Buruh Sejahtera Hanya Terwujud dalam Sistem Islam
Oleh: Nurma*)
IndonesiaNeo, OPINI - Demo besar-besaran kembali terjadi pada saat peringatan Hari Buruh Internasional, yaitu 1 Mei 2025. Demo tersebut dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia, di antaranya adalah Jakarta, Surabaya, Malang, Medan, Solo, Makassar, maupun kota-kota besar lainnya. Mereka berasal dari berbagai aliansi buruh. Adapun pada saat terjadinya demo tersebut, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, turut hadir dalam aksi itu.
Dalam pidatonya, Prabowo mengemukakan bahwa akan segera membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional untuk mempelajari keadaan para buruh dan juga memberi nasihat kepada Presiden terkait UU yang merugikan buruh. Selain itu, ia juga melontarkan berbagai macam janji, di antaranya yaitu akan membentuk Satgas Mitigasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) guna melindungi para buruh yang terkena PHK dan juga menghapus sistem outsourcing. Janji manis tersebut diperuntukkan agar bisa menemui titik tengah bagi permasalahan buruh. Ia berjanji akan mempertemukan perwakilan serikat buruh dengan pemimpin perusahaan. Selain itu, ia juga mengatakan mendukung Marsinah untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, mendukung RUU Perampasan Aset untuk disahkan di DPR RI, dan juga akan mengkaji ulang terkait skema penerapan pajak agar tidak memberatkan buruh.
Mimpi Sejahtera dalam Kapitalisme
Kondisi buruh saat ini sangatlah jauh dari kata sejahtera, bahkan dapat dikatakan semakin suram. Pendapatan mereka pun sangat rendah sehingga akibatnya mereka tidak mampu untuk mencukupi serta memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, banyak pula buruh yang mendapatkan gaji di bawah upah minimum. Juga mirisnya, yang menjadi sorotan adalah adanya diskriminasi usia bagi pelamar, misalnya maksimal usia pelamar dibatasi sampai 35 tahun, sehingga banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan dan menjadi pengangguran. Belum lagi, buruh selalu dihantui maraknya PHK akibat kelesuan ekonomi dunia yang gagal diatasi oleh pemerintah. Korban PHK banyak yang tidak memperoleh haknya, termasuk pesangon yang telah ditentukan. Maraknya eksploitasi pekerja, misalnya kasus buruh yang tidak diperbolehkan untuk salat, penahanan ijazah, hingga terjebak perdagangan orang.
Segala kepahitan yang buruh alami saat ini merupakan akibat dari penerapan sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, peran negara hanya didapati sebagai regulator dan fasilitator, maka dengan ini tentunya tidak didapati peran negara sebagai pengurus rakyat. Alih-alih menjadi pengurus rakyat, negara justru mengabaikan kesejahteraan rakyat, sebab yang mereka berikan sejak dulu hanyalah janji-janji manis untuk mensejahterakan buruh, namun pada faktanya mayoritas janji tersebut tidak satupun terealisasi, bahkan hanya berhenti sebatas retorika belaka. Akhirnya, berakibat pada kondisi buruh yang tidak kunjung membaik dari waktu ke waktu.
Peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan buruh sangatlah minim, bahkan nyaris tak ada. Hal ini dapat dilihat dalam sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia, di mana hampir sebagian besar ditanggung oleh pekerja dan pengusaha, sedangkan pemerintah hampir tidak berkontribusi apapun. Negara pun tampak pincang dan tidak kuasa bertindak tegas pada perusahaan yang terdeteksi telah melakukan eksploitasi terhadap pekerjanya, justru negara membuat regulasi yang lebih berpihak terhadap pemilik modal dibandingkan kesejahteraan buruh.
