Header Ads


Tragedi Kanjuruhan, antara Fanatisme dan Represif


Siombiwishin (aktivis)

 

Duka yang mendalam menyelimuti rakyat Indonesia, di awal Oktober tepatnya pada malam hari, Sabtu tanggal 01 Oktober 2022 terjadi sebuah tragedi mengenaskan yang menelan ratusan korban jiwa. Kerusuhan yang terjadi di Stasion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur ini membuat para orang tua kehilangan anak mereka, pun dikabarkan seorang anak harus menjadi yatim piatu dalam beberapa menit karena kedua orang tuanya menjadi koban meninggal dunia dalam peristiwa tersebut. Apalagi yang menjadi penyebab kematian mereka adalah karena kelalaian oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, tanpa berpikir panjang mengambil tindakan yang berakibat fatal bagi orang banyak.

 

“Jumlah total korban 678 orang terdiri dari jumlah korban meninggal dunia 131, jumlah korban luka 547” kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo dalam keterangannya. Kepolisian telah menetapkan enam orang sebagai tersangka. Yakni, Direktur Utama PT LIB Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panpel Arema FC Abdu Haris, serta Security Officer Suko Sutrisno. Kemudian tiga tersangka lainnya yakni Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, serta Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP Hasdarman. (CNN Indonesia, 07/10/2022).

 

Sudah menjadi hal lumrah, jika pertandingan sepak bola cenderung menghadirkan fanatisme buta suporternya. Kericuhan saat pertandingan berakhir kerap kali terjadi dalam liga sepak bola di Indonesia, namun tidak pernah menelan korban hingga sebanyak ini. Dilihat dari tersedianya aparat pada setiap pertandingan menjadi pertanda terkait kisruh yang diduga akan terjadi, terlebih pada pertandingan yang berlangsung di Kanjuruhan, aparat bahkan dilengkapi dengan gas air mata yang diketahui penggunaannya sudah dilarang oleh FIFA.

 

Bukannya berusaha mencegah terjadinya kerusuhan pasca pertandingan, aparat malah dilengkapi dengan gas air mata yang menyebabkan tindak represif yang merugikan. Penggunaannya yang tidak tepat sasaran, membidik para supporter sampai ke tribun yang juga terdapat perempuan dan anak-anak, menyebabkan kepanikan, berhamburan menyelamatkan diri menuju gerbang, alhasil berdesak-desakkan, menyebabkan sesak napas dan terjadi injak-menginjak antar supporter yang menelan korban jiwa yang banyak.

 

Selain itu, membludaknya jumlah penonton yang over kapasitas serta fanatisme buta terhadap tim yang di idolakan juga menjadi salah satu alasan penyebab terjadinya tragedi ini. Pertandingan yang digelar seolah bukan lagi soal permainan menang atau kalah tapi soal harga diri, kebanggaan bersama, dan emosi tidak berdasar lainnya, yang pada akhirnya para supporter tidak menerima kekalahan tim kebanggaannya menyulut emosi tim yang menang kemudian menimbulkan kemarahan antar kedua pihak dan terjadilah kerusuhan yang berakhir petaka.

 

Dalam Islam, olahraga diperlukan untuk menjaga kebugaran tubuh agar tetap sehat dan melatih kekuatan fisik untuk persiapan berjihad di jalan Allah. Bukan untuk olahraga itu sendiri, juga bukan untuk mendapatkan harta dan popularitas yang diikuti dengan arogansi, kesombongan, serta sikap destruktif lainnya. Ketika kehidupan umat Islam dipimpin oleh ideologi kapitalisme, dengan asas manfaat sebagai pandangan hidupnya, maka orientasi hidup kaum muslim pun berhasil disesatkan. Mereka bukan hidup untuk Islam dan umatnya, apalagi persiapan untuk kehidupan akhirat. Namun, mereka hidup untuk kesenangan duniawi dan materi.

 

Dunia olahraga pun disulap menjadi industri untuk mewujudkan ambisi materi, duniawi, dan polularitas. Para olahragawan dan atlet pun telah menjelma menjadi selebritas yang diburu oleh media dan penggemar, kemudian diikuti dengan iklan dan pendapatan yang melimpah. Inilah industri olahraga yang telah keluar dari konteksnya untuk menjaga kebugaran tubuh agar tetap sehat dan melatih kekuatan fisik untuk persiapan berjihad di jalan Allah. (muslimahnews.net/06/10/2022)

 

Islam tidak melarang adanya olahraga, selama hal tersebut bermanfaat bagi kehidupan dirinya yang berorientasi kepada akhirat. Namun Islam melarang fanatik terhadap golongan apapun, karena tindak fanatisme justru akan menimbulkan perpecahan antar manusia baik dari segi ras, suku, mazhab dan bangsa, terlebih antar kelompok. Dari Jabir bin Muth’im, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ashabiyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah.” (HR Abu Dawud No. 4456)

 

Selain itu dalam Islam, nyawa seorang mukmin itu sangat berharga dibandingkan dengan dunia dan seisinya. Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya dunia ini dan seisinya hancur lebur itu lebih ringan di sisi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai).

 

Sebagai aparat yang bertugas mengamankan massa, sudah seharusnya lebih optimal dalam mengendalikan emosi, dan tidak berperilaku represif. Karena bagaimanapun para supporter tetaplah rakyat sipil yang memiliki hak untuk dilindungi, dan tindakan yang berujung menyebabkan kematian tanpa alasan yang tidak dibenarkan tetaplah sebuah tindakan yang tidak tepat dan sangat disayangkan. Oleh sebab itu, jika aturan Islam diterapkan secara paripurna maka secara otomatis penguasa akan berusaha secara maksimal menjaga dan melindungi setiap warga negaranya. Wallahu’alam.

 

 

 

                                                                                    

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.