Header Ads


Kekesatriaan sebagai Dasar Membangun Citra Baik

Ilustrasi seorang ksatria perang


Manusia memiliki kualitas dan sifat yang berbeda-beda, seperti logam-logam dengan kualitas yang beragam. Perbedaan sifat ini adalah bukti dari kekuasaan Allah terhadap ciptaan-Nya. Karena itu, kita bisa melihat bahwa ada manusia yang memiliki akhlak yang baik dan kepribadian yang mulia. Mereka menunjukkan kecerdasan, kebrilian, dan ketegaran dalam menghadapi berbagai kesulitan. Mereka melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka dengan sukarela. Mereka juga memiliki ketahanan yang tinggi, kesabaran yang penuh, dan dengan gembira melaksanakan tanggung jawab yang mereka pikul. Mereka memiliki kecerdasan yang tajam, pemikiran yang brilian, dan ide-ide yang hebat. Mereka adalah para ksatria dengan budi luhur.

Keberadaan sifat-sifat ini pada seseorang menunjukkan obsesi yang tinggi dalam dirinya, serta tingginya martabat dan kemuliaan jiwanya. Jiwa yang mulia secara otomatis akan mencari nilai-nilai yang agung dan menggemari perilaku yang luhur. Sementara itu, obsesi yang tinggi akan mendorong mereka untuk terus maju, menjauhi hal-hal yang memalukan, dan menghindari perilaku yang buruk.

Seseorang tidak akan menjadi ksatria, pemberani, dan memiliki kedudukan yang tinggi kecuali jika dia mampu merasakan bahwa setiap kesulitan adalah ringan demi mencapai kemuliaan, dan menganggap kenikmatan sementara sebagai sesuatu yang kecil dibandingkan dengan menghindari celaan dan kehinaan. Oleh karena itu, ada pepatah yang mengatakan, "Pemimpin sebuah kelompok adalah orang yang paling menderita di antara mereka."


Nabi Adalah Penghulu Para Kesatria

Rasulullah - Shallallâhu alaihi wasallam - adalah manusia terbaik yang memiliki sifat mulia ini. Anas ibnu Mâlik - Semoga Allah meridhainya - mengatakan, "Nabi - Shallallâhu alaihi wasallam - adalah manusia paling baik, paling dermawan, dan paling pemberani. Pada suatu malam, penduduk Madinah dikejutkan oleh suara. Mereka segera bergegas menuju suara tersebut. Tiba-tiba, Nabi - Shallallâhu `alaihi wasallam - datang dari arah suara itu dan menghadap mereka. Beliau ternyata telah mendahului semua orang untuk mencapai suara tersebut. Beliau berseru, "Tenang, tenang!" Beliau berada di atas kuda milik Abu Thalhah, kuda itu tanpa pelana, dan di punggung beliau terdapat sebilah pedang. Beliau berkata, "Aku melihat bahwa itu hanya suara laut." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Dalam situasi-situasi genting, beliau menunjukkan keberanian dan kepahlawanan yang tak terbayangkan. Pada perang Hunain, ketika orang-orang musyrik mendominasi awal pertempuran dan mereka mengepung Rasulullah - Shallallâhu `alaihi wasallam, beliau turun dari kudanya dan melawan mereka sambil berteriak, "Akulah Nabi, bukan dusta. Akulah putra Ibnu Abdil Muththalib." Al-Barâ' - Semoga Allah meridhainya - berkata, "Tidak pernah terlihat manusia seberani beliau pada hari itu."

Pada perang Uhud, ketika banyak kaum Muslim yang mundur setelah tersebar berita bahwa beliau telah terbunuh, dan orang-orang musyrik mencari-cari beliau untuk membunuhnya, beliau malah menampakkan diri di tengah-tengah mereka sambil berteriak, "Akulah Rasulullah." Meskipun teriakan itu pasti akan menarik perhatian orang-orang musyrik ke arah beliau, tetapi itulah bentuk yang paling mengagumkan dari keberanian dan kepahlawanan sejati.


