Palestina Butuh Tentara Bukan Retorika Basa-basi
Oleh : Teti Ummu Alif*)
IndonesiaNeo, OPINI - Ketua DPR RI Puan Maharani membuka pertemuan Indonesia-Africa Parliamentary Forum (IAPF) di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali. IAPF merupakan forum parlemen Indonesia dengan negara-negara Afrika yang digelar dalam rangkaian Forum Tingkat Tinggi (FTT) Indonesia-Africa Forum (IAF) ke-2 dan High Level Forum on Multi Stakeholder (HLF MSP). Dalam sambutannya Puan menekankan beberapa aspek salah satunya dalam konteks kerja sama antar parlemen Indonesia dan Afrika harus memajukan nilai nilai demokrasi dan menghargai hak asasi manusia dengan menegakkan rule of law. Menurutnya, nilai tambah akan didapat jika kerja sama IAPF berkontribusi mewujudkan aspirasi rakyat di Afrika dan Indonesia untuk menikmati kehidupan yang lebih damai dan sejahtera. Apalagi mengingat berbagai krisis di dunia yang berdampak langsung bagi rakyat di Indonesia. Maka parlemen perlu lebih aktif berkontribusi menyelesaikan berbagai persoalan global. Hal itu, termasuk bahwa parlemen harus mendorong terciptanya perdamaian (TVone 1/9/2024).
Seruan pembebasan Palestina bukan hanya kali ini saja digaungkan. Jika dicermati, sejak entitas Zionis Yahudi menggempur Palestina tanpa ampun selama 75 tahun lamanya akhirnya masyarakat dunia pun merespon atas genosida ini. Gelombang aksi pro Palestina di berbagai belahan dunia makin meluas. Para mahasiswa dan akademisi turun ke jalan menunjukkan solidaritas terhadap warga Palestina. Mulai dari AS, Eropa, hingga Asia. Mereka menyeru dan menuntut agar pemerintah dunia mengambil tindakan tegas untuk menghentikan operasi militer Zionis di Gaza. Akan tetapi, meski dunia menghujat, mengecam, mengutuk, dan menuntut agar entitas Yahudi penjajah diseret ke pengadilan internasional tertinggi, mereka bergeming dan tetap bebal. Bahkan, mereka kembali melancarkan serangan bertubi-tubi yang tak manusiawi.
Hal ini kian menegaskan kepada kita bahwa seruan penghentian genosida di Palestina tanpa adanya pengiriman pasukan bala tentara merupakan pencitraan belaka. Pasalnya, hingga saat ini terbukti berbagai seruan nyatanya tak mampu menghentikan kebengisan Zionis Yahudi. Bahkan, seruan lembaga internasional maupun penguasa negeri muslim senantiasa dianggap angin lalu. Lantas mengapa dunia hanya mampu mengecam dan mengutuk?
Sejatinya, penyebab para penguasa negeri muslim tidak bisa bertindak apa-apa adalah nasionalisme. Paham inilah yang telah membatasi upaya pembelaan terhadap Palestina menjadi terbatas pada kecaman semata. Lihatlah yang terjadi di Mesir, atas nama nasionalisme, Presiden Mesir Abdul Fattah As-Sisi membatasi Pintu Raffah yang menjadi pintu keluar masuk satu-satunya dari dan ke luar Gaza.
Hanya karena problem ekonomi, Mesir menolak pengungsi Palestina. Bahkan, dengan tegas ia mengatakan jika membuka Pintu Raffah dengan bebas, berarti Mesir sedang mencederai perjanjian damainya dengan entitas Yahudi yang sudah terbangun sejak 1979. Bukankah itu artinya Mesir dengan tegas berdiri di pihak entitas Yahudi? Astagfirullah!
Nasionalisme juga telah menyandera para pemimpin negeri muslim dan menjadikannya antek yang siap mengikuti perintah tuannya, AS. Para pemimpin muslim mengabaikan fakta bahwa peperangan Zionis Yahudi dan H4m4s bukanlah peperangan yang berimbang. Milisi H4m4s merupakan organisasi militer yang independen yang terbentuk dari masyarakat dan tidak didukung oleh negara mana pun. Sedangkan militer entitas Yahudi didukung oleh negara dan dibantu oleh negara adidaya. Tentu pertarungan yang sangat tidak berimbang. Begitu pun milisi-milisi yang ada di timur Tengah, pergerakan mereka terbatas pada sumber daya, baik persenjataan maupun tentara. Ini karena negara yang menaungi milisi tersebut justru bertindak sebaliknya.
