Header Ads


Demokrasi Hasilkan Elit Korupsi Berekening Gendut, Rakyat Didera Kemiskinan Makin Akut.

 

Asma Sulistiawati (Pegiat Literasi)

 

Kasus korupsi kembali terjadi, kali ini menjerat gubernur Papua yakni Lukas Enembe. Lukas Enembe dikabarkan terjerat kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Papua serta dugaan gratifikasi sebesar Rp 1 miliar. Namun Ada kasus-kasus yang melibatkan namanya tak hanya itu. Dikabarkan pula kasus lainnya yakni kasus dugaan korupsi ratusan miliar dana operasional pimpinan, dana pengelolaan PON, kemudian juga adanya manajer pencucian uang yang dilakukan atau dimiliki yang ditaksir mencapai 71 miliar.

 

Sebagaimana disampaikan oleh Mahfud MD, sebagaimana dikutip pada nasional.kompas.com, 27/09/2022. Namun, tak kalah mengejutkan dibeberkan pulaoleh kuasa hukumnya Stefanus Roy Rening bahwa Lukas Enembe juga memiliki tambang emas yang dikelola secara tradisional di Distrik Mamit, Kabupaten Tolikara, Papua.

 

Tentu ini adalah kasus korupsi yang besar. Namun, ini bukan pertama kalinya terjadi di negeri ini. Tentu masih tergingiang kasus korupsi Harun Masiku yang merugikan negara Sampai 475 milyar.  Begitupun kasus korupsi Djoko Chandra, Gayus Tambunan dan lain sebagainya. Yang menurut ICW pada tahun 1996-2020 ada 36 kasus korupsi yang tersangkanya masih buronan dengan total kerugian negara mencapai 53 Triliun.

 

Sebenarnya pemerintah telah membuat upaya penyelesaian terkait dengan kasus-kasus Korupsi tersebut. Sebut saja adanya lembaga KPK, UU no 19 tahun 2019 dan berbagai instrumen lainnya.

 

Seharusnya berbagai instrumen dan aturan ini akan mampu mengahbisi kasus korupsi sampai ke akar-akarnya. Namun faktanya kasus korupsi terus terjadi dan terus membayangi masyarakat, bahkan pada instansi yang memiliki slogan anti korupsi. Kenapa demikian?

 

Hal ini terjadi karena aturan-aturan dan instrumen tersebut bertumpuh pada akal manusia. Menjadikan pandangan dan kesepakatan manusia sebagai penentu kebijakan. Padahal manusia adalah mahluk yang luput dari kesalahan sehingga aturan yang lahir berdasarkan pandangannya pasti tak luput pula dari kelemahan dan kekurangan yang sarat akan manfaat, kepengtingan dan materi yang akan merusak manusia itu sendiri.

 

Contohnya kita bisa melihat berbagai proses dan prosedur yang digunakan untuk terlibat dalam pemilu. Pemilu yang berhasil dilaksanakan hingga hari ini tak luput permasalahan kecurangan dan manipulatif. Menjadi rahasia umum untuk terlibat sebagai calon dalam pemilu memerlukan dana yang cukup besar seperti "serangan fajar" pada kampanye sehingga membutuhkan "backing-an" dari pihak luar untuk membiayai hal tersebut.

 

Tidak ada "makan siang" gratis, ketika kelak dia terpilih maka tentu ada pengembalian yang harus dibayarkan untuk membayar "makan siang" tersebut. Sehingga jabatan yang diemban pasti akan berpotensi untuk disalahgunakan yang bisa berujung pada korupsi.

 

Kasus korupsi tersebut pasti akan berimbas merugikan negara dan  kepentingan rakyat. Sebut satu kasus Harun masiku misalnya negara memiliki kerugian 7 triliun. Yang mana keberadaan Harun Masiku itu sendiri sampai saat ini tidak mampu untuk diungkapkan keberadaanya apatalagi uang negara yang dibawa bersamanya oleh instansi terkait dan UU yang ada.

 

Rakyat menjadi yang paling dirugikan dari kasus seperti ini. Uang yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat justru mengendap dan menggendutkan rekening rekening para koruptor. Di sisi lain rakyat memiliki sumber daya alam yang kaya namun tidak mampu lepas dari bayang-bayang dan penyebab kemiskinan.

 

Tentu kondisi yang mengerikan. Tentu berbeda jika aturan hidup itu bersumber dari dzat yang Maha Baik yakni Allah SWT yang pasti denganNya maka kebaikan itu akan mengalir. Allah Taala berfirman dalam QS Al-Maidah [5]: 49: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.

 

Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”

 

Selain itu pada masa Negara Islam di Madinah, Rasulullah saw. adalah yang memimpin Lembaga Peradilan secara lansung. Beliau memutuskan masalah yang terjadi di antara anggota masyarakat. Beliau juga mengangkat para kadi (hakim) dan berpesan kepada mereka agar memutuskan perkara secara benar.

 

Di samping itu, kondisi penduduk di Negara Islam adalah orang-orang yang bertakwa yang senantiasa bersandar pada halal haram  dalam melaksanakan perbuatan. Sehingga tidak layak bagi kita untuk terus menjadikan aturan buatan manusia sebagai standar aturan dan hidup di dalamnya. Allah Taala berfirman dalam QS Al-Maidah [5]: 50, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Wallahualam bissawab.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.