Nabi Musa—`Alaihis salâm

Kita juga dapat melihat contoh mulia dalam hal keberanian dan kepahlawanan dari Nabi Musa—Alaihis salâm. Dia meninggalkan tanah kelahirannya menuju Madyan dengan perasaan sedih dan sangat lelah. Namun, dalam keadaan seperti itu, Allah—Subhânahu wa Taâlâ—menceritakannya dalam firman-Nya (yang artinya): "Ketika dia sampai di dekat mata air di kota Madyan, dia melihat sekelompok orang yang sedang memberi minum ternak mereka. Di belakang mereka, ada dua wanita yang menunggu dengan membawa ternak mereka. Musa bertanya kepada mereka, 'Mengapa kalian menunggu di sini?' Kedua wanita itu menjawab, 'Kami tidak bisa memberi minum ternak kami sampai pengembala lain kembali dan mengeluarkan ternak mereka, sedangkan ayah kami adalah seorang yang tua yang renta.' Maka Musa memberi minum ternak itu untuk kedua wanita itu sebagai bentuk pertolongan, lalu dia kembali ke tempat yang teduh dan berdoa, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan apa pun kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku'." [QS. Al-Qashash: 23-24].


Generasi Salaf Dididik di Atas Sifat kesatria

Pendidikan Islam telah mengajarkan umatnya tentang keutamaan akhlak yang luhur, sehingga mereka berhasil mencapai puncak kesuksesan. Mereka telah menunjukkan contoh-contoh yang menginspirasi melalui berbagai perilaku terpuji, seperti memberi prioritas kepada kepentingan orang lain, siap mengorbankan diri, dan memiliki semangat ksatria. Salah satu contoh yang menggambarkan hal ini adalah kisah yang diceritakan oleh Hudzaifah Al-Adawi. Dia mengisahkan, "Pada saat pertempuran di Yarmuk, saya dengan cepat mencari keponakan saya sambil membawa sedikit air. Dalam hati, saya berpikir, 'Jika dia masih bernapas, saya akan memberinya minum dan menyeka wajahnya dengan air itu.' Akhirnya, saya berhasil menemukannya dalam kondisi terluka parah. Saya bertanya kepadanya, 'Apakah kamu ingin saya memberikan minum?' Dia memberikan isyarat setuju. Namun tiba-tiba ada seorang prajurit lain yang berteriak di dekatnya. Keponakan saya memberikan isyarat agar saya pergi memberikan air kepada orang itu. Saya mendekati orang itu, dan ternyata dia adalah Hisyâm ibnul Âsh. Saya bertanya kepadanya, 'Apakah kamu ingin saya memberikan minum?' Tiba-tiba ada seorang prajurit lain yang berteriak di dekatnya. Hisyâm memberikan isyarat agar saya segera memberikan minum kepada orang itu. Saya pun mendekati orang itu. Sayangnya, dia telah menghembuskan nafas terakhirnya. Kemudian saya kembali kepada Hisyâm, dan ternyata dia juga sudah meninggal. Saya segera kembali menemui keponakan saya, dan ternyata dia juga telah gugur. Semoga rahmat Allah melimpah kepada mereka semua."

Nabi Muhammad menceritakan sebuah kisah tentang seorang laki-laki dari Bani Israil yang meminjam uang seribu dinar. Ketika pemberi pinjaman meminta saksi dan penjamin, si peminjam menjawab bahwa Allah adalah saksi dan penjamin yang cukup. Pemberi pinjaman setuju dan memberikan pinjaman tersebut. Si peminjam kemudian pergi berlayar untuk mencari kebutuhannya dan ketika ia telah memperolehnya, ia mencari kapal untuk kembali membayar hutangnya. Namun, ia tidak dapat menemukan kapal, sehingga ia mengambil sebilah kayu, melobanginya, dan memasukkan uang serta surat ke dalamnya sebelum melemparkannya ke laut dengan berdoa agar Allah menyampaikannya kepada pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman kemudian menemukan kayu tersebut dan menggunakannya sebagai kayu bakar sebelum menemukan uang dan surat di dalamnya. Ketika si peminjam akhirnya tiba dengan membawa uang, pemberi pinjaman memberitahunya bahwa Allah telah menyampaikan uang yang dikirim melalui kayu itu dan si peminjam dapat membawa kembali uangnya.

Penaklukan kota `Amûriyyah terjadi karena ikatan persaudaraan Islam dan keberanian serta jiwa kesatria yang dimiliki oleh kaum Muslimin pada saat itu. Ketika seorang wanita Muslim yang ditawan oleh Romawi di daerah tersebut memanggil, kaum Muslimin segera menjawab dengan pedang mereka dan berhasil menaklukkan kota tersebut. Khalifah Al-Mu`tashim kemudian mendatangi wanita Muslim tersebut dan berkata bahwa ia datang untuk memenuhi panggilannya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.