Header Ads


Gereja di Barat Sepi Jemaat, Begini Kata Kristolog

Ilustrasi Masjid yang berdampingan dengan gereja


IndonesiaNeo.com -- Menelusuri penyebab sejumlah gereja di negara-negara Barat, termasuk Eropa dan Amerika Serikat (AS), yang mengalami penurunan jumlah jemaat belakangan ini, ada beberapa faktor yang dinilai berperan, menurut pendapat Ustadz Abu Deedat Syihabbuddin sebagaimana dikutip oleh Media Umat (13/07/2023).

Dalam wawancara dengan Mediaumat.id pada Rabu (12/7/2023), Ustadz Abu Deedat Syihabbuddin menyatakan bahwa salah satu faktornya adalah keinginan jemaat untuk hal-hal yang masuk akal dan rasional.

"Mereka (jemaat) sangat ingin hal-hal yang rasional," kata Kristolog Ustadz Abu Deedat Syihabbuddin.

Artinya, penganut agama tersebut merasa bahwa ajaran gereja tidak logis, bahkan beberapa di antaranya dianggap mistis.

Lebih lanjut, Abu Deedat menjelaskan bahwa umat Kristen telah melihat bahwa ajaran agama yang mereka anut tidak mampu memberikan solusi atas masalah-masalah yang mereka hadapi.

"Ketika melihat ajaran-ajaran agama ini, umat Kristen tidak menemukan penyelesaian untuk masalah-masalah yang ada saat ini," ujarnya.

Dalam buku berjudul "You Lost Me: Why Young Christians are Leaving Church and Rethinking Faith" yang ditulis oleh David Kinnaman pada tahun 2011, hasil survei Barna Group menunjukkan bahwa jumlah remaja yang berpartisipasi dalam kebaktian gereja semakin berkurang, dan hal ini menjadi fakta yang terjadi di seluruh dunia.

Tidak hanya itu, Abu Deedat juga menyoroti adanya gerakan sekularisme dalam agama Kristen yang menyebabkan semangat jemaat untuk pergi ke gereja menurun drastis.

"Hampir di gereja-gereja besar pun begitu. Hanya sekitar delapan persen jemaat yang hadir, dan mayoritas dari mereka adalah orang tua," ucapnya, mengutip hasil penelitian seorang pendeta dari Bandung yang namanya tidak disebutkan.

Dengan kata lain, mereka tidak lagi merasakan pentingnya agama yang mereka anut. "Mereka sudah tidak merasakan pentingnya agama itu," tambahnya.

"Terlebih lagi, di zaman modern ini ada banyak hal yang dianggap tidak masuk akal oleh mereka," sambungnya, merujuk pada ajaran agama lama yang dianggap bertentangan dengan ilmu pengetahuan.

Ustadz Abu Deedat juga menyebut kasus kontroversial seperti penunjukan seorang gay menjadi uskup gereja di London. Sebagai contoh, Gene Robinson, seorang gay yang menjadi uskup Gereja Anglikan di New Hampshire, AS, sejak November 2003.

Menurut Abu Deedat, keputusan semacam itu telah kehilangan arah. "Perbuatan homoseksual sangat dilarang dalam Alkitab mereka sendiri," ungkapnya.

Selain itu, perilaku seksual yang menyimpang, terutama kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak, juga turut berkontribusi dalam menjauhkan jemaat dari gereja.

"Banyak kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh rohaniawan mereka sendiri. Ini salah satu faktor yang menyebabkan jemaat semakin jauh dari agama dan semakin enggan pergi ke gereja," katanya.

Namun, di sisi yang berbeda, Abu Deedat mengakui bahwa di hampir semua negara Eropa, agama Islam justru mengalami perkembangan yang luar biasa.

Selain karena imigran Muslim, ini juga disebabkan oleh adanya diskriminasi antara penganut Kristen kulit putih dan kulit hitam.

"Antara Kristen kulit putih dan Kristen kulit hitam, mereka tidak bisa menyatu. Justru yang menjadi Muslim adalah orang Kristen kulit hitam," jelasnya, meskipun keduanya beragama Kristen.

Pada saat yang sama, mereka melihat bahwa ajaran Islam tidak membedakan warna kulit. "Mereka melihat keindahan ajaran Islam dalam hal ini," tambah Abu Deedat.

Selain itu, penyebaran propaganda negatif tentang Islam di Barat tidak selaras dengan fakta, yang malah membuat sejumlah individu tertarik untuk masuk Islam. Sebagai contoh, Yvonne Ridley, seorang wartawan senior asal Inggris, pada akhirnya memeluk Islam pada tahun 2003 setelah awalnya berniat membuktikan ketidakbenaran informasi tersebut.

Bukannya menemukan kekejaman Taliban di Afghanistan, setelah dua tahun Yvonne akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang Muslim. Kini, Yvonne tinggal di Jedburgh, Britania Raya, jauh dari keramaian, agar dapat menulis buku mengenai politik sosial dunia. [IDN]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.