Atas sikap penguasa yang selalu abai terhadap kesejahteraan atau kemakmuran buruh saat ini, tentunya tidak lepas dari paradigma kapitalisme yang pada hakikatnya beranggapan bahwa buruh hanyalah faktor produksi yang berguna untuk dieksploitasi tenaganya agar kepentingan pengusaha terpenuhi. Bahkan mirisnya, saat ini banyak sekali perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja magang untuk kemudian tidak mendapatkan upah maupun THR. Para tenaga kerja magang tersebut hanya mendapatkan uang saku dengan nominal yang sangat minim. Hal ini disebabkan agar pengusaha atau pemilik perusahaan mendapatkan keuntungan besar, maka perusahaan begitu tega memperlakukan buruh dengan semena-mena. Tentu saja hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi kapitalisme, yaitu mengeluarkan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian, perusahaan pun berpandangan bahwa sah-sah saja untuk mengeksploitasi pekerjanya demi memperoleh untung maksimal. Hal ini juga yang kemudian menjadi faktor penyebab paling kuat atas upah buruh selalu saja berada di level minimum, dengan kata lain hanya cukup untuk sekadar bertahan hidup agar buruh tetap bertahan untuk bekerja, padahal sejatinya semua demi kemakmuran para kapitalis atau pemilik modal.
Walhasil, selama negara masih menggunakan sistem kapitalisme, maka buruh tidak akan pernah merasakan kesejahteraan. Buruh akan selalu dieksploitasi dan juga memperoleh upah yang minim. Maka dengan demikian, buruh membutuhkan sistem Islam sebagai solusi hakiki.
Islam Menyejahterakan Buruh
Islam menegaskan bahwa buruh berhak sejahtera. Hal ini sesuai dengan yang diperintahkan dalam syariat, yaitu untuk menyegerakan pemberian upah buruh. Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thalaq [65]: 6). Rasulullah SAW bersabda, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR Ibnu Majah).
Dalam syariat Islam, kesejahteraan buruh wajib dijamin oleh negara. Sebab, posisi penguasa dalam syariat Islam yaitu sebagai raa’in (pengurus rakyat), hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “Imam/khalifah adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim).
Seorang khalifah senantiasa memastikan hubungan para pekerja dengan pengusaha berjalan secara adil dan sesuai dengan akad ijarah atau pengupahan yang sudah mereka sepakati secara ridha. Kedua belah pihak tolong-menolong dalam menciptakan kebaikan bersama. Selain itu, tidak boleh didapati eksploitasi pekerja oleh pengusaha. Pekerja atau buruh wajib melaksanakan pekerjaannya dengan baik, begitu pula dengan pengusaha memberi upah sesuai kesepakatan awal. Islam juga mewajibkan perusahaan berperilaku atau bersikap baik pada pekerja karena sama-sama manusia. Bahkan Islam memosisikan pekerja sebagai saudara. Perbuatan baik pengusaha terhadap pekerja ini pada hakikatnya sejalan dengan tuntunan Islam dalam menjalin hubungan dengan sesama.
Maka dengan ini dapat disimpulkan bahwa pengusaha tidak bertanggung jawab atas terpenuhinya kebutuhan hidup pekerja, sebab hal tersebut merupakan tanggung jawab negara. Negara dibebankan kewajiban untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar seluruh rakyatnya, termasuk buruh tanpa terkecuali. Dalam hal ini mencakup sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, maupun keamanan. Negara wajib mampu untuk mewujudkan jaminan tersebut, tentu saja dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang memadai bagi masyarakat agar semua laki-laki dewasa memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak guna memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan papan) dan juga kebutuhan pelengkap seperti sekunder dan tersier keluarganya. Sedangkan kebutuhan atas pelayanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan wajib disediakan oleh negara secara gratis bagi seluruh rakyatnya, tanpa memandang latar belakang ekonominya. Maka dengan demikian, masyarakat tidak akan terbebani dengan biaya pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Tentunya hal ini hanya mampu diperoleh dalam pengaturan sesuai dengan syariat dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Wallahu A’lam Bisshawab.
*) Mahasiswi UM Buton
Post a Comment