Header Ads


Menyoal Rendahnya Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap DPR dan Partai Politik

Oleh : Asma Sulistiawati (Pegiat Literasi)

Hasil survei lembaga Indikator Politik Indonesia (IPI) pada tanggal 20 Juni sampai  dengan 24 Juni 2023 lalu, memperlihatkan tren kepercayaan publik terhadap dua lembaga negara yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan partai politik menjadi yang terendah di antara sembilan lembaga negara lain.

Menurut Peneliti utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi terdapat 61,4 persen masyarakat yang cukup percaya pada DPR, yang sangat percaya sebesar 7,1 persen dan kurang percaya 26,6 persen. DPR berada di urutan kedua terbawah dalam survey ini.  Sedangkan kepercayaan publik terhadap partai politik menjadi yang terendah di antara lembaga lainnya yakni 6,6 persen masyarakat yang sangat percaya pada partai politik, yang cukup percaya sebesar 58,7 persen dan kurang percaya 29,5 persen (kompas.com, 2/7/2023).

Menanggapi hal tersebut, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik LHKP Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ridho Al-Hamdi menilai salah satu penyebab rendahnya kepercayaaan publik terhadap DPR tidak lain karena produk legislasi yag dibuat oleh DPR tidak sesuai dengan aspirasi yang diinginkan rakyat.

Hal senada juga diungkapkan oleh Peneliti Formappi Lucius Karus, menurutnya kinerja pengawasan, anggaran, dan legislasi DPR periode sekarang menjadi yang terburuk. (kbr.id, 6/7/2023).

Pendapat tersebut setidaknya menunjukkan bahwa kondisi DPR dan parpol tidak dalam kondisi baik-baik saja di mata rakyat. Ketidakpercayaan mereka terhadap kedua lembaga ini muncul karena realita yang ada di mana DPR maupun parpol yang tidak mampu membela kepentingan rakyat dan menjalankan amanahnya sebagai wakil rakyat.

DPR seringkali mengeluarkan kebijakan yang dianggap merugikan kepentingan rakyat. Sebagaimana yang terjadi pada Undang-undang Ominibus Law Cipta Kerja yang menuai protes dan memicu demostrasi berkepanjangan di seluruh tanah air. UU Cipta Kerja dianggap lebih mementingkan oligarki dan pengusaha saja, dan berdampak buruk pada pekerja dan UMKM. Namun, DPR bergeming bahkan mensahkan UU tersebut di tengah pro kontra yang terjadi.

Begitu pun yang terjadi pada RKUHP atau Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disahkan oleh DPR. UU ini merupakan UU kontroversial dan dinilai oleh sebagian pihak sebagai upaya mewujudkan pemerintahan antikritik dan membungkam suara-suara yang akan mengancam kursi jabatan penguasa.

Anggota DPR juga seringkali terlibat dalam kasus korupsi dan kerap menjadi lembaga terkorup di tanah air padahal jaminan kebutuhan hidup, mulai dari gaji yang nilainya fantastis hingga berbagai tunjangan diberikan negara. Pamer gaya hidup mewah menjadi lifestyle mayoritas anggota DPR di tengah angka kemiskinan dan stunting yang terus meroket. Ketidakpekaan pada nasib rakyat makin terang-terangan.

Hal yang sama juga terlihat dari keberadaan parpol. Parpol yang semestinya menjadi wadah rakyat dalam menyalurkan aspirasi, kerap kali dijadikan wadah meraih kekuasaan. Tidak sedikit parpol yang harus memasang tarif politik atau mahar tinggi demi memuluskan calon penguasa menduduki jabatannya. Modal tinggi menjadi hal yang  wajib dan penentu seseorang menjadi penguasa,

Selain itu, parpol yang ada saat ini tak lain untuk melayani kepentingan pemodal atau pengusaha dan oligarki. Konsistensi sebagai perpanjangan tangan rakyat seringkali kalah dengan besarnya kepentingan dan materi yang ada.

Parlemen dalam demokrasi juga menghasilkan hukum yang seringkali bertabrakan dengan aturan agama. Aturan tersebut tercermin pada kebolehan jual beli minuman keras di toko dan tempat-tempat tertentu padahal minuman keras haram secara mutlak dan menjadi sumber kerusakan. Demikian juga halnya dengan kriminalisasi sebagian ajaran Islam seperti konsep jihad dan Khilafah.

Inilah berbagai fakta yang membuat kepercayaan publik terhadap DPR dan parpol kian rendah. Praktik politik ala demokrasi sangat jauh berbeda dengan definisi politik itu sendiri dan tentunya  berbeda dengan sistem Islam.

Dalam Islam, politik dimaknai dengan mengurusi dan melayani urusan umat. Sebagaimana yang terdapat dalam Al qur’an surah Ali Imran ayat 104 : “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa aktivitas yang dilakukan parpol tidak lain ialah berdakwah dan mengontrol segala kebijakan yang dikeluarkan penguasa, apakah sesuai syariat Allah atau tidak. Ikatan yang mengikar antaranggota partai politik tidak lain hanyalan ikatan akidah Islam bukan yang lain. Akidah Islam juga menjadi kaidah berpikir partai.

Hal yang sama juga ada pada wakil rakyat dalam sistem Islam. Ikatan akidah Islam mesti melekat pada wakil rakyat sehingga Ia akan sepenuh hati menjalankan amanahnya sebagai pelayan umat. Segala kebijakan yang diambil  senantiasa berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah serta untuk kepentingan umat. Kecintaan pada umat tumbuh dan terjalin ikatan yang kuat antara rakyat dan wakil rakyat. Dengan begitu, kepercayaan rakyat terhadap wakil rakyat dan partai politik akan semakin kuat. Hal ini akan didapat ketika sistem Islam dijadikan sebagai landasan dalam kehidupan berpolitik dan mustahil ada pada sistem selain Islam. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.