Sungguh menyedihkan, entitas kecil Zionis Yahudi mampu menggenosida kaum muslim di Palestina, padahal wilayahnya dikelilingi oleh negeri-negeri muslim yang jumlahnya jauh lebih besar dari entitas Yahudi.
Oleh karena itu, pembebasan Palestina membutuhkan tindak nyata sebuah negara, bukan sebatas milisi semata. Para penguasa harusnya mengikuti langkah para milisi sebab negara memiliki kekuatan besar untuk bisa memberikan tindakan nyata. Hanya saja, tindakan nyata ini dengan mengirimkan tentara dan senjata kepada Palestina tidak akan mungkin bisa dilakukan tanpa adanya persatuan umat muslim.
Apabila kita menakar dari segi kekuatan, sesungguhnya potensi umat muslim sangat besar. Andai negeri-negeri muslim bersatu, niscaya entitas Yahudi mampu dikalahkan beserta dengan negara penyokongnya, yaitu AS. Setidaknya ada tiga potensi yang sangat Barat takuti jika kaum muslim bersatu. Pertama, potensi demografi dan militernya. Peradaban Barat yang tidak sesuai fitrah manusia menjadikan banyak negara Barat mengalami depopulasi akibat masifnya elj*biti dan fenomena “resesi seks”, misalnya. Sebaliknya, pertumbuhan populasi di negeri-negeri muslim naik pesat walau genosida terjadi di berbagai etnis muslim.
Menurut data World Population Review 2023, jumlah penganut Islam adalah yang terbesar kedua setelah umat Kristen, yaitu dua miliar lebih. Melihat data makin banyaknya muslim dan makin menurunnya populasi nonmuslim, banyak peneliti memprediksi pada 2050 jumlah muslim lebih banyak dari umat Kristen.
Andai saja satu persennya menjadi tentara, niscaya potensi militer kaum muslim akan sangat besar. Bayangkan, akan terdapat 20 juta tentara muslim yang siap melindungi seluruh bagian wilayah muslim. Persoalan Palestina pun bisa selesai sebab penduduk entitas Yahudi tidak sampai 10 juta orang per 2023.
Kedua, potensi geopolitiknya. Negeri-negeri muslim menempati Selat Giblatar, Terusan Suez, Selat Dardanella, dan Bosphorus. Semua itu menghubungkan jalur Laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Jika negeri-negeri muslim bersatu, niscaya akan tercipta kekuatan besar yang mampu menyetir perdagangan dunia. Inilah yang Barat takuti.
Ketiga, potensi SDA, misalnya minyak bumi yang telah Allah anugerahkan kepada negeri-negeri muslim. Terbukti, embargo minyak Arab pada 1973 mampu meluluhlantakkan perekonomian AS. Sayangnya, hari ini, Arab Saudi dan negeri-negeri muslim lainnya malah menolak mengembargo minyak pada entitas Yahudi itu dengan alasan penyelesaian konflik dengan Palestina adalah melalui diskusi damai, bukan embargo. Sungguh pengkhianatan yang nyata bukan?
Padahal Allah Azza Wajalla telah berfirman : Bunuhlah mereka (yang memerangimu) di mana pun kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusirmu.” (QS Al-Baqarah: 191). Sesungguhnya, ayat ini telah jelas memerintahkan kepada seluruh umat, termasuk penguasa, untuk mengusir entitas Yahudi dari tanah kaum muslim Palestina. Islam menjadikan pembelaan adalah satu kewajiban yang harus dipenuhi sesama muslim dan negeri muslim. Apalagi ketika musuh bertindak di luar batas kemanusiaannya. Pertolongan yang nyata bagi Palestina sendiri adalah jihad, yaitu mengirimkan bantuan militer, yakni tentara lengkap dengan persenjataannya. Bantuan ini hanya bisa dilakukan oleh sebuah negara, sedangkan negeri-negeri muslim hari ini tersandera oleh negara adidaya AS.
Oleh karenanya, agar kaum muslim bisa terbebas dari belenggu penjajahan AS, negeri muslim harus bersatu di bawah payung Khilafah Islamiah. Dengan jihad dan Khilafah, insyaallah bumi Palestina akan terbebas dari penjajahan entitas Yahudi dan dunia akan dinaungi kehidupan yang mulia. Wallahu a'lam.
*) Pemerhati Masalah Umat
Post a Comment