadai, hingga bencana yang datang silih berganti.

 

Akibat penerapan sekularisme, umat jauh dari Islam, padahal solusi terhadap aneka kerusakan tersebut semuanya ada dalam Islam. Tidak hanya jauh, umat bahkan buta tentang Islam. Umat pun menempatkan Islam hanya sebagai agama ritual, sementara aspek politiknya ditinggalkan.

Oleh karena itu, agenda utama kita adalah mengganti sistem kapitalisme sekuler yang rusak dan merusak ini dengan sistem yang sahih, yakni Islam. Untuk itu, butuh dakwah masif kepada umat agar mereka paham tentang keunggulan Islam.

Dengan demikian, berbagai fitnah jahat pada Islam akan terbalas dengan elegan, yaitu melalui tegaknya sistem Islam (Khilafah) yang akan membawa kebaikan bagi semua insan, termasuk orang yang dulu pernah memfitnahnya. Wallahu a’lam.

 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.