Krisis Rumah Layak Huni Melanda, Kapitalisme Biangnya
Oleh: Khadijah*)
IndonesiaNeo, OPINI - Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman merilis sebanyak 26,9 juta rumah di Indonesia masuk dalam kategori rumah tidak layak huni sebagai akibat dari kemiskinan ekstrem di Indonesia (beritasatu.com, 25/4/2025). Angka ini berbanding lurus dengan data Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook yang menyebutkan bahwa pada tahun 2024 terdapat lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup berada di bawah garis kemiskinan (BPS.go.id). Meskipun angka ini berbeda dengan data BPS di mana tingkat kemiskinan nasional hanya mencapai 8,75 persen atau 24,06 juta jiwa per September 2024 namun data ini merupakan gambaran betapa tingginya angka kemiskinan di tanah air. Tentu saja ini berpengaruh pada kualitas kehidupan masyarakat termasuk hunian atau tempat tinggalnya.
Untuk itu, pemerintah bersama swasta terjun dalam program bedah rumah yang menargetkan tiga juta rumah dalam satu tahun melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). Hal ini ditegaskan oleh Wakil Menteri Sosial (Wamensos), Agus Jabo Priyono dalam detik.com (25/4/2025),yang mengatakan pentingnya sinergi lintas kementerian sebagai upaya mengentaskan kemiskinan ekstrem melalui program perumahan yang tepat sasaran.
Kesenjangan Sosial Makin Lebar
Kemiskinan ekstrem yang terjadi saat ini, membuat kesenjangan sosial makin lebar, orang kaya makin kaya dan sebaliknya orang miskin makin miskin. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak tersebar secara merata berdasarkan riset Center of Economic and Law Studies (Celios) pada 2024. Faktanya, kekayaan tiga orang terkaya di Indonesia naik lebih dari 174 persen sedangkan upah pekerja di tanah air hanya 15 persen.
Bahkan,perpaduan harta 50 orang terkaya di Indonesia dapat membiayai seluruh gaji pekerja di negeri ini dalam satu tahun. Dari aspek nilai pun, harta 50 orang terkaya sebanding dengan kekayaan 50 juta masyarakat di tanah air. Inilah imbas dari penerapan sistem kapitalisme di negeri ini.
Kemiskinan Ekstrem, Kapitalisme Biangnya
Terkait program pemerintah dalam mengatasi krisis rumah layak huni mestinya disikapi secara menyeluruh yakni apa yang menyebabkan kemiskinan ekstrem itu sendiri. Justru berbagai kebijakan yang ada justru menjadi pemicu angka kemiskinan di masyarakat. Selain itu, efek inflasi yang menurunkan daya beli masyarakat dan membanjirnya produk impor seperti bahan pangan, buah atau sayur-sayuran dan susu serta kebutuhan pokok lain membuat produk lokal gulung tikar alias merugi. Sektor pertanian pun demikian, ketidakadaan jaminan kelangsungan hidup di sektor pertanian nasional dan subsidi pupuk yang makin berkurang membuat petani harus berjuang sendiri di tengah biaya produksi tinggi dan keuntungan yang tak seberapa. Inilah buah dari kebijakan yang prokapitalisme.
Selain itu, banyak perusahaan dan UMKM merugi,sehingga angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bertambah. Terhitung bulan Januari hingga April 2025 angka PHK telah mencapai 24.036 orang. Kesulitan lapangan pekerjaaan ini menambah jumlah pengangguran per Februari 2025 menjadi 7,28 juta orang. Akibatnya tak sedikit masyarakat yang harus bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Di sisi lain, kalangan pemerintahan, BUMN dan golongan berduit yang terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme, kerugian negara pun tak terhitung jumlahnya. Berbagai kebijakan yang ada justru makin menambah angka kemiskinan. Rumah layak huni makin jauh dari angan-angan.
Sistem Islam Menjamin Ketersediaan Rumah Layak Huni
Sebagai sistem sempurna dari Allah swt, sistem Islam dalam hal ini Khilafah memandang bahwa rumah adalah kebutuhan primer yang mesti dimiliki oleh setiap individu. Namun, pada sistem kapitalisme, rumah dipandang sebagai bisnis yang menggiurkan dan menjanjikan. Para pengusaha atau pemodal memberikan modal dan tenaga sebesar-besarnya untuk meraup untung sebanyak-banyaknya. Harga perumahan dan bahan bangunan bisa saja berubah sesuai kemauan. Inilah fakta yang menyebabkan harga rumah mahal. Negara hanya berperan sebagai regulator dan melepaskan tanggung jawabnya dalam menjamin kebutuhan papan rakyatnya. Mestinya negara tidak abai terhadap persoalan ini.
Sistem Islam atau Khilafah sangat memperhatikan terkait rumah atau tempat tinggal bagi rakyat, pengaturannya tak terlepas dari pertimbangan syariat Allah.
Adapun regulasi dan pengaturannya pun tidak menyulitkan. Salah satu contoh kebijakan Khilafah terkait persoalan pertanahan ialah apabila didapati ada tanah yang dikelola atau ditelantarkan selama kurang lebih 3 tahun, maka negara memiliki hak untuk mengambil dan memberikannya kepada orang lain untuk dikelola.
Khalifah dalam sistem Islam juga, mesti memahami hak dan kewajiban sebagai pemimpin serta bertanggnng jawab terhadap segala urusan rakyatnya. Hal ini berdasarkan hadist Nabi Muhamad saw : “Imam atau Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya “ (HR. Muslim dan Ahmad).
Dari sisi proses pembangunan pun, Khilafah memberikan pengaturan mengenai interval pembangunan perumahan dengan tidak sekadar fokus produksi rumah secara besar-besaran, akan tetapi dibuat sesuai kebutuhan dan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan dan konservasi lahan. Selain itu, Khilafah tidak akan membiarkan pihak manapun atau kapitalis untuk melakukan perampasan dan penggusuran tanah milik rakyat sebagaimana yang marak terjadi saat ini.
Khilafah juga akan memastikan setiap rakyatnya dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya termasuk memberikan rumah layak huni bagi anggota keluarganya. Fakta ini telah dibuktikan ketika sistem Islam diterapkan selama kurang lebih 13 abad lamanya. Inilah beberapa pengaturan negara yang menerapkan sistem Islam dalam setiap aspek kehidupan. Wallahua’lam.[]
*) Freelance Writer
Post a Comment